Jika ditanya mengapa saya memilih untuk meniti karier menulis, saya teringat sebuah cuplikan pepatah sederhana.
There is always a first time for everything.
Cuplikan pepatah ini pertama kali saya baca dalam halaman belakang sebuah buku anak-anak yang saya temukan di salah satu toko buku di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, belasan tahun silam.
Satu kalimat singkat, namun membawa efek yang sangat membekas di benak dan ingatan saya kala itu, bahkan hingga kini.
Kurang lebih, pepatah itu pula yang kemudian membantu saya untuk mencoba berbagai pengalaman baru.
Saya pun mengambil tantangan dan risiko yang juga bersembunyi di balik kesempatan-kesempatan baru, termasuk salah satunya meniti karier menulis di industri media, komunikasi, maupun periklanan.
Satu Profesi, Beda Tantangan
Menulis adalah sesuatu yang saya sukai sejak saya memiliki kesukaan untuk membaca.
Semua dimulai dari blogging di situs nge-hits saat itu, Blogspot, hingga menulis berpuluh-puluh lembar esai hasil membaca karya sastra semasa kuliah Sastra Inggris.

One can’t simply write without reading, they say.
Pepatah tersebut juga melekat di benak saya terkait karier menulis.
Memang, seseorang mungkin tidak dapat menghasilkan tulisan yang baik jika sebelumnya ia tidak menjadi pembaca yang baik. Namun lebih dari itu, saya baru menyadari bahwa yang dimaksud dengan menjadi pembaca yang baik bukanlah sekadar kegiatan membaca.
Kegiatan menulis tidak melulu diasah dari membaca tulisan namun dari kegiatan ‘membaca’ situasi, ‘membaca’ pembicaraan yang dituturkan orang lain, ‘membaca’ penuturan ahli atau narasumber, dan jenis ‘membaca’ lain yang bukan dalam bentuk rangkaian huruf di atas kertas atau layar.
Jenis membaca yang kemudian menuntut kemampuan-kemampuan lain seperti kecakapan berkomunikasi dan ketelatenan dalam mendengar.
Kemampuan Membaca dalam Karier Menulis

Di industri media, keakuratan informasi adalah yang utama. ‘Membaca’ dengan teliti adalah kit utama yang perlu digunakan dalam menulis, khususnya ketika harus menulis informasi yang didapat dari data dan jurnal-jurnal ilmiah.
Membaca dengan teliti itu dibutuhkan pula di kala saya harus menulis di saat-saat yang tidak terduga. Seperti ketika bekerja di suatu divisi pemerintahan, di mana saya wajib menyelesaikan pekerjaan menulis pada dini hari dan menyelesaikannya sesegera mungkin untuk kemudian dapat disebarkan ke publik.
Di industri PR, ‘membaca’ citra positif brand atau perusahaan diperlukan dalam menulis agar makna dan tujuan dari brand tersebut tersampaikan dengan baik ke publik, membaca value suatu brand yang ingin mereka bagikan kepada audiensnya.
Di industri periklanan dan komersial, ‘membaca’ keinginan perusahaan atau suatu brand jadi kunci khusus yang diperlukan dalam menulis, untuk kemudian mengubah keinginan-keinginan tersebut menjadi copywriting yang dapat menarik perhatian konsumen.
Meski sama-sama bagian dari karier penulis, nyatanya menulis di berbagai industri tersebut memiliki tantangan dan solusi yang berbeda-beda pula.
Semuanya adalah pengalaman first time yang menyenangkan.

A first time of everything; nyatanya, kalimat ini tidak hanya cocok disematkan dalam konteks pembahasan bayi dan anak seperti dalam buku yang saya temukan dahulu.
Pertama kali merangkak, pertama kali melangkah, pertama kali masuk sekolah. Ini juga untuk dipahami kalangan dalam segala usia, latar belakang, dan profesi.
Pun sebelum akhirnya mencoba pengalaman my first time of everything (dalam hal ini meniti karier menulis), saya diyakinkan bahwa tulisan mampu membawa dampak yang luar biasa.
Bagaimana tulisan dapat membantu kita memahami sesuatu, mencerna lebih dalam sesuatu yang sebelumnya hanya bisa terlihat oleh mata, membantu mengenal lebih dalam sesuatu yang sebelumnya hanya dilihat sekilas pandang, dan utamanya membantu menyebarkan sesuatu yang bernilai baik dan bermanfaat untuk diketahui lebih banyak orang.
Ini memberikan kesempatan mereka memaknai their first time of everything through our writings.