Peran Komunikasi Publik Humas LPSK Alfaddillah: Menjaga Suara yang Tak Terdengar

komunikasi publik

Dalam kerja lembaga negara, tak semua peran tampil di panggung terang. Di balik layar, ada sosok-sosok yang memastikan pesan tersampaikan dengan benar, tanpa melukai, dan tetap menjunjung martabat kemanusiaan.

Salah satunya adalah Alfaddillah, Pranata Hubungan Masyarakat di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga yang punya mandat mulia melindungi mereka yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana.

Bagi Alfaddillah, komunikasi publik bukan sekadar menyebarkan informasi. “Komunikasi publik itu ibarat jembatan,” ujarnya membuka percakapan dengan RadVoice Indonesia.

Menurut perempuan yang akrab disapa Dilla, LPSK punya mandat hukum yang berat. Sehingga masyarakat yakin bahwa ada perlindungan terhadap diri mereka bila menjadi korban dari sebuah peristiwa kekerasan.

“Tetapi kalau masyarakat tidak paham apa itu perlindungan, bagaimana cara mengakses, dan kenapa ini penting, ya akan sia-sia,” kata Dilla.

Oleh karena itu, kata dia, peran komunikasi publik di LPSK adalah memastikan pesan sampai dengan benar, mudah dipahami, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Baca juga: Bagaimana Komunikasi Publik Pemerintah Merespons Tren #kaburajadulu

Komunikasi Publik yang Menenangkan di Tengah Krisis

komunikasi publik
Pada komunikasi publik di LPSK, setiap kata menjadi sensitif karena berkaitan dengan kasus pidana dari tindak kekerasan. (Semua foto oleh Alfaddillah)

Dalam kerja lembaga yang bersinggungan langsung dengan kasus-kasus sensitif, setiap kata memiliki bobot. Alfaddillah menjelaskan bahwa prinsip komunikasi krisis di LPSK berlandaskan dua hal: transparansi dan kehati-hatian.

“Transparan artinya kita tidak menutup-nutupi fakta penting, tapi tetap hati-hati agar tidak mengganggu proses hukum atau membuka identitas korban,” ujarnya.

Framing pesan menjadi penting, bahwa fokus bukan pada detail kasus, tapi pada nilai dan prinsip perlindungan itu sendiri.

“Yang terpenting adalah bagaimana komunikasi disampaikan tanpa mencabik-cabik psikologis korban. Mereka sudah melalui banyak hal. Tugas kami memastikan informasi publik tetap berjalan, tapi dengan empati,” kata Dilla.

Sebagai humas, Alfaddillah menyadari bahwa tantangan terbesar bukan hanya teknis, tapi juga perseptual, yaitu kemampuan merasakan atau menafsirkan informasi yang diterima melalui indra seperti dari suara, sentuhan, pandangan mata dan lainnya.

Sebab, terkadang opini publik bisa sangat tajam, bahkan mendahului fakta. Dalam kondisi seperti itu, kesabaran menjadi kunci.

“Kami harus tetap tenang, menjaga arus informasi, memastikan yang disampaikan kredibel tanpa ikut terhanyut opini negatif,” kata Dilla.

Ia menambahkan bahwa kerja humas LPSK memiliki keunikan tersendiri. Ranah mereka berada di hilir dan senyap. Sehingga, banyak hal yang tidak bisa dipublikasikan karena menyangkut keselamatan saksi dan korban.

Di sinilah dilema klasik muncul: bagaimana menjaga keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan hak korban untuk dilindungi?

“Publik butuh tahu untuk akuntabilitas, tapi korban juga berhak merasa aman. Maka yang dibuka adalah hal-hal umum yaitu proses, kebijakan, komitmen. Sementara identitas dan detail pribadi kita kunci rapat,” kata Dilla.

Baca juga: Pengalaman Aini Putri Wulandari Menjaga Reputasi Negara lewat Komunikasi Diplomatik

Digitalisasi dan Tantangan Era Hoaks

Perkembangan teknologi memberi peluang sekaligus tantangan baru bagi lembaga publik.

“Digital itu rumah masa depan kita sekarang,” kata Alfaddillah.

LPSK kini aktif memanfaatkan kanal digital, mulai dari situs resmi, media sosial, hingga publikasi online sebagai sarana memperkenalkan layanan dan meningkatkan literasi publik.

komunikasi publik
Alfaddillah mengatakan, LPSK pun turut menggunakan podcast sebagai salah satu media digital untuk mengedukasi masyarakat luas.

Namun, ia mengakui tantangannya besar: bagaimana membuat konten yang tidak hanya formal, tetapi juga engaging dan relevan bagi masyarakat luas.

Di sisi lain, derasnya arus informasi membawa ancaman disinformasi dan hoaks. “Hoaks itu cepat banget menyebar, kadang lebih cepat dari klarifikasi resmi,” ujarnya.

Untuk itu, LPSK menerapkan dua strategi: memperkuat literasi publik melalui konten edukatif, dan membangun respons cepat agar lembaga tetap menjadi sumber informasi terpercaya.

“Tujuannya sederhana: supaya masyarakat tahu mana yang benar,” kata Dilla.

Dari semua kisah yang ia alami, pertemuan dengan para korban menjadi pengalaman paling membekas bagi Alfaddillah. Salah satunya adalah ketika mendampingi korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang masih di bawah umur.

“Saya melihat sendiri bagaimana setelah mendapat perlindungan psikologis, mereka perlahan pulih, berani bercerita, dan mulai keluar dari masa kelam,” tuturnya.

Baginya, saat korban akhirnya bisa memberi kesaksian di pengadilan, itu adalah bukti nyata bahwa perlindungan LPSK menghadirkan rasa aman.

“Waktu itu saya sadar, pekerjaan humas di LPSK bukan sekadar menulis siaran pers. Komunikasi yang kami bangun adalah jembatan harapan. Kami harus memastikan korban merasa didengar dan dilindungi,” tegas Dilla.

Di Balik Layar: Proses yang Tak Terlihat

Dilla lebih lanjut bercerita, bahwa banyak yang mengira kerja humas hanya soal muncul di konferensi pers atau membuat unggahan media sosial.

Padahal, menurutnya, ada proses panjang yang tidak terlihat, seperti riset, koordinasi internal, pertimbangan hukum, hingga pemilihan diksi yang sangat hati-hati.

“Terkadang kami berdiskusi berjam-jam hanya untuk menentukan satu kalimat. Tapi itulah yang membuat peran ini bermakna. Kami bukan hanya menyampaikan pesan, tapi menjaga agar pesan itu tidak melukai siapa pun,” ditekankan Dilla.

Ketika ditanya bagaimana ia memaknai peran humas di LPSK, Alfaddillah menjawab pelan bahwa dia ibarat berjalan di atas jembatan yang tipis. Setiap langkah harus hati-hati, karena satu kata saja bisa berdampak besar.

Dia jabarkan bahwa komunikasi publik di LPSK bukan hanya soal keterbukaan, tetapi juga tentang perlindungan hukum dan psikologis.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Nomor 31 Tahun 2014 menegaskan mandat LPSK untuk melindungi saksi dan korban, termasuk menjaga kerahasiaan identitas mereka. Maka, setiap publikasi harus ditempatkan dalam kerangka hukum tersebut.

“Kerja humas di sini itu ganda. Di satu sisi memastikan keterbukaan informasi publik, tapi di sisi lain wajib menjaga martabat dan keamanan para terlindung. Dalam konteks LPSK, komunikasi menjadi bagian dari perlindungan itu sendiri. Setiap kata bisa berdampak pada rasa aman seseorang,” kata Dilla.

Baca juga: Corcomm Bank Mandiri Sheila Siregar Ceritakan Perubahan Gaya Komunikasi dari Profesi Jurnalis ke Korporat

Dari Wartawan ke Humas: Perjalanan yang Memperkaya

Sebelum bergabung dengan LPSK, Alfaddillah adalah jurnalis di Kumparan.com. Pengalaman itu membentuk cara pandangnya terhadap komunikasi publik.

Peralihan karir dari wartawan menjadi pranata humas lembaga pemerintah memperluas cara pandang Alfadillah terhadap pemanfaatan informasi.

“Sebagai wartawan, tugas saya dulu menyebarkan informasi seluas-luasnya. Sekarang, tugas saya justru memastikan informasi disampaikan dengan aman,” katanya.

Peralihan dari menyebarkan ke menjaga informasi membuatnya lebih memahami arti tanggung jawab komunikasi. “Kalau dulu saya berburu fakta, sekarang saya belajar menjaga manusia di balik fakta itu.”

Ketika diminta menggambarkan gaya komunikasinya dalam tiga kata, ia menjawab, “Hangat, tenang, tapi tegas. Hangat biar orang nyaman, tenang biar nggak terbawa arus, dan tegas biar pesan tetap jelas.”

Sementara untuk mimpinya ke depan, Alfaddillah berharap profesi humas di lembaga publik makin diakui sebagai fasilitator empati antara negara dan masyarakat.

“Saya ingin komunikasi lembaga publik bukan sekadar formalitas, tapi benar-benar membuat masyarakat merasa dekat dan dipercaya,” kata Dilla.

Kesimpulan

Dalam dunia yang kian bising oleh informasi, peran seperti yang dijalankan Alfaddillah menjadi sangat penting. Ia bukan sekadar penjaga citra lembaga, melainkan penjaga rasa aman.

Melalui setiap kata yang ia pilih, setiap pesan yang ia sampaikan, dan setiap cerita korban yang ia lindungi, menunjukkan bahwa komunikasi publik sejatinya adalah bentuk empati, jembatan yang menghubungkan negara dengan warganya, dalam terang yang hati-hati dan teduh.

Wawancara dengan Alfaddillah dilakukan pada Selasa, 30 September 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.

Let's Amplify Your Voice Together

Tell us about your project, and we will get back to you within one business day.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?