Menjadi jurnalis untuk media asing memiliki tantangan dan pendekatan jurnalistik yang berbeda dengan media nasional, tak terkecuali jurnalis media Jepang.
Mulai dari perbedaan gaya bahasa, sudut pandang, hingga kebutuhan pembaca yang cenderung lebih beragam dan spesifik dibandingkan media nasional.
Rezha Hadyan memulai karier jurnalistiknya pada 2016. Ia pernah menjadi wartawan Voice of Indonesia, Kontan, Bisnis Indonesia, Forbes Indonesia, hingga Investortrust.
Kini, ia melanjutkan karir sebagai jurnalis media Jepang Nikkei, dengan fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan politik luar negeri di Indonesia.
RadVoice Indonesia berbincang dengan Rezha terkait pengalamannya menjadi jurnalis Nikkei. Berikut selengkapnya.
Perjalanan Rezha Sebagai Jurnalis Media Jepang

Gambaran suasana kantor media Jepang Nikkei Inc. (Foto dari website Nikkei)
Sebelum bergabung di Nikkei, Rezha lebih dulu berkarier di salah satu media nasional.
Rezha lebih tertarik untuk menulis dengan lebih objektif tanpa intervensi kepentingan, seperti tekanan dari klien iklan yang kerap ditemui di media nasional.
“Kalau di media asing, kan, kalau memang faktanya A, kita ngomongnya seperti itu saja, tulisnya seperti itu, jadi lebih objektif. Itu kenapa dari dulu memang kepengin di media asing karena itu,” ujar Rezha.
Kesempatan bergabung muncul saat melihat lowongan yang dibagikan oleh temannya. Setelah melewati sekitar empat tahap seleksi, mulai dari tes tulis hingga wawancara, Rezha akhirnya diterima.
“Waktunya enggak begitu lama juga ya. Kurang lebih enggak sampai dua bulan, satu bulan lebih sedikit,” katanya.
Perbedaan Sudut Pandang Pemberitaan
Sebagai jurnalis media Jepang, Rezha fokus pada isu ekonomi, bisnis, dan kebijakan luar negeri. Gaya peliputan mereka dinilai lebih detail dan mendalam.
“Untuk kebanyakan pembacanya investor, pebisnis, dan pengambil kebijakan dari tingkat global juga,” katanya.
Meskipun Nikkei Asia merupakan versi berbahasa Inggris dari Nikkei Inc, Rezha tidak hanya menulis untuk platform ini.
Ia juga menulis konten yang ditujukan untuk koran Nikkei (Nihon Keizai Shimbun).
Meskipun artikelnya ditulis dalam bahasa Inggris, akan ada tim yang menerjemahkannya ke bahasa Jepang untuk versi cetak.
Baca juga: Cerita Elisa Valenta Menjadi Koresponden Media Singapura
Tantangan Rezha Menjadi Jurnalis Media Jepang

Menjadi jurnalis media Jepang membuat Rezha harus terus menyesuaikan sudut pandang dalam memilih dan menyajikan berita.
Salah satu tantangannya adalah memilah informasi yang relevan bagi pembaca global, bukan hanya penting bagi audiens lokal.
“Buat orang Indonesia, kalau pejabat tinggi ngomong sesuatu itu kelihatan penting. Tapi buat pembaca luar negeri, belum tentu relevan,” ungkapnya.
Jika tidak hati-hati menulis pernyataan pemangku kepentingan yang belum pasti, berita yang ditulis bisa menjadi misleading.
“Omongannya bisa beda-beda antar pejabat. Kita harus hati-hati banget, jangan langsung nulis ‘pemerintah akan begini’,” ujar Rezha.
Cara Rezha Menulis Berita untuk Media Jepang
Menurut Rezha, menulis berita untuk audiens internasional tidak hanya mengandalkan siapa narasumber yang berbicara.
Yang jauh lebih penting adalah apa dampaknya secara nyata, terutama bagi sektor bisnis dan investor global.
“Mungkin kita lihat sektor-sektor apa yang paling penting dan paling berdampak banget ke ekonomi Indonesia. Misalnya kayak pertambangan, itu juga harus jadi sorotan juga. Terus kayak agrikultur juga kita tulis,” katanya.
“Efisiensi anggaran, itu kemarin juga, nah itu kita tulis. Kita melihat dampaknya, tapi pemilihan angle beritanya menyeluruh ke bisnis yang memang terkait gitu loh sama kebijakan tersebut,”
Salah satu contohnya adalah liputan tentang tren wellness.
“Kita ulas dari sisi bisnisnya, jadi tren ini membawa bisnis-bisnis yang berkaitan dengan gaya hidup sehat kayak gimana, mungkin bisnisnya fitness, terus bisnis makanan sehat atau sportswear,” jelasnya.
Baca juga: Pengalaman Jurnalis Nadia Jovita Liputan Eksklusif di Tiongkok
Pengalaman Berkesan

Pengalaman paling berkesan terjadi saat liputan di sentra produksi sepatu yang berlokasi di Cibaduyut, Bandung, bersama kepala biro Nikkei yang merupakan warga negara Jepang.
“Kita mau liputan soal gimana dampak dari tarif Trump ke industri di Indonesia dan bakal bagaimana, khususnya untuk produk-produk China yang makin banjir, produk-produk murahnya itu,”
“Dan di Indonesia kayak bagimana dampaknya, apakah sekarang sudah terasa atau gimana,”
Namun, di tengah proses liputan, kepala biro tiba-tiba mengingat sebuah brand sepatu asal Bandung yang cukup dikenal di Jepang. Bahkan, ia sendiri memiliki sepasang.
Mereka kemudian mendatangi pabrik lokal yang sepatunya ternyata populer di Jepang.
“Eh ternyata disambut baik sama founder dan owner-nya pabrik itu. Dan akhirnya dapet kesempatan wawancara,”
“Harganya bisa 3-4 kali lipat dari produk lokal dan kualitasnya, tapi bagus banget memang. Dari produk-produk yang umum di sini, tapi kualitasnya bagus banget,” terang Rezha.
“Terkadang kita sudah menyusun rencana liputan, tapi ada yang menarik, ya sudah pilih ini. Kalau memang menarik dan memungkinkan selagi masih aman, sikat.”
Kesimpulan
Perjalanan Rezha sebagai jurnalis media Nikkei tidak hanya mengandalkan kemampuan liputan untuk pembaca global yang relevan, namun juga mengedepankan nilai-nilai penting dalam angle pemberitaan di media internasional.
Rezha harus bisa memilah mana isu-isu lokal yang memiliki relevansi global.
Ia tidak bisa begitu saja menulis berdasarkan pernyataan pejabat tinggi Indonesia tanpa verifikasi dan analisis dampak ekonomi yang kuat.
Kejelian dalam membaca dinamika sektor-sektor strategis seperti pertambangan, agrikultur, dan kebijakan fiskal menjadi kunci dalam memilih topik yang benar-benar penting dan berdampak besar.
Wawancara dengan Rezha Hadyan dilakukan pada Sabtu, 3 Mei 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.