Di era profesional yang kompetitif, bisa menceritakan diri sendiri dengan baik adalah sebuah keahlian penting.
Saat wawancara kerja, menulis profil LinkedIn, atau presentasi di depan klien, kamu perlu menjelaskan siapa dirimu, apa keahlianmu, dan mengapa kamu layak dipercaya.
Masalahnya, banyak dari kita justru merasa canggung saat harus bicara tentang diri sendiri. Seringnya, kita takut dikira sedang pamer pencapaian dan terlihat sombong.
Akhirnya, kita memilih untuk merendah dan membiarkan peluang besar lewat begitu saja. Padahal, menceritakan diri sendiri bukanlah kenarsisan, selama dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Di sinilah storytelling memainkan peran kunci. RadVoice Indonesia akan mencoba mengulas bahwa dengan menceritakan diri sendiri, kamu bisa berbagi pengalaman, nilai, dan pencapaian secara otentik, relatable, dan manusiawi.

Baca juga: Tips Merancang Konten Newsletter yang Menarik dan Disukai Pembaca
Mengapa Storytelling Relevan untuk Karier?
Manusia secara alami menyukai cerita. Kita lebih mudah mengingat kisah ketimbang data, lebih tertarik pada perjalanan ketimbang daftar pencapaian.
Publik figur yang sering menyampaikan kisah tentang karir, kehidupan, maupun branding akan diri dan orang lain yaitu Dave Hendrik dan Iwet Ramadhan melalui podcast YouTube.
Dalam konteks karier, storytelling diri sendiri bermanfaat untuk:
- Membuatmu lebih mudah diingat oleh perekrut, klien, atau partner.
- Membangun koneksi emosional, bukan sekadar kesan teknis.
- Menunjukkan proses dan nilai di balik pencapaianmu, bukan sekadar hasil akhir.
Dengan kata lain, storytelling mengubah kamu dari sekadar “profesional dengan CV bagus” menjadi “seseorang yang punya perjalanan dan makna di balik kinerjanya”.
Kesalahan Umum Saat Menceritakan Diri Sendiri
Sebelum masuk ke strategi, penting untuk menghindari beberapa jebakan umum saat berbicara tentang diri sendiri:
1. Terlalu Fokus pada Diri Sendiri
Kamu bicara terus tentang “saya, saya, saya” tanpa mempertimbangkan audiens. Hasilnya, kamu terkesan egois atau kurang peka. Dalam bahasa kekinian biasanya disebut sebagai seseorang yang tone deaf.
2. Terlalu Merendah
Kamu enggan menyebut pencapaian karena takut dianggap pamer, padahal kamu punya kontribusi nyata.
3. Tidak Ada Alur Cerita
Ceritamu berantakan, lompat-lompat, atau hanya berupa daftar pengalaman kerja tanpa konteks. Padahal, storytelling yang baik selalu punya tujuan, struktur, dan relevansi.

Baca juga: Cara Efektif Mengoptimalkan Konten Lama dengan Content Repurposing
Cara Menceritakan Diri Sendiri yang Efektif
Berikut panduan yang bisa kamu praktikkan dalam situasi profesional:
Tentukan Pesan Utama (Core Message)
Sebelum bercerita, tanyakan dulu: apa yang ingin audiens saya pahami tentang saya? Contoh pesan:
- Saya adalah orang yang selalu belajar dari tantangan.
- Saya bisa memimpin tim kecil dan mengubah hasil kerja secara signifikan.
- Saya menggabungkan kreativitas dengan data.
Setelah itu, pilih cerita yang mendukung pesan itu. Tanpa pesan inti, cerita mudah melebar dan kehilangan arah.
Gunakan Struktur “STAR”
Teknik populer dalam wawancara kerja ini bisa kamu gunakan juga saat membuat narasi pribadi:
- Situation: Apa konteks atau latar belakangnya?
- Task: Apa tanggung jawab atau tantanganmu saat itu?
- Action: Apa yang kamu lakukan secara konkret?
- Result: Apa hasil atau dampaknya?
Contoh:
“Saya ditunjuk menjadi koordinator tim marketing saat performa tim sedang turun. Target engagement tidak tercapai dua bulan berturut-turut. Maka, saya mulai dengan mendengarkan satu per satu anggota tim, merevisi alur kerja dan menyederhanakan KPI. Hasilnya, dalam satu kuartal, kami meningkatkan engagement sebesar 45% dan tim merasa lebih kolaboratif.”
Cerita ini menunjukkan kepemimpinan, empati, dan hasil, tanpa terdengar menyombongkan diri.
Fokus pada Nilai dan Proses, Bukan Pujian
Poin penting storytelling adalah membagikan pelajaran dan nilai, bukan pamer hasil akhir. Alih-alih mengatakan:
“Saya berhasil memenangkan penghargaan penulis terbaik di perusahaan.”
Coba versi yang lebih reflektif:
“Pengalaman ikut lomba internal penulisan mendorong saya belajar menyusun ide lebih strategis. Saya tidak menyangka akhirnya mendapat penghargaan, tapi yang paling berharga adalah feedback yang saya terima dari mentor saat proses itu.”
Dengan cara ini, kamu terdengar berbobot dan rendah hati, tapi tetap menunjukkan kompetensi.
Sesuaikan Cerita dengan Audiens
Ceritakan hal yang relevan dengan konteks. Cerita untuk perekrut berbeda dengan cerita saat pitching ke klien. Pilih elemen yang penting bagi pendengar.
Apakah mereka peduli pada hasil bisnis? Tertarik dengan pendekatan kreatifmu? Atau mencari seseorang yang tahan banting? Storytelling terbaik selalu memperhatikan siapa pendengarnya.

Baca juga: Mengapa Thought Leadership Content Penting untuk CEO?
Kesimpulan
Menceritakan diri sendiri dengan cara yang bijak bukanlah kesombongan ataupun kenarsisan. Justru itu bentuk tanggung jawab profesional.
Tujuannya, agar orang tahu nilai yang kamu bawa, dan kamu mendapat kesempatan yang sesuai dengan potensi yang kamu miliki.
Di era personal branding, storytelling adalah alat yang bisa membuat kamu dikenal, diingat, dan dipercaya. Bukan karena kamu “jualan diri”, tapi karena kamu punya cerita yang layak didengar.
Jadi, bukan soal apakah kamu harus bercerita, melainkan bagaimana kamu memilih untuk melakukannya. Sebab, di balik setiap karier yang kuat, selalu ada cerita yang tidak boleh dilupakan.