Australia telah memberlakukan kebijakan News Media Bargaining Code yang mewajibkan platform digital seperti Google dan Meta membayar konten berita yang mereka tampilkan sejak 2021.
Kebijakan ini muncul untuk menanggapi kekhawatiran media konvensional yang mulai kehilangan pendapatan, sementara platform digital meraup keuntungan besar sebagai news aggregator yang banyak dikonsumsi pembaca.
Meski masih terdapat sejumlah risiko, kebijakan ini bisa dibilang efektif untuk memastikan media tetap mendapat dukungan finansial dari platform digital.
Apakah pemerintah Indonesia bisa menerapkan aturan serupa demi mendukung kelangsungan media?
RadVoice Indonesia telah berbincang dengan Andreas Ryan Sanjaya, kandidat PhD di School of Communication, Queensland University of Technology (QUT), Australia untuk membahas kebijakan tersebut.
Ryan sebelumnya adalah dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang, Jawa Tengah sejak 2017. Di sela aktivitasnya sebagai mahasiswa, Ryan juga rajin membaca, menulis, dan menjalani rutinitas bersama istri dan kedua anaknya di Negeri Kanguru.

Regulasi Pembayaran Konten Berita
Ketika Australia mewajibkan perusahaan teknologi seperti Google dan Meta membayar konten berita yang muncul di platform mereka melalui News Media Bargaining Code, regulasi ini dianggap cukup berhasil.
Walaupun sempat mendapat penolakan dari pihak platform, kebijakan tersebut nyatanya cukup memberikan pendanaan tambahan bagi banyak media di Australia.
“Menurut saya kebijakan ini efektif untuk menjaga keberlanjutan aliran dana ke media, yang berarti juga menjaga ekosistem jurnalisme tetap sehat,” tuturnya.
Meski demikian, seiring waktu, muncul celah dalam penerapannya.
“Misal ketika Meta menghentikan kesepakatan dengan sejumlah media karena alasan tertentu. Artinya pemasukan beberapa media itu berkurang,” kata Ryan.
Hal ini yang kemudian mendorong pemerintah Australia merancang News Bargaining Incentive pada awal 2025.
Aturan ini merupakan upaya pemerintah setempat mencari cara agar platform tetap mau membayar atas konten berita yang muncul, entah dengan negosiasi langsung ke media atau melalui pungutan ke pemerintah.
Risiko di Balik Pendanaan Platform Digital
Ryan mengakui bahwa platform digital yang menerbitkan konten berita mungkin tak mendapat keuntungan finansial secara langsung atas kebijakan tersebut.
Menurutnya, kebijakan itu justru banyak menguntungkan perusahaan media karena memiliki alternatif pendanaan tambahan di samping upaya lain yang saat ini sudah ada.
“Tapi konteks dari kebijakan ini kan memang untuk membuat regulasi yang jelas, yaitu membatasi kekuasaan platform. Jadi keuntungan yang diperoleh perusahaan platform adalah kepastian hukum,” jelasnya.
Kendati demikian, ada pula risiko yang perlu diwaspadai atas kebijakan tersebut.

Pertama, ketergantungan media terhadap pendanaan dari platform digital. Jika terlalu bergantung, media bisa jadi mengabaikan model bisnis lain dalam pendanaan yang lebih mandiri.
“Kondisi ini dapat memengaruhi independensi media, terutama ketika kekuasaan ekonomi-politik menjadi terlalu dominan dalam ekosistem media,” ucap Ryan.
Kedua, perusahaan platform digital yang tak setuju dengan kebijakan tersebut berpotensi memblokir konten berita dari Australia. Meta diketahui sempat memblokir konten berita dari Australia di platform mereka sebagai bentuk protes pada 2021.
Tindakan serupa juga terjadi di Kanada pada 2023, buntut peraturan sejenis yang diterapkan di negara tersebut. Konten berita dari Kanada yang termuat di Facebook dan Instagram dihapus oleh Meta.
“Bukan tidak mungkin ini terjadi lagi,” katanya.
Ketiga, terdapat risiko ketimpangan distribusi pendapatan antarmedia. Ryan menjelaskan, konsentrasi kepemilikan media masih sangat kuat di Australia dengan dominasi beberapa grup besar seperti News Corp., Nine Entertainment, dan Seven West Media.
Dalam kondisi tersebut, pendanaan dari platform digital atas konten berita yang muncul cenderung mengalir ke media besar semacam itu. Sementara media-media kecil dan regional berisiko tertinggal dan tetap mengalami kesulitan finansial.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada 2024, Indonesia merilis Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights yang juga mengatur hubungan bisnis antara platform digital dan media.
Tujuannya tak jauh beda dengan News Media Bargaining Code di Australia, yakni memastikan perusahaan platform digital berkontribusi meningkatkan kualitas jurnalisme di Indonesia.
Kendati demikian, pendekatan di Indonesia berbeda.
Ryan mengatakan, bentuk kontribusi dari platform digital tak selalu dalam bentuk pembayaran atas konten berita, tetapi juga kerja sama pelatihan dan program-program lain yang bertujuan meningkatkan kesehatan ekosistem jurnalisme di Indonesia.

Sesuai amanat Perpres, saat ini terdapat Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas (KTP2JB) yang mulai menerima audiensi dengan perusahaan platform digital seperti TikTok dan Meta.
“Artinya sudah ada komunikasi dengan perusahaan platform digital untuk membicarakan peluang kontribusi mereka dalam meningkatkan kualitas jurnalisme,” terang Ryan.
Apa yang Harus Dicontoh?
Ryan menuturkan bahwa Indonesia tak perlu meniru Australia sepenuhnya yang mewajibkan platform digital seperti Google dan Meta membayar konten berita.
Terlebih ekosistem media, struktur kepemilikan media, dan daya tawar medianya berbeda dengan negara yang berada di belahan bumi selatan itu.
Kepemilikan media di Indonesia cenderung terkonsentrasi pada sejumlah kelompok besar, meski tak sekuat di Australia. Beberapa grup media di Indonesia juga menguasai beberapa platform sekaligus mulai dari TV, radio, media cetak, hingga media online.

“Jadi memang Indonesia tidak perlu meniru secara persis, misalnya dengan mengatur perusahaan platform digital untuk memberikan dana tunai,” katanya.
Ryan menekankan bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah mendorong kebijakan supaya dapat menjawab tantangan lain dalam ekosistem jurnalisme di Indonesia.
“Misalnya soal independensi jurnalis, keamanan jurnalis, hingga peningkatan kualitas pemberitaan,” ucapnya.
Kesimpulan
Kebijakan Australia yang mewajibkan platform digital seperti Google dan Meta membayar konten berita memberi peluang bagi industri media untuk membangun ekosistem jurnalisme yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Meski begitu, Andreas Ryan Sanjaya menilai, kebijakan ini tetap memiliki risiko mulai dari ketergantungan terhadap platform digital, potensi pemblokiran konten berita, hingga ketimpangan distribusi dana antarmedia.
Indonesia pun telah mengambil langkah serupa lewat terbitnya Perpres Publisher Rights pada 2024. Namun, pendekatan yang diambil tak dibatasi pada aspek finansial, tetapi juga bisa berupa pelatihan dan kerja sama.
Pendekatan ini dinilai tepat, mengingat struktur ekosistem media Indonesia berbeda dengan Australia.