“Dari media mana, Kak?”
Pertanyaan itu membuyarkan perhatian saya yang tengah sibuk melihat hasil jepretan di kamera.
Kalimat itu dulu kerap saya dengar saat masih meniti karier sebagai jurnalis. Pertanyaan yang kerap dilontarkan rekan sesama jurnalis atau dari narasumber. Entah ketika di lapangan, di konferensi pers, atau sekadar duduk menunggu acara.
Waktu itu pun, saya selalu dengan bangga menjawab, “Dari CNN Indonesia, Kak.”
Tapi ketika tugas untuk meliput lagi itu datang bertahun-tahun kemudian, saya tak lagi membawa identitas media.

Saya sempat melirik sebentar ke lanyard yang bergantung di lehernya sebelum menjawab. Pria yang membawa kamera besar itu rupanya berasal dari salah satu televisi swasta nasional.
“Oh, saya bukan dari media,” jawab saya sambil tersenyum. “Saya dari RadVoice, agensi PR dan penulisan konten berbasis di Jakarta,” lanjut saya menjawab.
Dia mengangguk-angguk paham.
Obrolan kami kemudian berlanjut tentang hal lain seputar acara, orang-orang yang kami kenal, hingga pengalaman meliput sebagai jurnalis beberapa tahun silam.
Meliput Lagi Setelah 5 Tahun, Ada Perspektif yang Berubah
Terakhir kali saya meliput langsung di lapangan, rasanya sebelum pandemi melanda pada 2020. Ya, sudah cukup lama.
Saat itu, saya masih menjadi jurnalis yang meliput di Istana Kepresidenan di Jakarta. Seperti rutinitas biasanya, saya pergi meliput agenda Joko Widodo alias Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai presiden.
Siapa sangka, agenda liputan saat itu menjadi hari-hari terakhir saya meliput langsung di lapangan.
Jokowi dan Terawan Agus Putranto, menteri kesehatan saat itu, mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia yang berasal dari dua pasien di wilayah Depok.

Setelah itu, pembatasan dimulai. Agenda peliputan pun diperketat dengan membuat jadwal bergilir bagi tiap media.
Saya hanya sesekali datang untuk mengikuti konferensi pers tentang update kasus Covid-19.
Materi untuk pemberitaan pada akhirnya hanya diperoleh dari hasil telepon dengan narasumber, chat WhatsApp, siaran langsung YouTube, hingga press release.
Ketika pandemi akhirnya mereda, pengalaman ‘turun’ ke lapangan tak lagi saya rasakan karena bertugas di kantor.
Hingga dua tahun kemudian, saya memutuskan untuk berhenti dari profesi jurnalis.
Perjalanan pun membawa saya ke tempat kerja yang lebih stabil dan tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia liputan yang dulu begitu akrab.

Undangan dari jaringan Hotel Tugu pada pertengahan Juni lalu menjadi pengalaman pertama saya meliput lagi setelah lima tahun.
Rasanya? Excited sekaligus deg-degan.
Apa saya masih cukup sigap? Apa saya masih bisa menulis artikel dengan baik?
Baca juga: Strategi Branding Hotel Tugu Malang: Dari Warisan Budaya hingga Pengalaman Penuh Cerita
Begitu sampai di lokasi, ada rasa nostalgia yang aneh.
Seperti melihat dunia yang dulu begitu akrab, tapi kini terasa agak asing. Saya otomatis menyesuaikan diri.
Tangan refleks membuka alat perekam, menyimak tiap perkataan narasumber untuk dijadikan kutipan menarik, dan jari siap mengetik di atas keyboard ponsel.
Di lapangan pun, ternyata tak banyak yang berubah.
Teman-teman jurnalis masih dengan gaya khas mereka, berpakaian santai, sibuk mengatur kamera, mencari posisi yang strategis untuk mewawancarai narasumber.
Saya yang sepertinya justru berubah. Jarak lima tahun ini memberi perspektif baru dalam meliput.
Dulu, saya ingin menjadi yang tercepat. Kini tepat lebih penting.
Dulu, saya selalu terburu-buru dikejar deadline. Kini saya lebih santai dan menikmati prosesnya.
Menulis Artikel yang Berbeda
Artikel yang ditulis dari hasil liputan itu tayang sepekan kemudian.
Saya baca ulang tulisannya berkali-kali, meyakinkan diri. Ternyata, saya masih bisa merangkai suasana dalam kalimat hingga menyusun kutipan jadi cerita.
Meski gaya menulis saya mungkin sudah agak berubah karena tak lagi bekerja di media.
Tulisan saya kini terasa lebih pelan dan mengalir. Fokus menyampaikan suasana, mendeskripsikan rasa, bukan hanya menyampaikan kutipan narasumber.

Saat bekerja di media, saya terbiasa menulis cepat dan to the point. Apalagi jika meliput isu yang penting.
Namun kini setelah meliput lagi di RadVoice, pendekatannya berbeda.
Menulis bukan lagi soal kecepatan, tapi soal strategi. Memilih kata dengan cermat, menjaga narasi tetap positif, dan memastikan pesan tersampaikan kepada audiens yang tepat.
Dua Dunia yang Saling Melengkapi
Jurnalis dan karyawan di PR agency.
Meski berbeda, dua profesi ini nyatanya membuat karier saya semakin lengkap.
Pengalaman sebagai jurnalis membuat saya cepat mengikuti dinamika, memilah mana informasi yang penting, dan melihat cerita di balik peristiwa.
Sementara di PR melatih saya untuk berpikir lebih strategis. Saya belajar bahwa menyampaikan pesan saja tidak cukup, tapi juga bagaimana pesan itu dipahami audiens.
Pada akhirnya, meliput lagi setelah lima tahun menyadarkan bahwa kegiatan ini tak lagi menjadi rutinitas. Tapi karena itu, pengalaman ini justru terasa lebih spesial.
Meliput kali ini seperti bukan tugas semata, tapi perjalanan pulang ke bagian diri saya yang sudah lama tertinggal.