Kasus tambang di Raja Ampat sempat menjadi sorotan publik setelah viral di media sosial akibat adanya aktivitas tambang di wilayah tersebut.
Dari lima perusahaan tambang yang beroperasi, operasional tambang di PT GAG Nikel dihentikan sementara.
PT GAG Nikel merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk di Pulau Gag, Papua Barat.
Jurnalis TrenAsia, Debrinata Rizky, berkesempatan meliput langsung aktivitas tambang tersebut yang sempat diberhentikan.
Menurutnya, penghentian tambang mendadak tidak hanya menghentikan pergerakan alat berat, tetapi melumpuhkan seluruh kegiatan produksi nikel.
Kepada RadVoice Indonesia, Debri bercerita suasana di lokasi tambang PT GAG Nikel dan bagaimana aktivitas di sana benar-benar terhenti. Berikut kisah selengkapnya.
Suasana Meliput PT GAG Nikel
Perjalanan Menuju PT GAG Nikel

Awalnya, Debri tidak berniat meliput PT GAG Nikel. Ia mengikuti rombongan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengunjungi Petrogas.
“Akhirnya kita dikasih kesempatan oleh Plt Direktur Utama PT GAG Nikel untuk sekalian mengunjungi lokasi tambang,” ujar Debri.
Dari dermaga di Sorong, perjalanan membutuhkan waktu 3-4 jam sampai ke PT GAG Nikel menggunakan speedboat.
“Setelah sampai gapura, memang kelihatan kalau ada kapal tongkang untuk mengangkut nikel, jadi baru kelihatan lokasi itu tempat penambangan,” katanya.
Setelah memakai alat keselamatan, Debri berkeliling meninjau aktivitas perusahaan, termasuk program CSR seperti penangkaran penyu dan area reklamasi bekas tambang.
Persiapan Riset
Riset yang pertama dilakukan Debri yaitu bagaimana perusahaan tambang ini bisa mengantongi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Pengennya mencari tahu gitu, atau mencari narasumber yang memang bisa cerita penambangan di pulau GAG,” jelas Debri.
Debri juga penasaran apakah benar PT GAG Nikel merusak alam.
Kendala Liputan: Mencari Narasumber yang Kontra hingga Susah Sinyal

Kendala yang ditemui Debri adalah menemukan narasumber yang kontra dengan aktivitas penambangan PT GAG Nikel.
“Kita sebenarnya pengen cari narasumber yang kontra, tapi karena kita ke sananya sama beberapa petinggi-petinggi PT GAG, jadi kita kesulitan,” ungkap Debri.
Dari temuannya, masyarakat di sana sangat bergantung dari perputaran ekonomi PT GAG Nikel, mulai dari program beasiswa hingga kebutuhan makan sehari-hari.
Selain itu, Debri juga sulit mencari sinyal karena liputan di pulau terpencil.
“Karena itu antar pulau ya, jadi kita harus mengandalkan Wi-Fi, tapi tetap susah banget,” katanya.
Faktor lingkungan seperti banyak nyamuk dan cuaca yang panas menghambat Debri untuk meliput. Bahkan, banyak pamflet peringatan untuk mewaspadai malaria di sekitar lokasi.
“Jadi memang harus pakai baju panjang, biar seenggaknya nyamuk nggak menggigit kita,” terang Debri.
Lesson Learned Meliput PT GAG Nikel

Debri belajar pentingnya melihat langsung apa yang terjadi sebenarnya di lapangan, di luar narasi yang terbangun dari kasus Raja Ampat yang sempat viral.
“Di sosial media yang digaung-gaungkan adalah AI kan, padahal itu tuh sangat berbeda. Beda konteks gitu,” kata Debri.
Debri melihat aktivitas pertambangan dilakukan sesuai dengan rencana kerja karena perusahaan telah mengantongi izin resmi.
“Menurutku terlalu berbahaya AI di zaman sekarang, karena bikin miskomunikasi antara netizen dan keadaan yang asli gitu,” jelasnya.
“Bahkan, kita pun ke sana itu dibilang buzzer padahal kita liputan,” lanjut Debri.
Dari peliputan ini, Debri juga belajar membuat feature dari sisi aktivitas penambangan yang sempat terhenti.
Kegiatan seperti penggalian, pemuatan bijih (ore) nikel, dan pengangkutan ke stockyard berhenti total. Termasuk dumping area tempat pembuangan sisa tambang, serta proses reklamasi yang terhambat.
Kesimpulan
Cerita Debri liputan ke PT GAG Nikel menunjukkan pentingnya verifikasi informasi langsung di lapangan dan kemampuan beradaptasi.
Liputan yang Debri lakukan menunjukkan narasi di media sosial seringkali tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.
Selain itu, Debri belajar untuk tetap independen agar publik mendapat informasi yang utuh dan berimbang.
Wawancara dengan Debrinata Rizky dilakukan pada Sabtu, 28 Juni 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.