Tahukah Anda bahwa setiap minggunya, ada lebih dari 7 juta aktivitas diunggah ke Strava setiap harinya?
Selayaknya media sosial, Anda bisa memposting foto diri, jarak kilometer olah raga, seberapa banyak kalori yang telah dibakar, hingga ukuran kesehatan detak jantung (heart rate) dan pernafasan (VO Max) di Strava.
Di platform Strava, catatan jarak, peta GPS, dan ‘kudos’ bukan hanya tolok ukur kebugaran, melainkan juga mata uang prestise.
Tak heran, muncul fenomena joki Strava, yakni sebuah cara kreatif (atau, curang?) untuk mengedit data atau meminta orang lain menggantikan lari demi angka impresif.

Tren ini mencerminkan dorongan kuat akan validasi sosial dan betapa pentingnya personal branding kebugaran di era digital.
Di artikel ini, RadVoice Indonesia membedah fenomena joki Strava, di mana angka menjadi standar baru dalam memaknai olahraga.
Apa Itu Fenomena Joki Strava?
Inti fenomena joki Strava adalah menyewa atau meminta orang lain untuk melakukan aktivitas olahraga (seperti bersepeda atau lari) dengan perangkat yang sudah terhubung ke akun kita.
Di mata followers dan kolega bisnis, angka-angka pada peta GPS itulah bukti ‘keahlian’ dan disiplin olahraga kita.
Pada ajang berlari, metode yang banyak terjadi yaitu, memberikan BIB number, yang berisi chip rekaman jarak serta waktu, dan akun aplikasi strava, di tengah perjalanan lari.
Kemudian, joki Strava akan memberikannya kembali ke pemiliknya mendekati garis finish.

Praktik joki Strava sering memuncak saat gelaran marathon besar di Indonesia: Mandiri Jogjakarta Marathon dan Jakarta International Marathon di sekitar bulan Juni; Pocari Run pada Juli; Maybank Marathon di Agustus, dan Borobudur Marathon pada November.
Setiap event seperti menjadi peluang bagi ‘atlet bayangan’ untuk turut mencetak personal record (PR), tanpa perlu menjejakkan kaki di garis start.
Baca juga: Membangun Personal Branding di LinkedIn dengan Septia Rahma Khairunnisa
Bagaimana Fenomena Joki Strava Muncul?
Fenomena ini mungkin terdengar konyol, bahkan ironis. Tujuan awal olahraga demi kesehatan dan kebugaran, tergeser menjadi ajang pembuktian online atau validasi sosial.
Tapi praktik ini tumbuh subur, terutama di kalangan mereka yang menjadikan gaya hidup sehat sebagai bagian dari personal branding.
Bahkan, mengutip Kompas.com, ada beberapa orang yang melihat joki Strava sebagai sebuah profesi.
RadVoice menilai, ada beberapa faktor yang mendorong orang-orang menggunakan jasa joki Strava dan membuatnya menjadi sebuah ‘tren’.
Validasi Sosial
Setiap ‘kudos’, komentar, atau badge achievement virtual di Strava memicu otak melepaskan dopamin, zat ‘senang’ yang menciptakan sensasi tepuk tangan digital.
Dopamin ini dapat membuat seseorang ketagihan ingin diakui lagi dan lagi, meski apresiasi tersebut hanya bersifat sementara.
Personal Branding
Strava kini menjadi ajang membangun citra profesional sebagai sosok yang disiplin dan berprestasi di mata kolega, mirip strategi branding di LinkedIn.
Unggahan foto sepatu mahal, medali, data rute puluhan hingga ratusan kilo meter, atau pace lari impresif di Strava menjadi semacam tanda status digital.

Tidak heran jika sebagian orang merasa “tertekan” untuk terus tampil aktif, bahkan ketika tubuh atau waktu tidak memungkinkan.
Inilah celah munculnya jasa joki, yaitu menyediakan “olahraga atas nama” demi menjaga konsistensi branding.
Tekanan dari Peer
Tekanan untuk terus tampil aktif juga bisa datang dari komunitas.
Di dalam komunitas sepeda atau lari, tidak sedikit anggota yang berlomba-lomba mencetak rekor, mengoleksi medali digital, atau memamerkan total jarak tempuh mingguan.
Terkadang, kita merasa harus ikut ‘main’ agar tetap dianggap relevan, sama seperti peer pressure di media sosial lainnya. Di tengah atmosfer kompetitif ini, tidak sedikit yang akhirnya memilih jalan pintas.
Fear of Missing Out (FOMO)
Rasa takut ketinggalan (FOMO) dan upaya ingin menjaga personal branding membuat pengguna ingin memamerkan performa ‘sempurna’.
Baca juga: Panduan Bangun Personal Branding di Era Digital untuk Profesional Muda
Dilema Etis Fenomena Joki Strava
Keberadaan joki Strava menimbulkan pertanyaan etis: apakah personal branding yang dibangun dengan menggunakan data yang ‘berbohong’ masih pantas disebut autentik?
Bagi komunitas, perilaku ini dapat merusak kepercayaan.
Fitur leaderboard dan challenge seharusnya memacu persaingan sehat, bukan kemenangan ‘titipan’. Saat peringkat teratas diisi oleh aktivitas orang lain, integritas komunitas dipertaruhkan.
Fenomena joki Strava juga mengikis semangat olahraga, karena orientasinya bergeser dari kesehatan menjadi ajang pamer semata.
Kesimpulan
Fenomena joki Strava menyoroti bagaimana persaingan dan validasi sosial di platform kebugaran dapat menggeser tujuan utama olahraga, kesehatan dan kebugaran, menjadi sekadar pembuktian digital.
Praktik ini berdampak pada kepercayaan komunitas hingga semangat sportifitas.
Meski menawarkan jalan pintas untuk mempertahankan citra diri, joki Strava mengundang pertanyaan etis tentang keaslian personal branding.