Di tengah lanskap industri yang berubah sangat cepat, hard skill saja tidak lagi cukup untuk employer branding. Mereka juga harus menguasai soft skill.
Dunia kerja kini memasuki fase kompetisi yang tak hanya berlangsung antar pencari kerja, tetapi juga antar perusahaan dalam merebut talenta terbaik. Fenomena ini kian dikenal sebagai talent war.
Menurut Rahma Soediro, Corporate Communications Manager LinkAja, kekuatan soft skill kini menjadi penentu utama dalam membentuk citra diri pekerja dan memperkuat employer branding perusahaan.
Tiga Alasan Pentingnya Soft Skill
Dalam percakapannya bersama RadVoice Indonesia, Rahma menyoroti tiga alasan mengapa soft skill sangat krusial dalam menghadapi realitas dunia kerja digital dan dinamis saat ini.
1. Adaptif, Komunikatif, dan Leadership: Tiga Pilar Soft Skill yang Dicari
Rahma menjelaskan, saat ini proses rekrutmen tidak hanya menilai kecakapan teknis kandidat. Ia menekankan pentingnya kandidat yang mampu beradaptasi cepat, komunikatif, dan bahkan menunjukkan kemampuan kepemimpinan sejak level junior.
“Sekarang, saya merekrut tim tuh sudah tidak hanya melihat hard skill, tapi juga soft skill yang solid,” ujarnya.
Baginya, leadership bukan semata soal jabatan, melainkan tentang bagaimana seseorang bisa mengarahkan, memotivasi, dan menyelesaikan masalah. Ini termasuk dalam memanfaatkan teknologi seperti AI untuk mempercepat pekerjaan.
“Kita bersaing dengan AI, iya. Tapi yang bisa memaksimalkan AI untuk mem-boost produktivitas tetap manusianya,” jelas Rahma.
Di tengah tuntutan perubahan cepat, pekerja yang cepat belajar, terbuka terhadap masukan, dan mampu bekerja lintas tim akan lebih mudah beradaptasi dan unggul.
Hal ini menjadikan soft skill sebagai pembeda utama antara kandidat yang “sekadar bisa kerja” dan yang “siap berkembang bersama perusahaan”.
Baca juga: Kesalahan PR saat Menghubungi Jurnalis dan Cara Menghindarinya

2. Tulisan: Cermin Pemikiran dan Identitas Profesional
Satu hal yang Rahma tekankan yaitu kemampuan menulis. Ini merupakan kombinasi dari soft skill dan hard skill.
Baginya, menulis tidak hanya berguna untuk pekerjaan sehari-hari, seperti membuat press release, laporan ke shareholder, atau newsletter internal.
“Menulis juga mencerminkan cara berpikir, karakter, dan nilai personal seseorang,” kata Rahma.
Dirinya sering meminta contoh tulisan kandidat. Dia tekankan, dari situ bisa terlihat karakteristik dari kandidat. Ia menyadari bahwa di balik setiap tulisan, ada jejak orisinalitas dan kedalaman pemahaman yang sulit dipalsukan.
“Cara dia menyampaikan gagasan, berargumentasi, dan membangun opini,” ujar Rahma.
Menurutnya kemampuan menulis penting hingga ke level eksekutif. Bahkan saat mengelola komunikasi strategis dengan stakeholder besar seperti Telkomsel dan Pertamina, keterampilan ini tetap relevan.
“Sampai ke level direksi pun, kemampuan menulis tuh tetap dipakai. Menulis jadi alat untuk menyampaikan narasi, menjelaskan dampak, dan menjaga komunikasi tetap jelas,” ungkapnya.
Baca juga: Cerita Jurnalis Liputan6.com Benedicta Miranti Meliput Persiapan Pemilu di Korea Selatan
3. Employer Branding Dimulai dari Representasi Diri Karyawan
Sebagai Corporate Communication Manager, Rahma juga memandang bahwa employer branding bukan hanya tugas divisi komunikasi, tapi tanggung jawab kolektif.
“Dimulai dari bagaimana tiap individu merepresentasikan dirinya sendiri.
Di era digital, portofolio seperti tulisan di LinkedIn, Medium, atau bahkan Instagram bisa menjadi bentuk branding profesional yang kuat.
“Kami berlomba-lomba untuk menjadi tempat kerja yang menarik. Tapi talenta pun sekarang pilih-pilih. Sehingga employer branding itu mutual,” ujar Rahma.
Maka, Rahma mengatakan perusahaan perlu memperhatikan bukan hanya “siapa yang direkrut”, tetapi juga “bagaimana citra perusahaan terbentuk lewat para pekerjanya”.
Ia juga mencatat tantangan baru dalam merekrut generasi Gen Z. Generasi ini, menurutnya, penuh potensi namun butuh validasi dan ruang untuk bersinar. Sayangnya, tidak semua dari mereka mampu menerima kritik dengan baik.
“Di sinilah soft skill menjadi parameter penting dalam menilai kesiapan karakter seorang kandidat. Terkadang yang terlihat ekspresif di media sosial, ternyata dalam tulisan atau saat interview, tidak selaras spiritnya,” tuturnya.

Baca juga: Strategi Branding Hotel Tugu Malang: Dari Warisan Budaya hingga Pengalaman Penuh Cerita
Kesimpulan
Dengan semakin ketatnya persaingan, perusahaan butuh lebih dari sekadar resume menarik. Mereka mencari talenta dengan nilai lebih, yang tak hanya pintar secara teknis, tapi juga mampu beradaptasi, membangun komunikasi yang kuat, dan berpikir strategis.
Soft skill, terutama kemampuan menulis, berpikir kritis, dan komunikasi interpersonal, kini menjadi fondasi utama dalam memenangkan talent war, baik bagi kandidat maupun perusahaan.
Rahma mengatakan, yang diperlukan talenta bukan hanya menjadi pintar, melainkan juga bisa merepresentasikan diri dan kolaboratif. Ini berlaku baik untuk diri sendiri, maupun untuk citra perusahaan, Sebab, brand perusahaan pun terbentuk dari setiap talenta di dalamnya.
Wawancara dengan Rahma Soediro dilakukan pada Jumat, 30 Mei 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.