PR di Era Cancel Culture: Melawan atau Minta Maaf?

cancel culture

Di era cancel culture atau budaya pemboikotan, public relations (PR) dituntut untuk lebih aktif dalam menjaga reputasi dan kepercayaan publik. 

Kesalahan kecil saja dapat memicu kritik yang menuntut perusahaan maupun tokoh publik untuk lebih transparan dan responsif. 

Anda tentu memahami bagaimana fenomena ini menimpa sejumlah selebritas di Korea Selatan. Akibatnya, banyak kontrak kerja sama antara brand dan selebritas yang diputus. 

Lalu, apa yang harus dilakukan praktisi PR saat menghadapi fenomena tersebut? 

RadVoice Indonesia merangkum penjelasan tentang fenomena cancel culture sebagai berikut. 

Apa itu Cancel Culture?

Cambridge Dictionary mendefinisikan cancel culture sebagai sikap atau aksi seseorang maupun kelompok di media sosial yang menolak untuk mendukung seseorang akibat perkataan atau perbuatannya yang dianggap menyinggung. 

Pelabelan cancel culture ini memang tidak dapat dipisahkan dari media sosial karena prosesnya yang cepat. Ini umumnya terjadi ketika publik menemukan jejak digital yang orang tersebut. 

Baca juga: 7 Langkah Hadapi Krisis PR di Media Sosial

cancel culture
Pelabelan cancel culture tidak dapat dipisahkan dari media sosial karena prosesnya yang cepat. (Foto oleh Freepik)

Menurut Jurnal Vokasi Indonesia mengenai Fenomena Cancel Culture di Indonesia: Sebuah Tinjauan Literatur, pelaku terbanyak dari gerakan cancel culture di media sosial berasal dari usia milenial akhir dan generasi Z. 

Kelompok ini dianggap memiliki kekuatan besar untuk mengangkat sebuah isu atau tren. 

Meski demikian, cancel culture disebut belum menjadi fenomena masif di Indonesia. Efek viral yang ditimbulkan dinilai masih terbatas pada masyarakat di perkotaan yang warganya memiliki tingkat literasi digital yang baik. 

Contoh Fenomena Cancel Culture

Seperti disebutkan sebelumnya, fenomena ini marak terjadi di Korea Selatan. Sejumlah selebritas di negeri ginseng itu banyak mengalami cancel culture hingga mengakhiri hidup akibat tekanan yang ada.

Sebut saja aktor ternama yang membintangi film Parasite, Lee Sun-kyun. Ia sempat dituduh terlibat menggunakan obat-obatan terlarang secara ilegal. 

Meski tuduhan ini masih dalam proses penyelidikan di pihak berwajib, Lee kemudian mengalami dampak dari cancel culture, salah satunya pemutusan kontrak kerja dengan brand. 

Syuting film yang dibintangi Lee saat itu juga menjadi tak jelas waktu penayangannya. Ia pun memilih menghindari sorotan publik saat isu tersebut menimpanya. 

Hingga aktor tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada Desember 2023. Sementara hasil tes narkoba yang telah dijalani ternyata negatif. 

cancel culture
Fenomena ini marak terjadi di Korea Selatan yang menimpa sejumlah selebritas. (Foto oleh Freepik)

Sementara di Indonesia, gerakan ini masih belum terlalu berdampak di masyarakat. Sejumlah selebritas seperti Saipul Jamil hingga presenter Gofar Hilman sempat mengalaminya karena kasus dugaan pelecehan seksual. 

Namun pada akhirnya para selebritas itu dapat kembali beraktivitas dan muncul kembali di berbagai acara. 

Beberapa brand juga sempat mengalami penolakan di masyarakat. Salah satu yang sempat terkena cancel culture adalah PT Alpen Food Industry, produsen es krim AICE, melalui tagar Boikot AICE pada 2020. 

Saat itu, publik memboikot es krim AICE karena perusahaan diduga tidak menerapkan sistem ketenagakerjaan yang sesuai regulasi. Namun tidak ada data pasti mengenai dampak pemboikotan terhadap pendapatan produk es krim tersebut. 

Bagaimana PR Menghadapi Cancel Culture?

Sebagai praktisi PR, Anda perlu memahami bagaimana menyikapi cancel culture. Sebab, fenomena ini dapat berdampak buruk bagi tokoh publik, brand, serta perusahaan. 

Jika tak segera diatasi, hal ini akan berdampak pada sejumlah hal, di antaranya merusak reputasi brand, kerugian finansial, hingga pengaruh ke moral karyawan karena mendapat persepsi negatif dari publik. 

Untuk itu, Anda perlu menerapkan manajemen krisis dalam menghadapinya. 

Mengutip The TASC Group, terdapat beberapa langkah yang dapat Anda lakukan sebagai berikut.

Meminta Maaf

Sampaikan permintaan maaf dengan tulus jika tokoh publik, brand, atau perusahaan yang Anda wakili memang bersalah.

Jangan mengabaikan karena itu justru akan meningkatkan reaksi yang semakin keras dari publik.

Komunikasi yang Transparan

Informasikan segala perkembangan terkini tentang langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan masalah dengan pihak yang berkepentingan.

Perbaiki Tindakan

Ubah tindakan dari tokoh, brand, atau perusahaan yang berdampak buruk pada reputasi. Komunikasikan pula upaya perbaikan ini kepada tim internal maupun media. 

Interaksi dengan Pihak yang Terdampak

Bangun kembali kepercayaan dengan menjangkau mereka yang terdampak langsung. Hal ini akan menimbulkan sentimen positif setelah mengalami cancel culture. 

Pantau Media Sosial

Terus pantau sentimen publik yang muncul di media sosial dan segera ditanggapi jika ada informasi yang tidak sesuai.

Baca juga: 3 Peran Media Sosial untuk Public Relations

cancel culture
Sebagai praktisi PR, Anda perlu memahami langkah apa saja untuk menghadapi cancel culture. (Foto oleh Freepik)

Anda juga harus menghindari sejumlah sikap berikut jika tak ingin situasi bertambah buruk.

Tak Segera Merespons 

Berharap masalah akan berlalu tanpa meresponsnya dapat memperburuk situasi dan membuat perusahaan tampak tak peduli. 

Merespons dengan Defensif 

Berdebat atau mengalihkan kesalahan ke pihak lain juga akan memperburuk persepsi publik.

Menghapus Komentar di Media Sosial 

Tindakan ini membuat Anda seolah tak bertanggung jawab dan ingin menutupi persoalan yang ada.

Pesan yang Tidak Konsisten 

Pesan yang berubah-ubah dapat membingungkan para pemangku kepentingan dan menurunkan kepercayaan.

Kesimpulan

Cancel culture  menjadi fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari media sosial karena prosesnya yang cepat.

Fenomena ini dapat berdampak signifikan terhadap reputasi individu, brand, maupun perusahaan. 

Meskipun di Indonesia dampaknya belum sebesar di negara lain, para praktisi PR tetap harus memahami cara menghadapinya.

Langkah-langkah seperti meminta maaf dengan tulus, menjaga komunikasi yang transparan, memperbaiki tindakan, serta berinteraksi dengan pihak terdampak dapat membantu meredam situasi. 

Sebaliknya menghindari respons, bersikap defensif, menghapus komentar, atau memberikan pesan yang tidak konsisten justru dapat memperburuk keadaan.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?