Dalam artikel jurnalistik, dikenal batas tegas dan jelas yang disebut “garis api”, “firewall”, atau “pagar api”, yang harus dipatuhi oleh penulis.
Hal ini tak lepas dari keberadaan jurnalis yang bekerja di lapangan maupun di balik meja redaksi. Mereka kerap menghadapi godaan yang dapat merusak independensi dalam penulisan berita.
Untuk itu, “garis api” harus ditegakkan.
Vindry Florentin, wartawan senior Tempo, berbagi cerita kepada RadVoice Indonesia mengenai “garis api” yang menjadi prinsip baginya dan jurnalis lainnya di perusahaan tersebut.
Apa Itu ‘Garis Api’ dalam Tulisan Jurnalistik?
Secara teknis, “garis api” merupakan batasan yang memisahkan antara kepentingan redaksi dan non-redaksi dalam publikasi berita.
Urusan redaksi menjadi fokus pada kepentingan dan produksi berita.
“Garis api ini yang memisahkan pekerjaan jurnalistik dengan pekerjaan lain, misalnya manajemen, iklan, dan lain-lain. Supaya kerja kita tetap sesuai etika, profesional, dan independen,” kata Vindry.

Batas yang jelas ini diterapkan supaya kerja redaksi, yaitu dari reporter lapangan, editor, redaktur hingga pimpinan redaksi tetap independen.
“Tidak ada campur tangan lain, murni untuk urusan jurnalistik saja,” kata Vindry.
Alasan lain, menjadi jurnalis artinya memiliki tanggung jawabnya ke publik. Kerja dan kode etik jurnalis pun diatur oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Jurnalis punya etika. Jadi harus dipaksa bekerja mengikuti jalan itu, sehingga dibuat garis api. Khawatirnya, kalau tidak ada, nanti kerjaan jurnalistik bisa terjangkau oleh urusan lain,” tutur Vindry.
Baca juga: 6 Tips Mengolah Siaran Pers Promosi agar Tak Seperti Iklan
Menghindari Potensi Bias
Vindry menyebutkan, biasanya, ‘campur tangan’ masuk melalui berita jurnalis berbentuk produk iklan.
Ini sering kali terjadi ketika perusahaan yang menawarkan iklan memiliki tujuan tertentu, antara lain untuk membuat pernyataan atas isu tentang mereka yang sedang beredar di lapangan.

Vindry Florentin berpose di depan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali.
Tidak jarang pula, perusahaan datang menawarkan iklan untuk meluruskan berita yang melenceng, ‘mencuci tangan’, hingga memperbaiki citranya ketika terjadi sesuatu yang buruk.
Sehingga, apabila tawaran iklan masuk ke produksi, bagian kerja jurnalistik, akan berpotensi bias.
“Bisa jadi ketika klien sudah kasih iklan, perusahaan media menjadi tidak memperhatikan dan menuliskan kesalahan klien. Maka dibikin garis api supaya kerja kita tetap lurus, sesuai fakta, independen, dan tidak terpengaruh sama iklan,” kata Vindry.
Jalin Komunikasi dengan Departemen Lain
Sampai saat ini, Vindry merasa “garis api” telah membantu perusahaan tempatnya bekerja untuk menjalankan fungsi jurnalistik, khususnya agar reportase tidak bias.
“Sehingga reporter di lapangan pun tetap fokus untuk bekerja sebagai jurnalis,” kata Vindry.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan masih sangat membutuhkan iklan dan belum bisa mengandalkan pelanggan yang berlangganan berita untuk terus berjalan.
Oleh karena itu, redaksi harus menjalin komunikasi yang baik dengan departemen promosi, marketing, manajemen, dan lainnya.
Bila ada penawaran untuk tayang berita dengan uang, jurnalis lebih diarahkan kepada tim iklan dan tetap menghadapi lawan bicara dengan ramah.
“Biasanya, normalnya seharusnya begitu, diarahkan, mungkin bisa ngobrol sama tim iklan perusahaan,” kata Vindry.

Vindry berpose di ruangan redaksi Tempo
Tantangan Menjaga ‘Firewall‘
Secara teori, Vindry menyebutkan, karyawan perusahaan media tempatnya bekerja sudah paham adanya “garis api”. Namun, pada praktiknya diakui memang agak berat dan butuh koordinasi.
Sebagai jurnalis, wajib menolak tegas jika pihak eksternal menawarkan titip press release, dengan iming-iming fee agar berita tayang, guna menjaga integritas dan independensi.
“Kalaupun tayang, bukan karena kita terima uang, melainkan memang publik membutuhkan informasi tersebut. Kalau mau titip-titip itu tidak bisa, dan pasti akan ditolak. Itu sebenarnya salah satu contoh kami menjaga ‘garis ap’i,” kata Vindry.
Tidak jarang, kata dia, dengan sikap berusaha mencoba netral, banyak kejadian orang-orang yang merasa terganggu dengan berita Tempo dan akhirnya mencabut iklan.
“Jadi akhirnya berpengaruh ke pendapatan perusahaan. Agak susah, tapi jalan yang dipilih oleh perusahaan adalah tetap mengedepankan kerja-kerja jurnalistik yang sesuai etika dan bisa dipercaya,” kata Vindry.
Apabila ada tawaran deal iklan perusahaan melalui para direksi, keputusan juga harus mempertimbangkan, apakah kontradiktif dengan kerja jurnalistik.
Baca juga: Bagaimana Menentukan Nilai Berita di Tengah Banjir Informasi
Transparansi ke Publik dalam Penayangan
Transparansi kepada pembaca juga diterapkan. Media harus memberi tahu ke pembaca bahwa artikel, foto, dan video yang tampil adalah hasil kerja sama iklan.
“Misalnya produk artikel iklan berbayar di Tempo bernama Inforial. Jadi, biasanya kita bedakan dengan tulisan jurnalistik,” kata Vindry.
Demikian pula pada produk jurnalistik audiovisual yang tayang di YouTube. Bila ada sponsor atau kerja sama dalam tujuan untuk promosi, akan disampaikan bahwa acara didukung oleh perusahaan terkait.
“Jadi kami akan tetap kasih informasi ke publik, bahwa there is money involved in it. Bahwa produk jurnalistik yang ini tidak murni dan ada unsur iklannya,” kata Vindry.
Kesimpulan
Peraturan “garis api” yang diterapkan oleh Tempo bertujuan untuk menjaga independensi jurnalis.
Dengan demikian mulai dari reporter lapangan, editor, redaktur hingga pimpinan redaksi bekerja sesuai etika, profesionalitas, dan independensi.
Salah satu cara yang dilakukan yaitu menerapkan transparansi kepada konsumen produk jurnalistik mereka apabila artikel, atau foto dan video yang tampil adalah hasil kerja sama iklan.
Wawancara dengan Vindry Florentin dilakukan pada Jumat, 9 Mei 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.