Kecelakaan tragis yang menimpa Air India Flight AI171 pada Juni 2025 menjadi sorotan global, sekaligus membuka diskusi tentang etika jurnalis meliput di tengah tragedi.
Seperti dikutip dari Al Jazeera, pesawat Boeing 787 itu jatuh sesaat setelah lepas landas dari Ahmedabad menuju London.
241 orang tewas dan puluhan lainnya di darat, menyisakan hanya satu penumpang yang selamat.
Media nasional dan internasional bergerak cepat menyampaikan perkembangan kasus ini dari berbagai sudut.
Di balik berita-berita utama, para jurnalis di lapangan menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap menjaga empati saat mencari fakta di tengah suasana duka?

RadVoice Indonesia akan mengulas bagaimana jurnalis dapat menjaga empati sekaligus menjalankan tugasnya secara profesional saat meliput tragedi berskala besar seperti kecelakaan Air India.
Praktik Etika Jurnalis Meliput di Tengah Tragedi
Kecelakaan Air India bukan hanya mengingatkan kita akan risiko dalam dunia penerbangan, tapi juga menekankan pentingnya peran media dalam menyampaikan kabar duka secara bijak.
Dari kejadian ini, kita bisa belajar bagaimana etika jurnalis meliput di tengah tragedi menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik sekaligus menghormati mereka yang terdampak.
Baca juga: Jurnalis Independen Ushar Daniele Meliput dengan Empati dan Hati
Mengedepankan Empati dalam Peliputan
Saat jurnalis berada di lokasi kejadian, pendekatan terhadap korban atau saksi mata harus dilakukan dengan penuh hormat.
Jangan langsung menodongkan mikrofon atau kamera. Mulailah dengan sapaan yang tenang, kenalkan diri, dan beri ruang bagi mereka untuk menolak jika belum siap.
Empati menjadi kunci dari etika jurnalis meliput di tengah tragedi.
Bahasa yang digunakan dalam tulisan maupun peliputan harus sensitif. Hindari frasa yang menyudutkan atau menyalahkan pihak tertentu tanpa bukti.

Misalnya, alih-alih menulis “kesalahan pilot”, lebih baik menggunakan kalimat seperti “penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan”.
Yang tidak kalah penting: jangan semata mengejar angka korban atau gambar dramatis.
Ceritakan sisi kemanusiaan: bagaimana para korban adalah ayah, ibu, anak, atau pekerja biasa yang punya mimpi dan kehidupan.
Itu yang akan membuat berita terasa lebih bermakna, bukan sekadar data.
Baca juga: Ketika Krisis Terjadi: Belajar dari Strategi Komunikasi Air India Pasca-Kecelakaan
Verifikasi Lebih Penting dari Viralnya Berita
Godaan untuk jadi yang tercepat bisa mengarah pada penyebaran informasi yang belum tentu benar.
Dalam konteks etika jurnalis meliput di tengah tragedi, kecepatan tetap harus dibarengi ketelitian.
Jangan tergoda menyebarkan rumor, apalagi jika sumbernya tidak jelas atau hanya berdasarkan media sosial.

Bekerja sama dengan pihak-pihak resmi seperti tim SAR, kepolisian, dan otoritas penerbangan sangat penting. Pastikan informasi yang diterbitkan benar-benar terverifikasi.
Idealnya, lakukan cek dan ricek dua kali sebelum berita tayang. Lebih baik sedikit terlambat daripada menyebar kabar yang keliru.
Menyampaikan Fakta Tanpa Melukai
Cerita tentang satu-satunya penyintas dalam tragedi Air India, Vishwash Kumar Ramesh, bisa saja dikemas penuh sensasi.
Tapi jurnalis yang baik tahu bahwa harapan lebih penting dibandingkan dramatisasi.
Alih-alih membumbui cerita dengan kata-kata bombastis, kisah seperti ini sebaiknya disampaikan dengan empati dan fokus pada kekuatan serta keberanian korban selamat, seperti yang dilakukan Al Jazeera.
Baca juga: Empati dalam Komunikasi Krisis: Pelajaran dari Blunder Menteri Jepang
Begitu pula dalam menyampaikan fakta teknis seperti kemungkinan kerusakan mesin atau potensi kegagalan mesin ganda.

Semuanya perlu dijelaskan secara informatif, bukan dengan nada menakut-nakuti. Jangan sampai publik malah panik karena penyajian berita yang tidak proporsional.
Penting juga untuk menahan diri dari menyalahkan maskapai secara terbuka sebelum hasil investigasi resmi keluar. Tuduhan tanpa dasar hanya akan merusak kredibilitas media dan bisa berdampak hukum.
Dalam etika jurnalis meliput di tengah tragedi, bersikap netral dan menunggu data adalah salah satu bentuk tanggung jawab profesional.
Memberi Ruang pada Publik untuk Memahami
Jurnalis bukan hanya penyampai berita, melainkan juga berperan sebagai pendidik, terutama saat krisis.
Tugas jurnalis adalah membantu publik memahami konteks, bukan sekadar memberi tahu bahwa “pesawat jatuh” atau “sekian orang meninggal”.
Dengan menyisipkan data akurat, penjelasan dari ahli, dan narasi yang berimbang, jurnalis bisa membangun pemahaman yang lebih sehat di masyarakat.

Misalnya, bukan hanya melaporkan jumlah korban, tetapi juga menjelaskan bagaimana proses evakuasi dilakukan, siapa saja tim yang turun langsung, dan apa prosedur investigasi dalam dunia penerbangan.
Hal-hal ini tidak hanya memperkaya informasi, tetapi juga menunjukkan bahwa media bisa diandalkan saat publik membutuhkan kejelasan.
Kesimpulan
Etika jurnalis meliput di tengah tragedi menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik dan menghormati para korban.
Tragedi seperti kecelakaan Air India menunjukkan bahwa empati, akurasi, dan tanggung jawab harus berjalan beriringan.
Jurnalis tak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memanusiakan peristiwa.
Di tengah tekanan untuk cepat, jurnalis yang beretika tahu kapan harus berhenti, mendengar, dan menunggu fakta.