Riuh suara pendukung salah satu calon presiden RI yang menggema di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 13 April 2019 kala itu mengingatkan saya akan masa liputan politik yang mengesankan.
Ribuan orang yang mengenakan atribut kandidat nomor urut satu itu berkumpul sambil meneriakkan yel-yel kemenangan.
Sorak-sorai dan nyanyian kampanye menciptakan suasana penuh semangat dan semakin membara seiring kedatangan tokoh yang sejak tadi mereka elukan: Joko Widodo.

yel-yel kemenangan. (Semua foto oleh Priska Sari Pratiwi)
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang menjadi ciri khasnya, Jokowi, berlari kecil menuju tengah panggung. Ia membalas teriakan para pendukung yang sudah menunggunya sejak tadi.
Kampanye akbar yang menjadi momen terakhir jelang pencoblosan pada 20 April 2019 itu menandai enam bulan perjalanan saya melakukan liputan politik. Hasil akhirnya, kita tahu, Jokowi kembali berhasil menjadi RI-1 dengan wakil barunya, Ma’ruf Amin.
Liputan Politik: Dinamika Kampanye Pilpres
Menjalani liputan politik dalam kontestasi pilpres sejujurnya cukup melelahkan. Agenda yang padat, transkrip wawancara menumpuk, dan jadwal kampanye ke luar kota menjadi rutinitas harian kala itu.
Apa yang disampaikan calon presiden dan calon wakil presiden saat kampanye pun berulang. Program kerja, janji yang belum tuntas, hingga retorika untuk menarik simpati pemilih.
Rasa-rasanya saat itu saya jauh lebih hafal soal visi misi, program kerja, maupun anggaran lebih dari tim sukses atau para pemilih calon nomor urut satu.
Baca juga: Meliput Kegiatan Presiden RI dengan Jurnalis Kompas TV Alfania Risky Octavia

Setidaknya ada lima hingga sepuluh artikel hasil liputan politik tentang calon tersebut dalam sehari yang saya kirimkan ke redaksi untuk diunggah. Belum lagi artikel opini dari pengamat politik yang juga wajib dikerjakan.
Kantor saya pun bagaikan pindah tempat ke posko pemenangan yang berlokasi di Jalan Cemara, Menteng, Jakarta Pusat itu. Posko ini sebelumnya juga menjadi pusat kampanye Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri, menulis hasil liputan politik tentang calon petahana rasanya lebih mudah. Informasi gampang didapat, akses ke sumber lebih terbuka, dan program kerjanya sebagian besar sudah berjalan.
Sampai suatu hari, editor saya mengomentari salah satu tulisan yang saya buat.
“Tulisan lo Jokowi banget,” ujarnya.
Saya meringis.
Baca juga: 3 Tips Menulis Artikel Layaknya Jurnalis
Saya tak tahu pasti apa yang membuat tulisan dengan kutipan dari akademisi itu kemudian disebut “Jokowi banget”. Apakah karena saya lebih banyak mengutip sumber yang menguntungkan kandidat? Atau jangan-jangan saya tidak memberi ruang bagi kandidat lawan?
Di sisi lain, saya ingat betul bahwa kebijakan redaksi saat itu adalah membagi porsi pemberitaan lebih besar untuk calon petahana ketimbang calon baru.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah ini bagian dari keseimbangan pemberitaan dalam liputan politik? Atau bentuk bias yang seharusnya tak terjadi?
Bias dalam Liputan Politik
Sebagai jurnalis, tentu saya diajarkan untuk selalu berimbang dan objektif. Tugas saya adalah menyampaikan fakta, bukan membentuk opini.
Namun, di tengah pesta demokrasi yang digelar lima tahun sekali itu, prinsip tersebut sering kali diuji.
Apalagi persepsi publik terhadap pemberitaan para calon di media sosial tak jarang dipengaruhi narasi yang bisa dibilang terlalu liar.
Padahal, saat itu saya selalu berupaya membuat tulisan dengan lengkap, narasumber dari kedua pihak, opini dari akademisi, hingga mencantumkan data-data yang relevan. Tapi tetap saja, artikel yang diunggah akan diartikan oleh masing-masing pihak.
Saya pun menyadari, bias politik dapat muncul dalam berbagai bentuk: pemilihan narasumber, diksi dalam judul, penggunaan kalimat yang terkesan positif, hingga framing dalam artikel yang dipublikasikan.

Apakah media yang memberikan porsi lebih banyak bagi petahana lantas berpihak? Tidak juga.
Media yang berkualitas akan selalu berusaha memberikan porsi pemberitaan yang berimbang. Tak hanya menyajikan fakta, tapi juga kritik kepada petahana. Begitu pun bagi kandidat lawan.
Baca juga: Apa Itu Hak Jawab dan Hak Koreksi di Media?
Pada akhirnya, tidak ada jurnalis yang sepenuhnya netral. Ada latar belakang, pengalaman, dan cara pandang yang turut berpengaruh pada tulisan yang dibuat.
Akan tetapi, tentunya jurnalis tetap harus berpegang pada fakta dan memberi ruang untuk berbagai sudut pandang.
Lima tahun kemudian, saya tak lagi ikut dalam hiruk-pikuk pemberitaan kontestasi pilpres.
Tak ada lagi tergopoh-gopoh mengejar kandidat di tiap agenda kampanyenya, tak ada lagi deadline berita yang harus segera tayang, atau perdebatan angle berita mana yang lebih menarik.
Saya sungguh bersyukur pada Pilpres 2024 hanya menjadi penonton pertarungan politik yang diikuti tiga pasangan calon itu.
Tanpa perlu khawatir dianggap memihak, kini saya bebas memuji, atau bahkan mengkritisi berbagai kebijakan di bawah kepemimpinan presiden baru.