Di dunia yang semakin visual, dari Instagram Story, YouTube Shorts, sampai iklan TikTok, ada satu elemen komunikasi yang ‘diam-diam’ kembali mencuri perhatian: suara.
Teknologi suara atau voice technology kini berperan strategis dalam cara brand berinteraksi dengan audiens.
Coba ingat momen terakhir Anda bilang, “Hey Siri,” atau meminta Google Assistant untuk memutar lagu favorit saat berkendara. Atau, mungkin Anda rutin mendengar podcast Podkesmas dan Raditya Dika di perjalanan pulang kantor?
Teknologi suara, yang dulu mungkin dianggap pelengkap, kini menjadi cara baru yang kuat untuk bercerita (storytelling), menyentuh emosi, dan membangun koneksi lebih dalam dengan audiens.

RadVoice Indonesia melihat, kehadiran voice technology bukan hanya tren. Ini adalah pergeseran cara kita berkomunikasi di era digital, dan RadVoice akan mengulasnya lebih dalam melalui artikel berikut.
Baca juga: Storytelling dalam Emotional Marketing: Strategi Komunikasi di Iklan Indonesia dan Thailand
Voice Technology: Dari Sekadar Fitur Jadi Media Cerita
Voice technology pada software dan sistem memungkinkan manusia berinteraksi dengan teknologi menggunakan suara.
Dulu, teknologi suara mungkin dianggap sebagai pelengkap. Sekadar fitur untuk membantu menyalakan musik atau membaca pesan ketika tangan saat sibuk.
Tapi, sekarang, suaralah yang justru menjadi pemeran utama dalam membangun pengalaman digital yang lebih manusiawi.
Lihat saja bagaimana Raditya Dika menggunakan podcast untuk membagikan cerita personal yang dekat dengan keseharian kita. Atau, bagaimana dengan Ananda Omesh, Imam Darto, Angga Nggok, dan Surya Insomnia membangun komunitas melalui Podkesmas, yang membuat kita merasa terhubung seolah sedang ngobrol bareng.
Apa Saja Wujud dari Voice Technology?
Voice technology sudah hadir di sekitar kita, dan sering kali kita tidak sadar sudah menggunakannya setiap hari.
- Voice assistant (Alexa, Siri, Google Assistant, Gemini), yang bisa menyalakan lampu, mencari resep, atau sekadar memberi tahu perkiraan cuaca besok.
- Voice search pada perangkat mobile dan smart speaker yang membantu mencari alamat sambil Anda menyetir, atau sekadar mencari tahu ‘coffee shop’ terdekat.
- Text-to-speech (TTS) dan speech-to-text (STT), yang tidak hanya membantu pengguna tunanetra, tapi juga siapapun yang ingin lebih cepat dan praktis saat mengetik pesan.

Teknologi ini semakin pintar berkat kemajuan AI dan natural language processing (NLP). Hasilnya, suara digital bisa lebih dari sekadar ‘robot berbicara’, tapi juga merespons dengan konteks, nada, dan emosi yang lebih alami.
Baca juga: Meliput Topik Sensitif dalam Pemberitaan: Pentingnya Etika dan Empati Jurnalis
Mengapa Brand Harus Mulai Menggunakan Voice Technology
Kedekatan Emosional
Suara membawa nada, emosi, dan intonasi. Ini sesuatu yang tidak bisa disampaikan sepenuhnya melalui teks atau gambar. Audiens merasa lebih terhubung, dipercaya, dan dimengerti ketika mendengar suara dibandingkan hanya membaca kata.
Multitasking-Friendly
Di tengah gaya hidup serba cepat, banyak orang memilih konten audio karena bisa dikonsumsi sambil melakukan hal lain, seperti menyetir, berolahraga, atau bekerja. Ini membuka peluang baru bagi brand untuk hadir di “waktu senggang” audiens.
Aksesibilitas & Inklusi
Voice technology membantu menjangkau audiens dengan kebutuhan khusus, seperti mereka yang memiliki gangguan penglihatan atau disleksia. Ini menjadi alat untuk memperluas jangkauan brand secara inklusif.
Strategi Brand dalam Menggunakan Suara
Beberapa brand menggunakan suara yang akan menempel di ingatan konsumer, seperti nada notifikasi Shopee, Tokopedia, Universal Picture hingga nada ketika dimulainya tayangan Doraemon. Ini merupakan sebagian dari merek membentuk citra produknya, baik e-commerce hingga film.
Podcast: Ruang Cerita yang Dalam dan Personal
Banyak brand mulai mengembangkan podcast mereka, baik untuk edukasi, storytelling, atau mengangkat isu sosial yang relevan dengan nilai perusahaan. Podcast memungkinkan brand menyampaikan nilai dan pesan dengan cara yang lebih santai, dalam, dan intim.
Contoh:
- Brand fashion yang Patagonia yang bekerja sama dengan podcast The Dirtbag Diaries di Spotify membahas dalam beberapa episode mengenai tentang sustainability, yang ditujukan untuk audiens pecinta alam.
- Institusi pendidikan yang berbagi insight karier lewat audio series, seperti Harvard Business Review melalui HBR IdeaCast di Spotify. Siniar ini menjadi alat branding institusi untuk mahasiswa & eksekutif.
Voice Branding: Identitas yang Bisa Didengar

Seperti logo visual dan warna khas, suara juga bisa jadi ciri khas brand. Ini bisa berupa:
- Jingle atau nada pembuka podcast
- Intonasi dan gaya bicara voice-over
- Pemilihan jenis suara (maskulin, feminin, muda, tenang, bersemangat, dll.)
Contoh yang sukses seperti nada notifikasi Netflix (“ta-dum”) atau suara khas Google Assistant. Brand bisa memilih suara yang mencerminkan kepribadian mereka dan membangun ingatan jangka panjang.
Voice Search Optimization
Pencarian berbasis suara semakin umum. Maka, brand perlu menyesuaikan konten dengan:
- Gunakan bahasa percakapan dalam konten.
- Jawab pertanyaan yang sering diajukan.
- Optimalkan FAQ dalam format yang mudah dipahami asisten suara.
Baca juga: Jurnalisme Radio bagi Astri Septiani: Seni Menyampaikan Berita dengan Suara
Kesimpulan
Suara adalah masa depan komunikasi yang lebih manusiawi. Dalam dunia digital yang semakin instan, dan penuh distraksi, suara memberi kita kembali apa yang hilang, yaitu kedekatan dan kehangatan.
Bagi brand, suara bukan sekadar medium, tapi sebuah kesempatan untuk hadir lebih dekat, personal, dan relevan. Teknologi suara bukan lagi “masa depan”, ia sudah hadir hari ini.
Semakin cepat brand mengintegrasikan strategi suara dalam komunikasi, semakin kuat hubungan mereka dengan audiens. Sebab, kini saatnya bukan hanya dilihat, tapi juga didengar dengan cara yang bermakna.