Jurnalisme sastrawi atau literary journalism menjadi salah satu jenis tulisan jurnalistik yang menggabungkan gaya penulisan sastra dengan pelaporan jurnalistik yang sesuai fakta.
Gaya jurnalisme ini biasanya dikemas dalam bentuk tulisan panjang atau in-depth reporting. Namun tak semua laporan mendalam bisa disebut sebagai jurnalisme sastrawi.
Lalu seperti apa sebenarnya jurnalisme sastrawi? RadVoice Indonesia telah merangkum penjelasannya sebagai berikut.
Memahami Jurnalisme Sastrawi
Istilah jurnalisme sastrawi bermula dari penolakan jurnalis Amerika Serikat terhadap cara kerja jurnalisme yang saat itu dianggap tradisional.
Dalam e-journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta tentang Jurnalisme Sastra di Buku Bre-X, menyebutkan bahwa penulisan jurnalisme saat itu mulai tergeser dengan bentuk dan gaya penulisan novel serta keinginan untuk mengalahkan siaran TV yang lebih menarik karena menampilkan audio visual.

Riset mendalam dan gaya penulisan sederhana tapi tetap memikat menjadi ciri khas dalam penulisan jurnalisme ini. Apa perbedaannya dengan jurnalisme konvensional?
Dari gaya penulisan, jurnalisme sastrawi cenderung bersifat naratif atau mengedepankan teknik storytelling. Sementara penulisan jurnalisme konvensional bersifat langsung atau straight to the point.
Baca juga: 5+ Tips Menulis Feature yang Menyentuh Hati Pembaca
Kemudian untuk struktur tulisan, jurnalisme sastrawi biasanya menggunakan alur yang runut seperti pembukaan, konflik, klimaks, hingga penutup. Sedangkan jurnalisme konvensional menerapkan piramida terbalik dengan meletakkan fakta penting di bagian awal berita.
Untuk sumber informasi, jurnalisme sastrawi mengandalkan riset mendalam dengan wawancara, observasi, hingga rekonstruksi adegan. Sementara pada jurnalisme konvensional dapat menggunakan kutipan langsung atau rilis resmi.
Empat Poin Penting Jurnalisme Sastrawi
Wartawan AS Tom Wolfe menjelaskan empat poin penting dalam jurnalisme sastrawi sebagai berikut.
Konstruksi Adegan
Bagian ini digambarkan sebagai konstruksi adegan per adegan atau gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film. Seluruh contoh diambil dari kumpulan laporan pada buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Salah satunya mendeskripsikan konstruksi adegan dari laporan tentang kasus pembunuhan di Aceh.
Sebuah bus memasuki Terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih parkir di depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang.
Dialog
Jurnalis tak sekadar menuliskan kutipan dari narasumber, namun juga membangun dialog atau percakapan.
Peristiwa juga dapat digambarkan melalui dialog oleh karakter dari para pelaku yang terlibat.

Berikut salah satu contoh penulisan yang menggambarkan dialog dari laporan terpidana kasus teror bom di Jakarta.
Dany membantah soal itu. “Taklah, saya tak melarikan diri.”
Sampai kini dia tak tahu apa sebenarnya tuduhan polisi di sana berkenaan dengan penahannya. Dany pun enggan mengatakan di mana dirinya ditahan.
“Itu penjara rahasia,” kata Dany, seraya memberi petunjuk bahwa tempat tersebut pernah digunakan menahan orang-orang partai komunis ketika pemerintah Malaysia melakukan gerakan pembersihan politik pada 1960-an.
Sudut Pandang Orang Ketiga
Dalam penulisan jurnalisme sastrawi, jurnalis tak hanya melaporkan kejadian tapi juga menciptakan suasana dan emosi bagi pembaca. Salah satunya dilakukan dengan membangun karakter tokoh yang terlibat. Contoh diambil dari laporan tentang kekerasan yang meningkat pasca-Soeharto.
Faried tinggal di tepi jalan itu. Ia mahasiswa sebuah sekolah tinggi publisistik di Jakarta. Ia baru saja pulang ketika keponakannya memberitahu ada keramaian dekat pemukiman para pemulung. Faried bergegas ke sana.
Detail Status
Segala gerak perilaku, kebiasaan, gaya hidup, gaya berpakaian, hingga hubungan dengan orang sekitarnya harus dicatat rinci dalam laporan. Salah satu contohnya sebagai berikut.
Karimun Usman baru saja selesai sholat subuh. Rambut mulai memutih di usianya yang menjelang enam puluh. Sang istri, Siti Romayah, tengah sibuk di dapur. Karimun biasa sarapan dengan beberapa iris roti tawar dan secangkir kopi, sebelum berangkat ke gedung parlemen di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Barat, tempat ia melaksanakan tugas sehari-hari.
Tujuh Pertimbangan Jurnalisme Sastrawi
Andreas Harsono dalam tulisannya menyebut, bahasa yang digunakan gaya jurnalisme sastrawi tak harus mendayu-dayu. Bahasa bisa lugas namun tetap cantik dan memikat hingga rasanya pembaca tak bisa melepaskan tulisan tersebut sebelum tuntas membaca.
Setelah memahami empat poin penting dalam gaya jurnalisme ini, menurut Andreas, terdapat tujuh pertimbangan yang juga harus diperhatikan saat menulis. Berikut selengkapnya.
Fakta
Meski bergaya sastra, jurnalisme gaya ini tetap mengedepankan fakta. Nama orang, tempat, hingga kejadian harus berdasarkan peristiwa yang terjadi sebenarnya.
Jurnalis dapat mengumpulkan keterangan dari beberapa narasumber untuk memverifikasi pernyataan yang disampaikan. Dalam jurnalisme gaya ini, jurnalis juga dapat mengunjungi langsung ke lokasi yang menjadi tempat peristiwa terjadi untuk mencatat detail di lapangan.
Baca juga: Storytelling dalam Jurnalisme: Menceritakan Fakta dengan Cara yang Berbeda
Konflik
Keberadaan konflik diyakini akan membuat sebuah tulisan panjang menjadi lebih menarik. Jurnalis dapat menimbang seberapa besar konflik yang terjadi. Tak selalu harus antarorang dengan orang lainnya, tapi bisa juga antarkelompok hingga konflik dengan hati nuraninya sendiri.
Karakter
Jurnalis dapat menggambarkan karakter utama maupun karakter pembantu dalam tulisannya. Karakter utama ini semestinya memiliki kepribadian yang menarik sehingga dapat membuat tulisan lebih atraktif.
Akses
Dalam membuat laporan ini, jurnalis seharusnya memiliki akses langsung ke karakter utama atau orang-orang yang mengenalnya. Akses ini bisa berupa dokumen, korespondensi, album foto, wawancara, dan lainnya.
Ibarat menulis biografi seseorang, jurnalis dapat mengulas masalah pribadi karakter utama seperti percintaan, skandal, kejahatan, maupun berbagai dokumen lainnya.

Emosi
Butuh sentuhan emosi dalam penulisan jurnalisme sastrawi. Emosi ini bisa berupa kebencian, kekaguman, maupun perasaan lainnya yang membuat cerita menjadi lebih hidup.
Emosi ini berasal dari karakter dalam tulisan yang bisa berubah-ubah. Bagaimana emosi si karakter ketika menang pertarungan? Atau bagaimana perasaan si karakter ketika dikhianati?
Perjalanan Waktu
Jurnalis dapat menentukan timeline penulisannya apakah bersifat kronologis dari awal sampai akhir, flashback atau mundur ke belakang, hingga bolak-balik. Panjangnya waktu ini tergantung pada kebutuhan.
Kebaruan
Tulisan harus tetap mempertimbangkan unsur kebaruan. Artinya tak hanya menulis ulang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dan ditulis dalam gaya serupa. Jurnalis dapat menggali ide atau sudut pandang dari isu-isu lama yang belum pernah diangkat untuk membuatnya semakin menarik.
Kesimpulan
Jurnalisme sastrawi merupakan bentuk penulisan jurnalistik yang menggabungkan teknik pelaporan berbasis fakta dengan gaya penceritaan sastra.
Jenis jurnalisme ini biasanya dikemas dalam laporan panjang dan mendalam dengan gaya naratif, struktur tulisan seperti alur cerita fiksi namun tetap dengan riset yang mendalam.
Empat poin penting yang harus ada dalam gaya jurnalisme ini adalah konstruksi adegan, penggunaan dialog, sudut pandang orang ketiga, dan detail status yang mendalam.
Selain itu, terdapat tujuh pertimbangan penting: fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu, dan kebaruan.