Dalam wawancara bagian ketiga dan terakhir dengan RadVoice Indonesia, David Andreas membagikan ilmu jurnalisme televisi bagi para praktisi jurnalistik maupun humas yang ingin mengeksplor bidang ini.
Apa sajakah strategi menjadi profesional jurnalisme televisi? Berikut selengkapnya.
David, jurnalis TVS (sebelumnya TV Sarawak) di Jakarta sejak 2022, memaparkan alur kerja jurnalisme televisi, fungsi biro (kantor di negara tempat peliputan), serta cara menjadi wartawan serbabisa.
Baca juga pengalaman David bekerja sebagai jurnalis media Malaysia yang bertugas untuk meliput Indonesia dan konsistensinya dalam menghasilkan berita berimbang.
“Kalau ada acara, hal paling pertama yang saya lakukan itu riset. Kita mau ngapain nanti, ya? Riset agar kita paham bagaimana mengeksekusinya.
“Saya bertugas sebagai wartawan all-rounder: mengambil gambar untuk TV, video juga. Kita sebelumnya langsung mencari tahu bagaimana melakukan peliputan. Bagian ini, videonya seperti ini, angle-nya seperti ini. Interview dengan narasumber juga dilakukan.
“Dari interview itu, baru kita buat angle dari pernyataan yang ada. Baru kita bikin beritanya, bikin naskahnya. Tapi saya biasanya selesaikan editing foto dan video terlebih dahulu, soalnya itu benar-benar menguras waktu. Itu bisa sampai tengah hari.
“Saya berpacu dengan waktu karena di Malaysia itu sejam lebih awal dari Indonesia. Terus kita ada waktu tayang. Paling tidak, pukul 5 sore waktu Jakarta sudah harus beres semua.
“Pertama, saya beres mengedit gambar sendiri. Kita bikin cutlist (daftar video yang telah diedit), lalu kita pilih soundbite (rekaman suara). Tidak lupa juga script berita.
Baca juga: Pengalaman dan Kesulitan Jurnalis TV menurut Sandra Insana Sari
“Namun script untuk TV dan website itu berbeda. Itu benar-benar seperti kerja dua kali. Semuanya dikerjakan. Awal-awal memang berat, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa.
Flow-nya seperti itu: riset, eksekusi, interview. Lalu, masuk ke proses post-production atau penyuntingan. Sampai yang terakhir banget itu voice over. Saya kemudian mengirimkan versi siap tayang di televisi. Tinggal tunggu tayang. Nanti saya juga mengedit video itu untuk di website.”
“Kepala biro itu seperti kepala pemerintah di wilayah tersebut, tapi ia bukan kepala perusahaan. Kalau media saya, saya di sini seorang diri. Saya menjadi kepala biro sekaligus reporter. Semuanya dikerjakan sendiri. Mungkin media lain punya kepala biro dan beberapa reporter. Menurut saya, kepala biro itu jadi wakil pemerintah di sini. Ia mengepalai fungsi editorial dan manajemen setempat.
“Kalau koresponden, kita berkontribusi untuk mengirimkan berita dari Indonesia untuk ditayangkan di negara media kita berada.”
Publikasikan perusahaan Anda di berbagai media online Indonesia sekarang! Hubungi RadVoice.
“Asah kemampuan dan harus jelajahi potensi diri.
“Kita harus tetap belajar dan terus belajar. Segala sesuatu tidak ada patokannya. Misalnya, seperti mengambil video. Kalau saya tidak terus belajar, mungkin orang lain akan bosan melihat gambar saya karena begitu-gitu saja.
“Bagaimana belajarnya? Melihat referensi soal angle yang bagus. Kemampuan editing juga harus diasah agar paham tone atau warna yang enak dilihat seperti apa. Angle yang enak dilihat itu seperti apa.
“Untuk TV, ya, harus mengeksplor lebih lagi. Tidak bisa stuck di situ saja. Pikirkan bagaimana komposisi video itu agar tetap layak untuk tayang di TV. Misalnya, ditambah standupper (reporter berdiri tegak sambil berbicara menghadap kamera) atau soundbite yang istimewa. Kuncinya: terus beradaptasi dan belajar.”
Wawancara dengan David Andreas dilakukan pada Senin, 15 Juli 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.