Meliput tragedi bukan sekadar mengejar berita tercepat.
Bayangkan seorang jurnalis berdiri di tengah puing-puing kecelakaan pesawat, mencium bau asap yang menyengat, mendengar jeritan keluarga korban yang kehilangan.
Di balik kamera dan catatan, ada hati yang ikut terguncang. Situasi seperti ini bisa meninggalkan luka psikologis yang tidak terlihat oleh pembaca.
Sayangnya, pembahasan soal perlindungan saat meliput tragedi sering kali hanya fokus pada aspek fisik. Padahal, menjaga kesehatan mental jurnalis sama pentingnya.
Etika kerja dalam situasi darurat bukan cuma soal empati kepada korban, tapi juga soal mengenali batas dan kebutuhan diri sendiri.
RadVoice Indonesia akan membahas strategi ini lebih lanjut agar praktik jurnalistik tetap manusiawi, bagi semua pihak.
Liputan tragedi kerap meninggalkan dampak emosional yang mendalam.
Jurnalis bisa saja menyaksikan jenazah, mendengar jeritan keluarga korban, atau berada di tengah puing-puing reruntuhan.
Baca Juga: Kecelakaan Air India: Etika Jurnalis Meliput di Tengah Tragedi
Pengalaman ini dapat memicu trauma, kecemasan, bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Berikut dua kisah nyata yang menunjukkan betapa krusialnya perlindungan saat meliput tragedi.
Dean Yates, mantan koresponden perang Reuters, menceritakan pengalamannya dalam artikel “The Road to Ward 17: My Battle with PTSD”.
Ia menulis bahwa setelah meliput bom Bali 2002, tsunami Aceh 2004, dan beberapa penugasan di Irak, ia mulai mengalami flashback, kecemasan, dan mati rasa emosional.
Gejala-gejala ini akhirnya memaksanya masuk ke Ward 17, unit psikiatri khusus PTSD di Melbourne.
Trey Yingst: Menghirup Bau Kematian di Gaza
Trey Yingst, koresponden perang Fox News, menghabiskan hampir 200 hari meliput perang Israel–Gaza pasca serangan Hamas 7 Oktober 2023.
Adegan tubuh yang terbakar, teriakan korban, dan puing-puing pasca-massacre membuatnya mengalami mimpi buruk, flashback, dan isolasi emosional, di mana semuanya merupakan gejala klasik PTSD.
Dalam wawancara eksklusif dengan People.com, ia bercerita bagaimana bau tubuh hangus saat liputan di Gaza tiba-tiba memicu trauma jauh setelah ia kembali dari lapangan
Kedua kisah tersebut menegaskan bahwa perlindungan saat meliput tragedi bukan hanya soal helm atau rompi antipeluru, tetapi juga tentang kesiapan dan dukungan untuk kesehatan mental jurnalis.
Tanpa upaya sistematis, baik oleh individu maupun redaksi, untuk meminimalkan risiko psikologis, kita berisiko kehilangan mereka yang menjadi saksi kunci di balik setiap kabar penting.
Baca Juga: Framing Berita Demo: Bagaimana Media Membentuk Persepsi Publik?
Menurut publikasi “Safety of Journalists Covering Trauma and Distress: Do No Harm” oleh ex-jurnalis BBC London Jo Healey, yang diterbitkan UNESCO, ada langkah-langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk menjaga diri tetap waras di tengah kekacauan.
Sama seperti menyiapkan kamera atau catatan, persiapan mental juga krusial. Latihan mindfulness, meditasi, atau yoga terbukti membantu memperkuat ketahanan emosional.
Jurnalis juga disarankan membangun support system atau sistem dukungan sosial, baik dari keluarga, teman, maupun rekan kerja. Dukungan ini bisa menjadi fondasi saat menghadapi tekanan di lapangan.
Di lokasi tragedi, jurnalis harus tetap fokus pada tugas dan menjaga stabilitas emosi. Teknik pernapasan atau grounding dapat membantu menenangkan diri.
Selain itu, jika memungkinkan, lakukan liputan dengan rekan kerja lain. Saling bercerita dan memberi dukungan saat bertugas dapat meningkatkan daya tahan terhadap stres.
Baca Juga: Bagaimana Jurnalis Dapat Mencapai Work Life Balance agar Terhindar dari Burnout
Setelah kembali dari lapangan, beri waktu bagi tubuh dan pikiran untuk pulih. Olahraga seperti lari atau berenang bisa membantu melepaskan ketegangan.
Menulis jurnal pribadi juga bermanfaat sebagai media refleksi, terutama jika jurnalis tidak nyaman langsung bercerita ke orang lain. Yang terpenting, jangan abaikan sinyal tubuh dan pikiran.
Bila perlu, konsultasi dengan profesional kesehatan mental.
Perlindungan saat meliput tragedi bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga organisasi media. Redaksi sebaiknya memberikan waktu istirahat yang cukup bagi jurnalis yang baru saja menjalankan liputan berat.
Jangan langsung menugaskan jurnalis pada liputan baru, terutama yang juga mengandung unsur tekanan emosional.
Selain itu, akses ke layanan konseling atau sesi debriefing harus tersedia dan tidak dianggap tabu.
Media yang sehat adalah media yang peduli pada orang-orang di balik beritanya.
Perlindungan saat meliput tragedi mencakup lebih dari sekadar perlengkapan fisik. Ia juga menuntut kesiapan mental, dukungan emosional, dan kebijakan redaksi yang peka.
Jurnalis sebaiknya melakukan persiapan mental sebelum bertugas, menerapkan teknik grounding saat di lapangan, serta menjalani proses pemulihan dan refleksi pasca-liputan. Akses ke layanan konseling atau sesi debriefing menjadi langkah penting untuk menjaga kesehatan batin.
Kebijakan redaksi yang memberi waktu istirahat dan dukungan berkelanjutan akan memastikan perlindungan saat meliput tragedi menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik jurnalistik yang manusiawi.