Hampir 10 Tahun Menjadi Jurnalis: Pengalaman Saya Meliput Berbagai Peristiwa

Hampir 10 tahun menjadi jurnalis bukan waktu yang sebentar. Sebagai pekerja lapangan, kita dituntut beradaptasi di berbagai pos liputan.

Menjadi jurnalis artinya harus dapat memikirkan dan mengembangkan banyak isu setiap harinya. Tidak menutup kemungkinan, agenda liputan dari pagi, siang, dan sore jauh berbeda.

Jurnalis harus siap untuk liputan acara resmi pemerintah di pagi hari, meliput demonstrasi pada siang hari. Kemudian, pada sore harinya bisa saja bertemu narasumber untuk wawancara khusus.

Pilihan profesi itu yang saya pilih selama hampir satu dekade di Media Indonesia. Beradaptasi di berbagai desk peliputan menjadi keharusan.

Baca juga: Perjalanan Beralih Karier: Dari Jurnalis ke Pencipta Pesan untuk Komunikasi Korporat

Hampir 10 Tahun Menjadi Jurnalis: Suka dan Duka

Fetry ‘Asti’ Wuryasti (batik biru, atas dari pojok kanan bawah) berpose bersama para pewarta Istana Kepresidenan. (Semua foto oleh Fetry Wuryasti)

Kabur-kaburan dari Satpam Rumah Sakit, hingga Diminta Membantu Menulis Pidato Menteri

Menjadi anak baru di tahun 2015 berarti juga berpasrah diminta meliput apa pun.

Dua minggu pertama di pos Megapolitan berhasil membuat saya menjadi buronan satpam rumah sakit rujukan utama.

Penyebabnya, saya membuat reportase mengenai pasien BPJS rawat jalan dari luar kota. Ia terlantar di rumah sakit itu, sedangkan rumah singgah tidak siap menampung.

Saat itu, targetnya yaitu menembus direktur utama untuk meminta penjelasan. Selama beberapa hari saya meliput sejak pukul empat pagi, waktu dimulainya antrean panjang pasien BPJS rawat jalan di sana.

Begitu satu tes dianggap selesai oleh kantor, saya dipindah ke pos Humaniora. Topik desk ini menyenangkan karena lebih melibatkan sisi kemanusiaan dan empati.

Anak, perempuan, keluarga tidak mampu, kemiskinan, pendidikan, serta kekerasan seksual dan rumah tangga menjadi topik yang tidak ada habisnya.

Salah satu momen bagi saya yang seperti “pecah telur” yaitu ketika mengawal kebijakan hukuman kebiri. Selama berminggu-minggu, saya mengawasinya mulai dari draf, hingga terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri.

Perppu ini menjadi langkah awal memberi efek jera dan mencegah tindak kejahatan seksual terhadap anak. Rasanya seperti tidak sia-sia datang dan menyimak setiap rapat pembahasan di DPR.

Baca juga: Cerita Jurnalis Republika Fergi Nadira Meliput K-Pop: Dari Hobi Menjadi Profesi

Selain itu, pengalaman lain yang tak kalah konyol selama hampir 10 tahun menjadi jurnalis adalah saat masih menjadi anak bawang.

Saat itu, saya ikut dalam kunjungan salah satu menteri ke Bali dan diminta bantuan membuat materi pidato.

Menurut daftar kegiatan, tidak terdapat pidato menteri, hanya ada oleh presiden. Namun satu hari sebelum acara, tiba-tiba muncul rencana tersebut.

Akhirnya, dibantu staf lembaga untuk mengumpulkan data, saya membuat kerangka pidato bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh direktur jenderal untuk dipakai oleh menteri terkait.

Masuk Desk Ekonomi: Shock Therapy Makan Angka dan Data Setiap Hari

Pertengahan 2016, saya digeser ke pos peliputan baru, menantang, dan juga menjadi durasi terlama, yaitu desk ekonomi.

Totalnya, saya menghabiskan waktu lima tahun menjajal topik perbankan, pasar modal, investasi, dan keuangan mikro.

Pada tiga minggu pertama, pekerjaan saya diisi dengan menangis setiap sampai rumah. Ini karena saya tidak mengerti ekonomi. Maklum, saya lulusan sastra.

Pada akhirnya, saya les kilat dengan teman-teman sekolah yang sudah berprofesi sebagai analis keuangan, pegawai pajak, hingga staf bank.

Meliput konferensi pers Laporan Bulanan Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Ini adalah salah satu momen saya selama hampir 10 tahun menjadi jurnalis.

Meski pusing, peliputan pasar modal dan perbankan ternyata tidak sekadar angka. Naik turun hasil laporan data dan grafis memiliki makna akan apa yang terjadi di masyarakat umumnya.

Kita bisa mengamati mulai dari kemampuan belanja publik yang kembang kempis. Tidak lupa juga tabungan yang tergerus. Kita juga bisa mencari tahu ada tidaknya kesempatan orang awam untuk mengecap investasi ala masyarakat kelas atas.

Hampir 10 tahun menjadi jurnalis membuat saya menyadari, kelas pekerja adalah kaum paling nelangsa karena dijadikan tulang punggung ekonomi nasional. Termasuk saya sebagai buruh berita.

Dengan kemampuan uang pas-pasan, kelas pekerja dipaksa terus berbelanja, tapi juga kelompok yang tidak layak mendapat bantuan sosial negara.

Tetapi akhirnya saya mengerti, paham mengelola keuangan adalah kunci bertahan hidup. Rasanya tidak sia-sia materi paparan APBN sampai terbawa mimpi berminggu-minggu.

Baca juga: Perjalanan Sebagai Jurnalis Pasar Modal: Saham Bukan Sekadar Angka

Terus Berpindah Desk: Belajar Pendekatan Personal untuk Liputan

Selanjutnya pada pos mingguan, liputan yang saya lakukan cenderung mencari sosok atau figur publik yang memiliki dampak kepada masyarakat.

Saat itu, saya berkeliling di media sosial, juga di acara yang mengundang jurnalis untuk mengajukan wawancara profil dan bisnis kepada CEO, pemilik usaha UKM, hingga pelaku budaya.

Pos peliputan mingguan menyenangkan karena mengharuskan saya untuk mingle, berkenalan, dan berbagi ide bersama calon narasumber.

Percakapan dimulai dari berkenalan sok akrab, membahas hal-hal yang berelasi dengan narsum seperti hobi dan kegiatan terkini.

Salah satunya seperti ketika mewawancarai salah satu narasumber baker dengan profesi asli dokter, dan terlihat aktif di kegiatan olahraga.

Kebetulan, dia dan saya ternyata sama-sama pernah mencoba skydiving. Akhirnya, diskusi yang seru pun mengalir dimulai dengan topik tersebut.

Pada akhirnya, hampir 10 tahun menjadi jurnalis membuat saya memahami bahwa penting untuk tidak terbawa arus dengan obrolan.

Berpindah-pindah tempat liputan setiap hari, sebagai jurnalis saya menjadi terbiasa menyiapkan cadangan saat bekerja.

Dimulai dari barang kebutuhan kerja seperti dari power bank, ponsel, rekaman, hingga pakaian dan sepatu apabila berpotensi hujan pada hari liputan.

Selain itu, juga menjadi kebiasaan saya untuk punya opsi cadangan yang harus dilakukan bila satu rencana liputan, baik topik maupun wawancara narasumber, tidak bisa berjalan.

Biarpun begitu, warna-warni di profesi ini lebih dari pelangi. Bisa dalam satu hari saya tertawa, menangis, hingga “sambat” karena bertemu banyak orang berbeda.

Bagi saya, beragam pos peliputan ibarat tembok: tabrak saja dahulu, panjat kalau perlu. Saat tidak mengerti, dicoba lagi, bertanya ke kanan-kiri.

Mungkin percobaan awal gagal, lalu dihadapi lagi saja, sampai rasa takut dan khawatir itu hilang. Tidak apa-apa bila tidak bisa memahami dengan cepat.

Pengalaman inilah yang membentuk saya yang sekarang: tangguh dan berdaya juang.

Let's Amplify Your Voice Together

Tell us about your project, and we will get back to you within one business day.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?