Bagaimana jadinya jika setiap sudut hotel menyimpan jejak sejarah dan sentuhan budaya dari berbagai penjuru dunia?
Strategi branding Hotel Tugu Malang membuat pengalaman menginap tak hanya soal staycation yang nyaman, tapi juga pengalaman berkesan di tengah koleksi warisan budaya di tiap ruangan.
Hotel Tugu Malang yang berlokasi di pusat kota Malang, Jawa Timur, menjadi hotel milik jaringan Tugu pertama yang dibangun pada 1990.
Hotel ini masuk daftar 10 Best City Hotels di Asia-Pasifik versi Travel + Leisure 2025, salah satu media terkemuka di dunia pariwisata.
Kini Hotel Tugu telah ada di sejumlah kota mulai dari Blitar, Bali, Lombok, dan terbaru yakni House of Tugu Jakarta yang dibuka pada 2024.
RadVoice Indonesia berkesempatan menginap satu malam di Hotel Tugu Malang pada 14-15 Juni 2025.
Dalam kunjungan ini, RadVoice mewawancarai Budi Sesario Saputro atau akrab disapa Rio, Marketing Communication Hotel Tugu Malang.
Ia menjelaskan bagaimana nilai-nilai sejarah dan budaya menjadi kekuatan dalam strategi branding hotel. Berikut selengkapnya.
Strategi Branding Hotel Tugu Malang Lewat Sejarah dan Budaya
Perpaduan seni, sejarah, dan budaya yang menjadi konsep utama di Hotel Tugu Malang bertujuan membuat tamu yang datang tak hanya menginap, tapi juga pulang dengan pengetahuan baru.
“Kami termotivasi supaya tetap mengangkat budaya yang hampir terlupakan ini agar orang yang datang ke Hotel Tugu Malang bukan cuma makan enak, stay yang nyaman, tapi keluar dari sini jadi punya pengetahuan baru,” kata Rio.
Baca juga: Mengenal Ritual ‘Coffee Manten’: Strategi Komunikasi Hotel Tugu Blitar dalam Menghidupkan Tradisi

Konsep Hotel Tugu Malang berawal dari kecintaan pemilik, Anhar Setjadibrata terhadap seni, sejarah, dan budaya.
Sebagai kolektor, Anhar ingin membangun hotel bukan sekadar sebagai tempat bermalam tapi juga ruang untuk memperkenalkan berbagai warisan budaya dari dalam dan luar negeri.
Berbeda dengan jaringan hotel Tugu lainnya seperti Hotel Tugu Bali yang lekat dengan budaya lokal dan nuansa artistik tradisionalnya, Hotel Tugu Malang menjadi titik awal dari seluruh perjalanan hotel-hotel tersebut.
Dari Jalur Sutra hingga Maroko
Bagian depan Hotel Tugu Malang identik dengan bangunan kolonial Belanda. Namun saat masuk, tamu akan merasakan suasana babah peranakan Tionghoa-Indonesia yang khas.
Rio mengatakan, setiap ruang yang ada dalam hotel juga memiliki ciri yang berbeda.
Ada ruang bertema jalur sutra sehingga tamu dapat merasakan pengaruh Persia hingga Mongolia. Ada juga ruangan yang penuh dengan koleksi berunsur Tionghoa hingga Nusantara.

Di antaranya termasuk koleksi porselen antik dari zaman Dinasti Han hingga Dinasti Qing, dan berbagai barang antik yang turut menghiasi ruangan.
“Karena Pak Anhar di sini ingin masuk ke semua konsep culture dan sejarah, maka konsep dari depan dan tiap ruangan beda-beda,” jelasnya.
Tak hanya soal sejarah, nuansa romantis juga dihadirkan lewat Endless Love Avenue, lorong bergaya Maroko yang sering digunakan untuk acara pernikahan atau perayaan besar lainnya.
Sementara salah satu ruangan yang cukup private adalah Sugar Baron Room, yang terinspirasi dari leluhur Anhar, Oie Tiong Ham, yang juga dikenal sebagai raja gula di Semarang pada awal abad ke-19.
Tokoh tersebut, kata Rio, adalah keturunan imigran Tionghoa yang sukses membangun bisnis tebu dan karet hingga menjadi salah satu orang terkaya di Asia Tenggara pada masanya.
Di dalam ruangan tersebut terdapat lukisan kuno bergambar wanita cantik jelita dengan rambut panjang bernama Oei Hui Lan, putri dari Oei Tiong Ham.

Untuk kuliner, Hotel Tugu Malang memiliki dua restoran utama yakni restoran Melati yang buka 24 jam dan menyajikan beragam menu dari Indonesia, Tionghoa, hingga Barat.
Kemudian ada juga SaigonSan yang menyediakan menu Vietnam dan Thailand.
Rio menuturkan, semua elemen di dalam hotel merupakan bagian dari strategi branding Hotel Tugu Malang untuk memberikan pengalaman tak biasa bagi para tamu.
“Jadi tidak hanya stay terus selesai, kami juga ingin jadi salah satu destinasi utama di Malang. Selain makan, tidur, bisa juga hotel tour, melihat sejarah, budaya,” katanya.
Ubah Stigma ‘Tua’ Jadi Daya Tarik
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Hotel Tugu Malang adalah persepsi masyarakat, khususnya generasi muda.
Lantaran penuh dengan koleksi antik dan nuansa klasiknya, Hotel Tugu Malang kerap dianggap ‘tua’ dan kurang menarik.
“Di kalangan anak muda yang tidak kenal seni, budaya, sejarah, hotel ini sering dipandang sebelah mata,” ucap Rio.
Baca juga: Marketing Manager ISMAYA Nadya Natasha Berbagi Strategi Menjaga Konsistensi dalam Branding FnB

Meski seiring waktu, persepsi itu mulai berubah. Banyak tamu generasi muda akhirnya terpikat setelah diajak kerabat atau mengikuti hotel tour.
Menurut Rio, banyak dari tamu akhirnya menemukan sisi lain Hotel Tugu Malang yang penuh dengan spot foto estetik dan cerita-cerita menarik di balik koleksinya.
“Ini yang bikin orang akhirnya berubah pikiran dan menyadari, ‘Wah, ternyata seru juga’,” ujarnya.
Kesimpulan
Strategi branding Hotel Tugu Malang menunjukkan bahwa hotel bukan sekadar tempat menginap, tetapi bisa jadi sarana untuk memperkenalkan budaya.
Lewat konsep di tiap ruang, kuliner, hingga cerita di balik koleksinya, Hotel Tugu Malang mengajak tamu untuk memahami masa lalu secara lebih personal dan bermakna.
Meski muncul persepsi ‘tua’ karena koleksi klasiknya, Hotel Tugu Malang justru menjadikannya kekuatan.
Dengan pendekatan nilai-nilai budaya dan visual yang estetik, hotel ini membuktikan bahwa warisan budaya bisa menjadi pengalaman yang relevan dan tetap menarik.
Wawancara dengan Budi Sesario Saputro dilakukan pada Minggu, 15 Juni 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.