Benarkah Industri Media Seperti Film The Devil Wears Prada?

industri media the devil wears prada

Masih ingatkah Anda dengan The Devil Wears Prada, film drama komedi Amerika yang menggambarkan dinamika industri media, khususnya majalah fashion?

Film garapan sutradara David Frankel yang dibintangi aktris Anne Hathaway ini rilis pertama kali pada 2006. Pihak Disney kabarnya tengah membuat sekuel keduanya sejak tahun lalu. 

The Devil Wears Prada menceritakan tentang Andrea ‘Andy’ Sachs yang diperankan Anne Hathaway, seorang fresh graduate yang ingin bekerja sebagai jurnalis.

Andy awalnya ingin bekerja sebagai jurnalis yang menangani isu-isu serius tapi nasib membawanya bekerja di sebuah majalah fashion ternama, Runway, sebagai asisten junior Miranda Priestly yang diperankan Meryl Streep. 

industri media the devil wears prada
Ilustrasi. Andy awalnya ingin bekerja sebagai jurnalis yang menangani isu-isu serius tapi nasib membawanya bekerja menjadi asisten junior Miranda Priestly di majalah Runway. (Foto oleh Freepik)

Konflik dimulai ketika Andy harus menghadapi sosok Miranda yang perfeksionis dan sangat menuntut. Tanpa latar belakang dunia fashion yang dikenal glamor dan ambisius, Andy cukup kewalahan karena harus memenuhi ekspektasi Miranda dengan berbagai tugas yang tidak masuk akal dan tenggat waktu yang ketat. 

Baca juga: 3+ Tips Menulis Artikel Fashion, Wajib Ikuti Tren!

Salah satunya ketika Andy diminta Miranda mendapatkan skrip novel Harry Potter yang belum terbit untuk anak kembarnya. Permintaan ini tentu tak termasuk sebagai bagian dari tugas Andy. 

Ia juga dihadapkan pada dilema ketika pekerjaannya semakin menyita waktu dan membuatnya harus memilih untuk mengejar karier impiannya di media atau mempertahankan kehidupan pribadi.

Lalu, benarkah realitas industri media seperti yang digambarkan di film tersebut?

Industri Media di Film The Devil Wears Prada

RadVoice Indonesia telah merangkum gambaran industri media di film dengan dunia nyata. Berikut selengkapnya. 

Tuntutan Tinggi dan Tekanan Kerja

Industri media selama ini dikenal memiliki tekanan kerja yang tinggi, terutama di bidang yang bergerak cepat seperti fashion. 

Sistem kerja dengan tenggat waktu yang ketat, perubahan mendadak, serta ekspektasi dari atasan dan pembaca adalah hal yang ditemui di dunia nyata. 

Serupa dengan film, pekerja media juga kerap kali dihadapkan dengan tugas-tugas di luar deskripsi pekerjaan. 

Jam Kerja yang Panjang

Industri media memiliki waktu kerja yang fleksibel. Tak jarang, pekerjaan harus diselesaikan di luar jam kantor karena adanya liputan mendadak atau peristiwa penting. 

Dikutip dari Green Network Asia, jurnalis yang bekerja di perusahaan media online atau cetak umumnya memiliki target produksi 10 sampai 15 berita per hari.

industri media the devil wears prada
Waktu kerja yang panjang dan fleksible juga kerap ditemui di industri media yang sebenarnya.
(Foto oleh Freepik)

Dengan target tersebut, mereka diminta untuk memberikan daftar isu yang akan dikerjakan, melaporkan apa yang sudah digarap, menulis naskah berita, dan kembali memikirkan isu untuk keesokan harinya. Ketidakpastian waktu kerja ini kerap membuat jurnalis harus standby dalam 24 jam. 

Seperti yang digambarkan dalam film, banyak pekerja media yang terpaksa mengorbankan kehidupan pribadinya untuk pekerjaan. 

Kompetisi Antarmedia

Serupa dengan cerita di film, industri media sangat kompetitif. Setiap media berlomba untuk menarik perhatian pembaca. Hal ini akan semakin sulit dengan meningkatnya platform digital seperti media online, podcast, maupun YouTube. 

Persaingan antarmedia juga terlihat dalam menyajikan berita eksklusif. Semua media beradu untuk mendapatkan berita paling cepat, terutama untuk media online. 

Pola kerja di industri media yang berjalan dengan ritme cepat juga kerap kali menuntut hasil kerja yang sempurna, baik dalam penulisan, desain, maupun penyajian informasi. Sebab, kesalahan kecil terkait informasi apa pun bisa berdampak besar terhadap reputasi dan kepercayaan media. 

Menjalin Koneksi

Menjalin koneksi di industri media sangat penting untuk keberlangsungan karier bagi jurnalis maupun media itu sendiri. Mulai dari narasumber, klien, pemangku kepentingan, hingga media lain. 

Jika tak mampu membangun koneksi yang baik dengan berbagai pihak, penyajian informasi menjadi tak maksimal.

Hal ini serupa dengan yang ditampilkan dalam film saat Andy mulai memahami pentingnya menjalin koneksi di media, khususnya dalam industri fashion. 

industri media the devil wears prada
Pada akhirnya, Andy mulai memahami pentingnya menjalin koneksi di media,
khususnya dalam industri fashion. (Foto oleh Freepik)

Kendati demikian, terdapat sejumlah hal yang membedakan realitas di dunia nyata dengan film tersebut. 

Salah satunya adalah tidak semua pimpinan media bersikap seperti Miranda.

Meski ada atasan yang kerap kali menuntut banyak hal, tidak semua pimpinan di industri media memiliki karakter seperti Miranda yang banyak menuntut dan perfeksionis. 

Banyak ditemui pimpinan media yang bersikap suportif terhadap para pegawainya. 

Di sisi lain, tak semua media menerapkan sistem kerja yang formal dan seketat seperti apa yang digambarkan dalam film. Beberapa media memiliki budaya kerja yang lebih santai dan ruang untuk kreativitas yang terbuka lebar. 

Kesimpulan

Film The Devil Wears Prada menggambarkan sebagian realitas industri media yang kerap dihadapi jurnalis. Mulai dari tekanan kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang dan fleksibel, kompetisi antarmedia, hingga pentingnya menjalin koneksi. 

Meski demikian, tak semua kondisi berjalan seperti yang ada dalam film. Beberapa media memiliki budaya kerja yang lebih santai. 

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?