Yenni Kwok telah menjadi wartawan media internasional selama hampir tiga dekade. Ia memulai kariernya di Jakarta sebelum pindah ke Hong Kong di tahun 1997.
Yenni telah bekerja sebagai reporter dan editor untuk Asiaweek, CNN, New York Times, TIME, Agence France-Presse, South China Morning Post, serta Storyful. Ia pernah menulis di antaranya untuk The Guardian dan The Jakarta Post, serta menjadi peneliti lepas untuk berbagai proyek.
Sejak Juni 2024, Yenni menjadi dosen Journalism and Media Studies Centre, University of Hong Kong (HKU). Ia mengusung misi baru dalam hidupnya: berperan sebagai mentor bagi para jurnalis muda.
Selain itu, bagi Yenni, tidak kalah penting menjadi wartawan yang memudahkan audiens dalam memahami konteks di balik isu-isu krusial.
“Cobalah menulis dengan perspektif pembaca biasa. Salah satu tugas paling sulit jurnalis adalah menjelaskan sesuatu hal dengan sesederhana mungkin, termasuk topik yang rumit,” ujar Yenni kepada RadVoice Indonesia.
Lalu, bagaimana Yenni melakukannya? “Saran saya: banyak menulis dan membaca, terutama surat kabar dan majalah bermutu. Saya juga belajar dari hasil editan dan feedback editor,” katanya.
Kesulitan memikirkan ide tulisan untuk konten perusahaan Anda? Hubungi RadVoice sekarang!
Bagaimana Yenni Kwok Menjadi Wartawan Media Internasional
Yenni membagikan tentang prinsipnya menjadi wartawan, operasional media asing, serta liputan yang ia banggakan kepada RadVoice. Berikut selengkapnya.
Prinsip jurnalistik apakah yang selalu Anda pegang selama menjadi wartawan? Mengapa itu sepatutnya tidak dilanggar?
“Banyak sekali. Salah satunya: pastikan fakta yang ditulis atau diberitakan itu akurat. Dan bila salah, harus cepat-cepat dikoreksi.
“Di lain pihak, jangan mengubah berita tanpa persetujuan penulis dan editor yang terlibat. Saya memiliki pengalaman di mana editor kepala dan wakilnya mengubah sebuah laporan tanpa sepengetahuan dan persetujuan penulis dan editor yang menyunting laporan, yang salah satunya adalah saya.
“Ini terjadi setelah mereka menerima email dari seseorang yang protes atas tulisan tersebut. Walau laporan itu akurat, mereka ‘mengoreksinya’ karena kemungkinan ketakutan digugat. Padahal tak ada ancaman seperti itu. Mereka cari amannya saja.
“Menurut saya, tindakan ini tak hanya pengecut tapi juga tak menghormati karya seseorang, terutama reporter yang namanya dicantumkan di byline (nama penulis).
“Prinsip lainnya: walk the talk. Jurnalisme membutuhkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Kebebasan ini adalah permintaan fundamental untuk wartawan.
“Saya bekerja di beberapa organisasi media di mana kami bebas memberikan pendapat dan masukan. Namun sayangnya, di beberapa media, para atasan tidak memperbolehkan kritik dan masukan dari bawahan. Malah wartawan jadi bulan-bulanan manajemen jika memberikan masukan atau mempertanyakan kebijakan tertentu.”
Baca juga: 3+ Prinsip Jurnalistik yang Wartawan Kompas Frenky Wijaya Pegang Teguh
Sebagai wartawan Indonesia, apakah yang membedakan operasional media nasional dengan media asing?
“Media asing dan media nasional itu bermacam-macam, jadi agak sulit untuk menggeneralisir antara keduanya.
“Namun menurut saya, baik media Indonesia maupun asing mengalami tantangan sama: menerbitkan laporan yang bagus dan akurat, tetap bertahan di era digital, dan sebagainya.
“Namun yang sering saya perhatikan di media bahasa Indonesia adalah kecenderungan mengobjektifikasi perempuan dengan kata-kata seperti: ‘dokter cantik’, ‘dosen cantik’, padahal tak ada sangkut-pautnya dengan profesi maupun berita.
Baca juga: 3 Tips Menulis Konten Sensitif Gender, Hindari Kalimat Seksis!
“Di sisi lain, bukan berarti media asing atau media Barat itu sempurna. Mereka sering dipandang ‘lebih berani’ dan ‘lantang’ memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers. Namun, bukan berarti mereka akan konsisten.
“Misalnya, kasus pemecatan Selina Cheng oleh Wall Street Journal setelah dia menjadi ketua Hong Kong Journalist Association (HKJA), serikat wartawan yang diserang dan ditekan pemerintah Hong Kong.
“Selina sempat dilarang bosnya untuk maju sebagai calon ketua HKJA. Dan ternyata WSJ tak sendirian. Organisasi media internasional lain di Hong Kong juga melarang wartawan mereka terlibat dengan organisasi seperti HKJA, yang notabene adalah organisasi legal.
“Ini mengingatkan saya waktu zaman Orde Baru, di mana para wartawan yang menjadi anggota dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen diberhentikan atau sulit mendapatkan pekerjaan.
“Kontroversi lain adalah reaksi media Barat terhadap perang Israel di Gaza. Walau media Barat menyatakan mereka mengambil sikap ‘netral’ dalam perang, namun liputan mereka justru sering dikritik berat sebelah.
“Misalnya, saat menyebut jumlah korban warga Palestina di Gaza, mereka mengutip angka dari kementerian kesehatan di wilayah Palestina tersebut. Tapi mereka menyebut ‘Kementerian Kesehatan yang dikontrol Hamas’, bukannya ‘Kementerian Kesehatan Gaza’ atau ‘Kementerian Kesehatan di Gaza’.
“Jadi, mereka seakan meragukan angka yang diberikan instansi pemerintah, walau PBB mengatakan angka yang diberikan Kementerian Kesehatan Gaza itu cukup akurat.
“Di sisi lain, perusahaan media mana pun harus memberikan ruang kerja yang aman dan demokratis. Saya beruntung sempat bekerja di tempat seperti itu. Tapi sayangnya juga mengalami hal yang tak menyenangkan di perusahaan media internasional, di mana diskriminasi dan bullying di tempat kerja juga kerap terjadi, terutama terhadap wartawan Asia, khususnya yang perempuan.”
Reportase apa yang paling Anda banggakan selama menjadi wartawan?
“Menjadi wartawan selama bertahun-tahun seperti menjadi saksi dekat sejarah. Dari meliput acara budaya di Jakarta pada masa Orde Baru, kerusuhan di beberapa kota kecil sebelum Soeharto jatuh sampai ia lengser keprabon, serta Pemilu 1999 yang merupakan pemilu demokratis pertama di Indonesia.
“Wawancara saya yang berkesan adalah dengan novelis Alm. Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, sewaktu dia masih menjadi tahanan rumah Orde Baru.
“Saya juga menikmati mengerjakan laporan untuk Time, karena topiknya bermacam-macam dan editor saya sangat antusias menerima ide saya: Pilpres 2014, Pilgub Jakarta 2017, Tragedi 1965-66, dan persekusi kelompok LGBTQ di Indonesia.
“Saya juga menulis profil aktivis wanita antikorupsi dan pro-demokrasi Malaysia, Maria Chin Abdullah, yang saat itu ditahan pemerintah Malaysia.
“Sulit, ya, mengatakan mana yang paling saya banggakan, soalnya masing-masing laporan ada kebanggan tersendiri.
Baca juga: Liputan Media Asing Leo Galuh Memenuhi Kriteria ‘Menarik dan Relevan’
“Tapi favorit saya adalah laporan yang berhubungan dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan karena topik ini jarang disentuh media arus utama.
“Misalnya, tulisan saya tentang femisida di Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan. Walau ketiga wilayah dan negara Asia Timur itu dianggap paling aman, rasio korban pembunuhan wanita justru yang tertinggi di dunia. Tidak lupa juga laporan tentang rasio napi wanita di Hong Kong yang tertinggi di dunia.
“Tulisan saya tentang pembunuhan dua pekerja migran Indonesia yang dilakukan bankir Inggris di Hong Kong satu dekade lalu mencoba memberikan sisi yang humanis kepada para korban. Beda dengan laporan media lain yang cenderung mengandalkan sensasi.
“Selain itu, tak jarang media justru membuat laporan dengan stereotip yang menyalahkan korban. Saya dan beberapa teman pegiat hak perempuan di Hong Kong pernah membuat surat terbuka untuk media soal hal ini di tahun 2017.”
Wawancara dengan Yenni Kwok dilakukan pada Sabtu, 27 Juli 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.