Liputan Arus Mudik: Saat Berita Tak Mengenal Libur Lebaran

“Menjadi jurnalis berarti kamu harus siap bekerja kapan saja,” ucap ibu saya saat saya menyampaikan keinginan untuk menjadi buruh tinta.

Sebagai seorang mantan jurnalis, beliau paham betul konsekuensi dari pekerjaan ini. Tidak ada hari libur yang benar-benar bebas, tidak ada tanggal merah yang dapat dijadikan alasan untuk beristirahat.

Saya baru benar-benar memahami perkataan Ibu ketika pertama kali mendapatkan tugas liputan arus mudik pada tahun 2018 untuk tempat saya bekerja waktu itu, Republika

Saat orang-orang bersiap pulang kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga, saya justru bersiap menempuh perjalanan panjang di tengah hiruk-pikuk pemudik. 

Menghabiskan hari-hari di jalanan, berpindah dari satu titik ke titik lain, menyusuri tol Trans Jawa yang kala itu masih belum rampung total. Dalam perjalanan itu, saya juga harus menyetir sendiri sejauh 100 km karena berbagi tugas dengan rekan saya.

Momen Lebaran yang biasanya penuh kehangatan berubah menjadi tugas yang menuntut stamina dan ketahanan mental.

Pada akhirnya, liputan arus mudik mengajarkan kepada saya tentang kerja keras, pengorbanan, dan perspektif baru tentang makna pulang.

Tantangan dan Kejutan Saat Liputan Arus Mudik

Liputan arus mudik bukan sekadar melaporkan kepadatan lalu lintas, kecelakaan, atau penambahan gerbang tol. Ini adalah perjalanan penuh tantangan dan kejutan yang jarang diketahui orang.

Saya bersama rekan saya menyusuri Tol Trans Jawa dengan mobil saat masih setengah jadi, melihat langsung perkembangannya hingga akhirnya rampung.

Jalanan belum sempurna, minim penerangan, dan kurang fasilitas, tapi justru itulah yang membuat pengalaman ini begitu berkesan. Kami menjadi saksi bagaimana infrastruktur ini perlahan mengubah wajah mudik di Indonesia.

liputan arus mudik
Jembatan Kali Kuto, Semarang, yang masih dalam proses pembangunan pada tahun 2018. Jembatan ini merupakan salah satu jalur ikonik di Tol Trans Jawa. (Semua foto oleh Adinda Pryanka)

Berburu narasumber di tengah lautan pemudik juga bukan perkara mudah. Kami harus cekatan mendekati pemudik, petugas, hingga pihak kepolisian untuk mendapatkan informasi akurat. Semua itu berpacu dengan deadline.

Baca juga: 3+ Tips Wawancara Narasumber dari Glandy Burnama

Tidak jarang, kami harus mengetik berita di ponsel, jempol terasa pegal karena terus bergerak di layar.

Di saat yang sama, kami juga harus mengambil foto real-time, memastikan momen penting tidak terlewat.

Bahkan, ada kalanya saya terpaksa multitasking sambil menyetir, sebuah kebiasaan yang jelas melanggar aturan, tapi sulit dihindari dalam tekanan lapangan.

Tidur di Mana Saja: Dari Tenda Pengawas hingga Hotel Bintang 3

Selama liputan arus mudik, tempat istirahat bisa di mana saja. Terkadang di mobil, terkadang di tenda pengawas arus mudik, dengan sofa dan suara kendaraan yang tak berhenti.

Di lain waktu, beruntung bisa tidur beberapa jam di hotel bintang tiga sebelum kembali ke lapangan.

Dua pengalaman kontras yang sama-sama memberi pelajaran: di balik sorotan berita, ada kerja keras dan cerita yang jarang terlihat.

liputan arus mudik
Adinda (kanan) bersama rekannya, Farah Noersativa, saat melakukan liputan mudik pada 2018.

Liputan arus mudik bukan sekadar pekerjaan adalah pengalaman yang membuka mata. Bahwa di balik kemacetan yang selalu jadi sorotan utama, ada begitu banyak cerita yang tak terlihat.

Ada perjuangan, pengorbanan, dan juga kejutan-kejutan yang membentuk perjalanan para pemudik di tengah hiruk-pikuk musim ‘pulang kampung’.

Liputan Arus Mudik dan Momen Lebaran Tanpa Keluarga

Lebaran identik dengan kebersamaan, namun bagi saya saat itu, merayakan hari raya berarti tetap berada di jalan, jauh dari keluarga dan orang-orang tersayang.

Ketika teman-teman saya berkumpul di rumah menikmati hidangan khas Lebaran, saya justru sibuk mengamati arus kendaraan yang tak ada habisnya, mencari berita di tengah kemacetan yang mengular.

Rasa rindu pasti ada, terutama saat suara takbir menggema dan saya hanya bisa mengucapkan selamat Lebaran melalui telepon.

Namun, di tengah kesibukan, saya menemukan kehangatan lain. Sesama jurnalis, petugas pengawas, dan bahkan pemudik yang saya temui di perjalanan, secara tak langsung menjadi ‘keluarga kedua’.

Saya juga berkesempatan berbagi cerita dengan sejumlah para ibu yang beralih profesi sementara sebagai tukang pijat di jalur mudik.

Kisah tersebut saya tuliskan dalam bentuk feature, “Relaks Sejenak Bersama Tukang Pijat di Jalur Mudik”.

Baca juga: 5+ Tips Menulis Feature yang Menyentuh Hati Pembaca

Ada rasa solidaritas yang tumbuh di lapangan, mengingatkan bahwa Lebaran bukan hanya soal pulang ke rumah, tetapi juga soal kebersamaan dalam situasi apa pun.

Di sela liputan arus mudik, saya juga berkesempatan mengunjungi beberapa tempat wisata untuk melihat suasana Lebaran, termasuk di Lawang Sewu, Semarang.

Di sana, saya melihat banyak keluarga berkumpul, menikmati waktu bersama setelah menempuh perjalanan panjang. Pemandangan yang memperlihatkan betapa berharganya momen kebersamaan bagi mereka yang telah berjuang untuk pulang.

liputan arus mudik
Lawang Sewu, Semarang, menjadi salah satu tempat libur Lebaran yang banyak dikunjungi para pemudik.

Pengalaman ini mengubah cara pandang saya tentang perjalanan dan pengorbanan. Saya melihat langsung perjuangan para pemudik yang rela menempuh ribuan kilometer demi bisa berkumpul dengan keluarga, sementara saya sendiri justru harus menahan rindu karena tugas.

Dari liputan arus mudik ini, saya belajar bahwa pulang tidak selalu tentang tempat, tetapi tentang perasaan. Dan di jalanan yang penuh hiruk-pikuk itulah, saya menemukan makna baru dari kata ‘Lebaran’.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?