Dada saya tiba-tiba terasa sangat sesak. Tenggorokan bagai menelan benda super pahit dan pedas.
“Ada apa ini?” pikir saya waktu itu.
Butuh waktu beberapa menit hingga teriakan orang-orang di sekitar menyadarkan saya.
Gas air mata telah dilontarkan ke arah warga akibat penolakan yang semakin agresif atas penggusuran di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.
Pandangan pun mendadak kabur dan berair.

Saya jurnalis bau kencur yang belum genap setahun bekerja itu, ikut berlarian bersama warga dan rekan wartawan lainnya.
Bingung, panik, dan takut bercampur aduk.
Tanpa mempedulikan apapun yang ada di depan, saya berlari menerjang keluar dari kerumunan mencari tempat aman.
Cukup sulit menemukan tempat berlindung. Jalanan Jatinegara yang tak terlalu luas itu aksesnya telah ditutup dan dipadati warga serta aparat.
Belum lagi asap dan bau gas air mata yang menusuk.
Baca juga: 5+ Tips Menulis Feature yang Menyentuh Hati Pembaca
Saya akhirnya menemukan pos pengamanan yang cukup aman di ujung jalan. Jaraknya mungkin hanya 100 meter, tapi saat itu rasanya saya sudah berlari belasan kilometer.
Seorang rekan kemudian memberikan pasta gigi untuk dioles di bawah mata. Katanya untuk mengurangi rasa pedas dan perih akibat gas air mata.
Tanpa banyak bertanya, saya pun menurut.
Catatan Penggusuran Kampung Pulo
10 tahun silam, tepatnya Agustus 2015, terjadi bentrokan yang melibatkan warga di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dipimpin Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) mengambil kebijakan untuk menggusur pemukiman liar di Kampung Pulo sebagai bagian dari proyek normalisasi Kali Ciliwung.
Mengutip dari pemberitaan Kompas.com, normalisasi menjadi upaya yang dilakukan Pemprov DKI untuk mengatasi banjir yang kerap melanda wilayah Kampung Pulo.
Sebagai bagian normalisasi, puluhan bangunan yang ada di bantaran kali pun harus digusur.
Sebagai gantinya, sebanyak 500 kepala keluarga saat itu mendapat rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Jatinegara Barat dengan biaya sewa Rp300.000 per bulan.
Baca juga: Memahami Jurnalisme Sastrawi: Seni Bercerita Melalui Berita

Perlawanan sengit dari warga tak lepas dari keinginan ganti rugi yang dianggap tak sesuai.
Saat itu, warga ingin Pemprov DKI membayar uang kerahiman atau ganti rugi. Namun Ahok lebih memilih untuk memindahkan warga ke rusunawa.
Meski sempat terjadi bentrokan hingga satu backhoe (sejenis excavator) dibakar dan sejumlah orang luka, penggusuran itu akhirnya tetap dilakukan.
Warga pun pasrah dan pindah menempati rusunawa Jatinegara Barat yang lokasinya tak jauh dari Kampung Pulo.
Empati dan Tantangan Keberimbangan
Sebagai jurnalis, meliput penggusuran warga kerap kali menjadi tantangan yang tak mudah dilakukan.
Terlebih di zaman Ahok, penggusuran rumah warga cukup sering terjadi. Selain Kampung Pulo, terdapat penggusuran sejumlah pemukiman lain yang tak lepas dari bentrokan warga.
Sebut saja penggusuran Bukit Duri, Kampung Akuarium, hingga Kalijodo.
Rasanya tak ada satu pun liputan penggusuran yang tak saya lewatkan saat itu.
Saya masih ingat bagaimana suara alat berat yang mulai dibunyikan untuk menghancurkan dinding rumah warga mendapat balasan lemparan batu. Segala prosesnya pun selalu berujung ricuh.
Baca juga: Dilema Saya di Tengah Bias Liputan Politik
Berbulan-bulan saya meliput proses sosialisasi, membuntuti mobil pejabat daerah yang mendatangi rumah-rumah warga, merekam suara warga yang marah, pasrah, bahkan kadang hanya bisa terdiam karena sudah terlalu lelah.
Di satu sisi ada aparat dan aturan hukum, namun di sisi lain ada warga yang tak punya sertifikat tapi telah tinggal berpuluh tahun.
Namun ketika bekerja, saya harus mencatat keduanya.
Menuliskan kutipan warga, menambahkan data, menyisipkan pernyataan gubernur, memverifikasi kembali, meski pada akhirnya tidak semua yang saya rasakan ketika meliput dapat saya tuliskan.
Bagaimana mereka kehilangan akses ke tempat kerja, bagaimana anak mereka yang sekolahnya menjadi semakin jauh, hingga lansia yang mungkin kebingungan karena tinggal di rusunawa tanpa tangga darurat yang layak.

Saat bekerja di redaksi, tentu saya harus tetap menulis dengan berimbang. Tapi dalam hati, saya bertanya-tanya, apa benar penggusuran ini demi kebaikan kota? Apa mereka tak punya hak tinggal?
Meliput penggusuran di era Ahok tentu menjadi salah satu bagian berkesan yang membentuk perjalanan saya sebagai jurnalis.
Dalam waktu bersamaan, liputan ini menantang netralitas sekaligus menguji empati.
Meliput penggusuran menjadi pengingat bahwa jurnalis tak hanya menulis fakta. Tapi juga saksi dari peristiwa yang tak masuk ke laporan utama.
Soal kehilangan, ketakutan, dan mungkin saja yang disebut warga sebagai keadilan.
Satu dekade berlalu, tentu saya berdoa kehidupan warga yang pernah terdampak penggusuran itu membaik.