Bagaimana jika strategi branding dibangun dari cerita-cerita yang menyentuh hati?
Hal itulah yang dilakukan Purba Wirastama, koordinator brand marketing Save the Children Indonesia, lembaga swadaya masyarakat atau NGO yang fokus pada isu anak.
Kekuatan konten cerita lewat artikel dan video hingga konten produk menjadi andalan dalam strategi branding Save the Children, khususnya dalam menyampaikan pesan yang lebih otentik.
Berkarier di Save the Children sejak 2019, Purba kini fokus memimpin pencarian ide dan eksekusi berbagai kegiatan untuk membangun brand dan hubungan emosional dengan publik lewat pengalaman langsung.
Purba sebelumnya sempat menjadi jurnalis hiburan selama hampir tiga tahun di Metrotvnews.com dan sebelumnya magang sebagai reporter The Jakarta Post.
RadVoice Indonesia telah berbincang dengan Purba untuk membahas tentang storytelling pada strategi branding Save the Children. Berikut selengkapnya.
Storytelling dalam Strategi Branding Save the Children
Konsep storytelling menjadi strategi branding yang signifikan untuk Save the Children.
Purba mengatakan, jenis cerita yang rutin disampaikan adalah human interest story atau case study yang menceritakan persoalan, pendekatan, maupun laporan pencapaian program.
Dalam NGO, laporan biasanya dibuat dengan penuh angka-angka hasil monitoring dan evaluasi.
Sementara tim Save the Children perlu menyampaikan hasilnya ke pihak eksternal dan publik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada donor dan membangun reputasi organisasi.
Baca juga: Storytelling dalam Jurnalisme: Menceritakan Fakta dengan Cara yang Berbeda

Human interest story, menurutnya, menjadi upaya untuk membuat capaian itu punya wajah sehingga bisa dengan mudah diterima oleh audiens.
“Human interest story membantu kami untuk menyampaikan hal-hal tersebut secara lebih sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai pihak. Sebagai manusia, kita lebih mudah terkoneksi dengan cerita personal,” katanya.
Mengelola Konten Lewat Storytelling
Sebagai bagian dari strategi branding, Purba banyak berperan dalam pengelolaan konten cerita berupa artikel web dan video.
“Konten cerita ini yang kemudian juga menjadi rujukan bagi pembuatan konten media sosial dan desain berbagai communication collateral,” jelasnya.
Dalam konten cerita, Purba banyak membantu menyusun pertanyaan wawancara dan mengulasnya sebelum artikel dibagikan.
Menurutnya, artikel-artikel tersebut semestinya mampu menyampaikan peran masyarakat lokal, mengutip langsung cerita anak-anak dan orang dewasa dalam kata-kata mereka sendiri, hingga mengakui peran dan keterlibatan semua mitra Save the Children.
“Ini berpengaruh terhadap penentuan angle, penyusunan struktur cerita, susunan kalimat, pilihan kata, bagaimana proses wawancara dilakukan, dan juga bagaimana proses pengambilan foto atau video dilakukan,” ucap Purba.

Contohnya, pembuatan satu artikel web tentang bagaimana empat figur di desa di Kalimantan Barat mendorong desa bebas buang air besar sembarangan.
Program Save the Children tersebut berhasil membantu masyarakat memiliki jamban pribadi di setiap rumah tangga dan mendapatkan predikat desa bebas buang air besar sembarangan.
Program ini termasuk dalam sektor air bersih, sanitasi, dan higienis yang berkaitan erat dengan hak dasar anak untuk tumbuh dengan sehat.
Purba mengatakan, cerita ini perlu diangkat karena mewakili upaya program Save the Children yang berdampak melalui kolaborasi dengan orang lokal.
Angle yang dipilih terkait dengan peran para champion atau tokoh lokal yang menjadi penggerak dan pemerintah desa agar masyarakat lebih sadar akan isu sanitasi hingga bisa membangun jamban.
Prioritaskan Narasumber
Sebagai bagian dari storytelling, Purba juga selalu mengedepankan keamanan dan kenyamanan narasumber.
Hal ini tercermin ketika Purba mengangkat cerita dari program respons dan pemulihan di Flores Timur pascaerupsi Gunung Lewotobi.
Salah satu kegiatan yang dilakukan Save the Children bersama organisasi mitra adalah pembangunan ruang belajar sementara untuk anak-anak SD yang terdampak erupsi.
Purba yang menjadikan anak-anak tersebut sebagai narasumber utama, terlebih dulu melakukan asesmen risiko dan memastikan orangtua serta anak-anaknya sendiri bersedia.
“Kami sangat menjaga jangan sampai kehadiran kami membuat mereka tidak nyaman karena intensinya memang untuk mengumpulkan cerita sesuai kesediaan mereka,” terangnya.

Ia juga selalu melakukan pendekatan dengan anak-anak yang akan menjadi narasumber untuk memastikan mereka terbuka.
Apabila mereka keberatan, Purba selalu meminta agar anak-anak tersebut tak malu untuk menolaknya.
“Meskipun kami punya target untuk mendapatkan cerita, tapi jika tiba-tiba narasumber tidak berkenan atau risikonya terlalu tinggi, kami tidak bisa ambil. Kami juga susun pertanyaan yang relevan dan mudah dipahami,” ujarnya.
Purba juga selalu memastikan bahwa prinsip-prinsip tersebut turut menjadi pertimbangan saat menggelar acara untuk Save the Children.
“Misalnya: pertimbangan untuk mengundang anak-anak tampil atau bicara di panggung, atau mencocokkan capaian program yang mau disorot dengan audiens,” ucapnya.
Kesimpulan
Strategi branding Save the Children Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan sebuah cerita mampu menyampaikan pesan dengan cara yang lebih menyentuh dan mudah dipahami publik.
Melalui pendekatan storytelling, Purba dan timnya berupaya menyampaikan pesan hingga laporan program menjadi narasi human interest yang menarik tapi tetap penuh empati.
Cerita yang dibagikan tidak hanya menunjukkan hasil nyata dari kerja Save the Children, tapi juga membangun hubungan emosional dengan audiens dan reputasi.
Wawancara dengan Purba Wirastama dilakukan pada Selasa, 27 Mei 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.