Dalam dunia komunikasi, isu-isu sosial sering kali datang dengan lapisan sensitivitas yang tidak sederhana.
Perkawinan anak, kesetaraan gender, atau kekerasan terhadap anak misalnya, tidak hanya disampaikan dengan data dan program, tetapi juga bagaimana agar pesan yang disampaikan dapat diterima, dipahami, dan tidak menimbulkan jarak dengan masyarakat.
Dalam wawancara bersama RadVoice Indonesia, Outreach and Communication Manager Plan International Indonesia, Moudy Alfiana, menceritakan tantangan terbesar yang dihadapinya bersama tim dalam setiap langkah komunikasi.
Di Plan Indonesia–sebuah organisasi yang selama bertahun-tahun bekerja untuk pemenuhan hak anak dan perempuan–Moudy dan timnya merancang strategi komunikasi untuk menyampaikan isu sosial kepada masyarakat. Berikut cerita lengkapnya.
Memanfaatkan Momentum untuk Menyampaikan Isu Sosial
Menurut Moudy, alih-alih memenuhi linimasa dengan seruan keras atau kritik yang berulang, timnya memilih untuk mempublikasikan konten secara terukur, edukatif dan informatif.

Contohnya, saat demo besar-besaran yang melibatkan anak-anak, tim komunikasi Plan Indonesia tetap mengedepankan angle yang edukatif, misalnya tentang perlindungan anak di tengah upaya mereka menyuarakan opini.
“Kita lebih banyak menjelaskan kenapa isu itu penting bagi anak-anak dan masyarakat, serta apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah maupun publik. Dengan begitu, pesan yang sampai bukan sekadar ajakan, tetapi juga memberi pemahaman,” jelas Moudy.
Tidak hanya itu, strategi komunikasi dalam menyampaikan isu sosial juga harus menyesuaikan dengan momentum.
Terlebih jika dalam organisasi tersebut memiliki banyak topik yang berbeda-beda dan harus disampaikan kepada masyarakat luas.
“Kalau semuanya kita sampaikan sekaligus bisa membuat audiens bingung. Karena itu kita memanfaatkan momen, misalnya Hari Bumi untuk bicara soal lingkungan, atau Hari Anak untuk mengangkat isu perlindungan anak,” ujar Moudy.
Dengan cara ini, pesan yang disampaikan tetap relevan, tidak terasa memaksa, dan justru mendorong partisipasi masyarakat.
Baca juga: Empati dalam Komunikasi Krisis: Pelajaran dari Blunder Menteri Jepang
Platform Berbeda untuk Pesan yang Berbeda
Jika sudah meramu pesan sedemikian rupa, Moudy akan memilih dan menyesuaikan platform yang akan digunakan.

Tapi bukan sekadar memilih platform, ia juga harus memahami audiens dan konteks sosial. Penyesuaian gaya bahasa pun dilakukan agar bisa sesuai dengan medium yang digunakan.
Moudy mengungkapkan pentingnya diferensiasi pesan. Di Instagram, misalnya, narasi dibuat lebih ringan dan interaktif agar dekat dengan anak muda.
Sementara di platform lain seperti LinkedIn, pendekatan dibuat lebih formal, dan di YouTube, mereka lebih banyak mengandalkan storytelling visual berupa video.
Selain ranah digital, Moudy juga menekankan pentingnya komunikasi langsung di komunitas. Modul, poster, dan materi edukasi sederhana dibagikan kepada peserta program.
Baginya, komunikasi tak boleh berhenti di layar ponsel, melainkan harus hadir di ruang nyata tempat masyarakat hidup.
Baca Juga: 9 Tips Membuat Caption Instagram Menarik dengan Tools yang Tepat
Menyampaikan Isu Sosial dengan Kreativitas
Seiring berjalannya waktu, Moudy belajar bahwa menyuarakan isu sosial juga bisa menggunakan kreativitas agar terasa dekat dengan keseharian. Alih-alih menggunakan jargon, ia memilih menghubungkan pesan dengan aktivitas yang familiar.

Salah satunya melalui kampanye lari Jelajah Timur, yang dijadikan wadah untuk membicarakan persoalan kekeringan dan akses air bersih di Nusa Tenggara Timur.
“Kami ingin menunjukkan bahwa isu serius seperti krisis air bisa dibahas dengan cara yang lebih ringan dan mengajak orang ikut terlibat. Framing-nya yang penting, supaya audiens merasa dekat,” ujar Moudy.
Kampanye seperti ini tidak hanya menarik partisipasi publik, tetapi juga melibatkan media dan public figure. Kehadiran media yang melakukan peliputan, membantu memperluas jangkauan pesan hingga bisa mencakup pemangku kepentingan dan pemerintah.
“Dengan mengajak media meliput langsung di lapangan, kita bisa membuat sebuah isu sosial mendapat perhatian lebih luas. Bagi kami, itu penting supaya pemerintah dan stakeholder juga melihat bahwa masalah ini nyata dan perlu segera diatasi,” jelasnya.
Namun, Moudy menekankan bahwa memperluas jangkauan pesan melalui kreativitas dan media hanyalah satu sisi dari strategi komunikasi isu sosial.
Ada kalanya isu perlu disampaikan dengan penuh kehati-hatian. Dalam topik sensitif seperti perkawinan anak misalnya, tim komunikasi Plan memilih menggunakan framing edukatif ketimbang kritik frontal.
“Kami lebih banyak mengedukasi publik tentang mengapa perkawinan anak berbahaya bagi masa depan anak-anak, daripada menyalahkan pihak tertentu. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut memahami dan merasa menjadi bagian dari perubahan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pendekatan ini dijalankan bersama tim program di lapangan, yang melibatkan anak muda setempat sebagai peer educator. Cara ini membuat pesan terasa lebih organik dan dekat dengan komunitas.
Dampaknya pun nyata, anak-anak yang awalnya pasif kini lebih vokal menyuarakan pendapat dan memahami hak-hak mereka, bahkan mulai berani melakukan advokasi di tingkat desa.
Bagi Moudy, strategi komunikasi isu sosial yang tepat bisa menjadi penggerak perubahan. Komunikasi bukan sekadar penyampaian pesan, melainkan proses membangun kepercayaan, membuka ruang dialog, dan menumbuhkan kesadaran bersama.
Ke depan, ia berharap ruang dialog semakin terbuka, terutama bagi generasi muda yang kerap berada di garis depan dalam menyampaikan isu-isu sosial dan lingkungan.
Kesimpulan
Pengalaman Moudy menegaskan bahwa strategi komunikasi isu sosial bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan meramu cara, waktu, dan platform yang tepat agar audiens benar-benar memahami dan menerimanya.
Edukasi menjadi kunci, sementara momentum, diferensiasi gaya komunikasi, dan kreativitas membuat pesan tetap relevan serta mengundang partisipasi.
Tidak hanya itu, dengan melibatkan media, figur publik, dan anak muda, strategi ini tidak hanya memperluas jangkauan, tetapi juga membangun kepercayaan, membuka ruang dialog, dan mendorong kolaborasi menuju perubahan yang berkelanjutan.