Mengapa Public Speaking bagi PR Bukan Pilihan tapi Kebutuhan Menurut Praktisi Citta Nandini

public speaking bagi PR

Dalam dunia public relations (PR), berbicara di depan umum bukan sekadar alat, tapi fondasi utama yang menentukan keberhasilan kerja.

Public speaking bagi PR bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan.

Di antara berbagai bentuk komunikasi, public speaking menempati posisi teratas sebagai keterampilan yang wajib dimiliki seorang profesional PR.

Public speaking facilitator Citta Nandini berbagi pengetahuannya dengan RadVoice Indonesia.

Ia menjelaskan pentingnya public speaking dalam profesi PR, tantangan yang dihadapi, serta teknik dan strategi untuk menguasainya.

Citta Nandini saat mengajar public speaking untuk Bank Muamalat. (Semua foto oleh Citta Nandini)

Public Speaking: Keterampilan Inti Seorang PR

Public speaking adalah soft skill yang bersifat universal.

Dalam profesi PR, keterampilan ini menjadi lebih krusial karena pekerjaan mereka sangat bergantung pada interaksi manusia.

Berbeda dengan profesi yang lebih teknis atau bekerja dengan sistem dan software, PR berkutat dengan publik, media, pemangku kepentingan, hingga internal perusahaan.

Oleh karena itu, kemampuan berbicara secara efektif, terstruktur, dan persuasif di depan umum menjadi kebutuhan mutlak.

“Seorang PR adalah corong perusahaan, penyampai pesan resmi sekaligus penjaga reputasi. Ketika komunikasi tidak dilakukan dengan baik, risiko blunder sangat tinggi,” jelas Citta.

Pernyataan yang tidak tepat bisa menimbulkan kesalahpahaman publik, memperburuk citra perusahaan, bahkan memicu krisis.

Sebaliknya, melalui public speaking yang strategis, PR mampu mengendalikan narasi publik, menunjukkan empati, dan bahkan membalikkan sentimen negatif menjadi apresiasi terhadap perusahaan.

public speaking bagi PR

Citta saat mengajar public speaking kepada anak-anak sekolah.

Memulai Public Speaking dari Lingkungan Terdekat

Salah satu tantangan terbesar dalam public speaking adalah memulai. Banyak orang merasa gugup atau tidak percaya diri saat harus berbicara di depan banyak orang.

“Ini wajar, terutama jika tidak dilatih sejak dini. Public speaking itu keterampilan yang memerlukan latihan terus-menerus, seperti halnya olahraga atau bermain alat musik. Keahlian ini tidak bisa instan,” terang Citta.

Citta menyarankan bagi pemula untuk memulai praktik berbicara depan umum, dari hal yang paling mudah dan nyaman.

Misalnya, berbicara di depan keluarga saat makan malam, memimpin doa, atau menceritakan pengalaman hari itu.

Setelah itu, perlahan-lahan tantangan diperbesar. Kita bisa berbicara di depan komunitas kecil, acara arisan keluarga, hingga terbiasa tampil di hadapan audiens yang lebih luas.

“Sebab lingkungan yang aman dan suportif membantu membangun kepercayaan diri,” kata Citta.

Public Speaking bagi PR: Strategis, Penuh Perhitungan

Berbeda dengan komunikasi sehari-hari yang bersifat spontan dan informal, public speaking bagi PR sangat strategis dan penuh perhitungan.

Seorang PR tidak berbicara atas nama pribadi, melainkan mewakili institusi.

Oleh karena itu, setiap kata, intonasi, dan bahasa tubuh harus selaras dengan nilai, visi, dan pesan perusahaan.

Misalnya, walaupun brand yang diwakili bersifat anak muda dan kasual di media sosial, saat menyampaikan press release tetap diperlukan bahasa formal sesuai standar jurnalistik dan KBBI.

“Konsistensi dan profesionalitas dalam penyampaian menjadi penanda utama seorang PR yang kompeten,” kata Citta.

Public speaking yang baik tidak hanya tentang apa yang disampaikan, tetapi juga bagaimana menyampaikannya.

“Seperti ini, komunikasi non-verbal itu menyumbang 70-80% dari persepsi audiens. Makanya gestur, ekspresi, dan postur harus dilatih agar mendukung pesan, bukan justru merusaknya,” ujar Citta.

public speaking bagi PR

Citta di acara corporate training Pertamina.

Ukuran Keberhasilan Public Speaking bagi PR

Lantas, bagaimana menilai apakah sesi public speaking seorang PR berhasil? Jawabannya terletak pada tujuan komunikasi.

Jika tujuan public speaking adalah memperbaiki citra perusahaan dalam krisis dan hasilnya publik memberikan respon positif, maka sesi tersebut dianggap berhasil.

Indikator keberhasilannya bisa berupa:

  • Komentar positif dari publik secara organik;
  • Minimnya kritik di kolom media sosial;
  • Citra perusahaan tetap stabil (bahkan meningkat);
  • Tidak ada penurunan signifikan dalam kepercayaan stakeholder.

Namun perlu diingat, PR bukan pemilik penuh narasi. Banyak hal yang berada di luar kendali seperti opini publik atau peran buzzer.

“Oleh karena itu, sikap terbuka dan responsif sangat penting, termasuk dalam menangani komentar negatif dengan profesional dan tidak emosional,” kata Citta.

Kesimpulan

Menjadi PR artinya bersedia menjadi bumper, penyaring, dan wajah dari perusahaan. Di sini pentingnya integritas dan kesiapan mental.

“Saat memutuskan bergabung sebagai PR sebuah perusahaan, pastikan telah mengenal track record dan potensi krisis dari perusahaan tersebut,” tekan Citta.

Dengan penguasaan public speaking yang solid, PR bukan hanya mampu menyampaikan informasi, tapi juga membentuk persepsi, menjaga reputasi, dan menguatkan hubungan antara perusahaan dan publik.

Let's Amplify Your Voice Together

Tell us about your project, and we will get back to you within one business day.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?