Saat orang mendengar kata jurnalis, yang sering terbayang adalah seseorang yang cekatan mengetik, mengejar narasumber, atau sibuk menyusun naskah berita.
Tapi dari pengalaman saya, bagian paling penting dari profesi ini justru bukan menulis, melainkan kemampuan mendengarkan.
Menjadi jurnalis mengajarkan saya bahwa mendengarkan bukan hanya soal diam dan memberi ruang bicara.
Sebagai seorang jurnalis, kita terlibat dalam percakapan yang mendalam dengan narasumber, dan percakapan yang baik dimulai dengan mendengarkan.
Ini seperti yang disampaikan Malcolm Forbes, pemilik dan penerbit Majalah Forbes: “The art of conversation lies in listening.“
Tanpa keterampilan mendengarkan, menurut saya, tulisan sehebat apa pun bisa kehilangan makna.
Kemampuan Mendengarkan: Kunci Awal Menjadi Jurnalis yang Baik
Saya “hanya” enam tahun bekerja sebagai jurnalis, tapi saya tahu betul satu hal: kemampuan mendengarkan adalah kunci utama di profesi ini.
Menulis itu penting, tentu saja. Tapi kemampuan menulis yang baik hanya mungkin lahir dari proses mendengarkan yang cermat.
Mendengarkan bukan berarti menunggu giliran bertanya. Kemampuan mendengarkan yang baik berarti menyimak dengan penuh perhatian: membaca nada suara, menangkap keraguan di tengah kalimat, atau menyadari ketika narasumber sedang menahan sesuatu yang penting.
Saat kita benar-benar mendengarkan, kita bisa menangkap emosi, konteks, bahkan hal-hal yang tidak tertulis secara eksplisit. Dan dari sanalah, sering kali, cerita terbaik muncul.

Baca juga: 3+ Tips Wawancara Narasumber dari Glandy Burnama
Cerita Pribadi: Saat Saya Gagal Mendengarkan
Saya pernah mewawancarai seorang pengusaha muda yang sedang membangun bisnis sosial. Di awal wawancara, dia sudah menjelaskan secara detail tentang bagaimana idenya lahir dari pengalaman pribadi menghadapi ketidakadilan di komunitasnya.
Tapi karena saya terlalu fokus pada daftar pertanyaan yang sudah saya siapkan, saya malah mengulang pertanyaan yang intinya sudah dia jawab sebelumnya.
Wajah narasumber sempat terlihat bingung. Mungkin, ia berpikir, “Bukankah saya baru saja bilang itu tadi?”
Saya pun langsung sadar bahwa saya terlalu sibuk mengejar checklist, sampai-sampai saya tidak benar-benar hadir dalam percakapan.
Hasilnya? Tulisan saya terasa datar, sebab saya kehilangan momen-momen penting yang seharusnya bisa memperkuat narasi.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa kemampuan mendengarkan adalah fondasi dari tulisan yang hidup dan relevan. Karena tulisan yang baik bukan cuma soal struktur atau gaya bahasa, tapi soal seberapa dalam kita memahami cerita yang dibagikan narasumber.
Mendengarkan Adalah Keterampilan yang Harus Dilatih
Mendengarkan itu kelihatannya sederhana, tinggal diam dan menyimak, bukan?
Tapi kenyataannya, kemampuan mendengarkan dengan benar butuh usaha dan kesadaran penuh. Ini bukan sesuatu yang datang secara otomatis.
Sama seperti menulis atau berbicara di depan umum, keterampilan mendengarkan juga perlu dilatih terus-menerus, setiap hari.

Saya belajar bahwa tidak semua narasumber langsung terbuka sejak awal. Ada yang butuh waktu, ada juga yang menunggu momen merasa aman untuk berbagi cerita yang lebih dalam.
Rasa aman tersebut muncul ketika mereka merasa benar-benar didengarkan. Bukan sekadar direspons, tapi disimak dengan tulus.
Di situlah sering kali cerita ‘emas’ muncul, bukan dari pertanyaan kelima atau keenam, tapi dari hubungan yang terbangun lewat perhatian penuh.
Baca juga: 3 Tips Wawancara Narasumber yang Sulit dan Tertutup
Tiga Hal yang Saya Pelajari dari Praktik Mendengarkan
Berhenti Menyela
Dulu saya cenderung buru-buru menimpali narasumber, entah karena terlalu antusias atau takut kehilangan momen.
Tapi ternyata, diam itu justru memberi ruang. Terkadang, saat kita tidak menyela, narasumber melanjutkan ceritanya dan membuka detail yang lebih dalam.
Dari situ, saya belajar bahwa tidak menyela bisa menghadirkan kepercayaan dan membuka informasi yang lebih jujur, dan seringkali, lebih bernilai.

Tanyakan Ulang
Sekilas terdengar sepele, tapi bertanya ulang atau mengonfirmasi apa yang kita dengar bisa sangat penting.
Bukan hanya untuk memastikan informasi akurat, tapi juga memberi sinyal ke narasumber bahwa kita benar-benar peduli pada apa yang mereka katakan.
Perhatikan Bahasa Tubuh dan Intonasi
Beberapa hal yang paling kuat sering kali tidak terucap secara langsung.
Nada suara yang menurun saat menyebut satu nama, atau mata yang tiba-tiba memaling saat menceritakan sesuatu. Semua itu sinyal yang bisa membawa kita pada sisi cerita yang lebih manusiawi dan bermakna.
Kesimpulan
Menjadi jurnalis bukan hanya soal mencari berita dan menulis cepat, tapi tentang memahami manusia dan cerita di balik setiap jawaban. Itu hanya bisa dilakukan jika kita benar-benar mendengarkan.
Kemampuan mendengarkan tidak didapatkan dari bakat, melainkan keterampilan yang bisa (dan harus) dilatih. Lewat pengalaman, kesalahan, dan proses belajar, saya jadi makin sadar bahwa tulisan yang baik selalu dimulai dari sepasang telinga yang siap menyimak.
Karena dalam dunia jurnalistik, sering kali kekuatan tulisan tidak datang dari apa yang kita tulis, tapi dari apa yang berhasil kita dengar dan tangkap maknanya.