Hartifiany Praisra (Fifi), jurnalis sepak bola TvOneNews.com, berhasil mendobrak stigma bahwa cabang olahraga tersebut hanya untuk pria.
Fifi membuktikan bahwa seiring berkembangnya waktu, semakin banyak perempuan yang berhasil menembus batasan tersebut.
Membangun Karier Jurnalis di Dunia Olahraga yang Didominasi Laki-laki
Dalam wawancara dengan RadVoice Indonesia, Fifi berbagi cerita perjalanan kariernya, termasuk tantangan yang dihadapinya sebagai jurnalis sepak bola.
Bagaimana Anda memulai pengalaman sebagai jurnalis sepak bola, yang dianggap sebagai dunia yang didominasi isu laki-laki?
“Sebenarnya, terjun liputan olahraga itu bisa dibilang ‘kecelakaan’. Sebagai anak baru di kantor, benar-benar harus sudah siap ditempatkan di mana saja, termasuk tiba-tiba cover isu olahraga.
“Pertama kali liputan itu Maret 2018, harus cover Persib. Awalnya merasa aneh mengapa klub Liga 1 yang khusus ada wartawannya, kok, Persib saja. Tapi, lama-kelamaan tahu kalau ternyata Persib itu ‘seksi’.
“Berita ‘sereceh’ apa pun, even cuma latihan apa hari ini, tetap akan menarik perhatian orang.
“Sempat merasa kosong, canggung. Banyak jurnalis yang background awalnya adalah suporter, jadi mereka sudah ‘fasih’ dengan Persib, berbeda dengan saya yang belum paham banget.
“Selain itu, banyak juga jurnalis yang sudah lama banget di desk sama, bahkan sampai sepuluh tahunan.”
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi sebagai jurnalis perempuan yang meliput sepak bola?
“Tantangan terbesar itu bukan soal digodain atau dilecehkan, tapi justru karena pengetahuan soal olahraga itu nol besar. Saat itu, saya sama sekali nggak bisa membedakan mana offside dan onside.
“Tapi, saya ngerasa kalau nol pengetahuan itu bakal lebih objektif dalam melihat suatu isu. Saya bisa kritis karena konteksnya bukan sebagai suporter bola seperti wartawan senior lainnya, yang memang sudah suka sama klub tertentu.
“Tantangan lainnya, lebih ke penulisan. Menulis berita tentang sepak bola itu seperti menulis berita entertainment, tapi dibalut politik dan bahkan bisa sampai ke ekonomi. Bahkan, kadang ada sisi kriminalnya.
“Jadi, bagaimana kita bisa mengemas tulisan yang multi-issue, kompleks, namun dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat itu challenging. Artikel sepak bola atau olahraga secara keseluruhan harus bisa ada konteks edukasi yang tetap menghibur.”
Baca juga: 3 Tips Menulis Artikel Olahraga, Salah Satunya Harus Netral!
Apa momen tidak terlupakan selama menjadi jurnalis sepak bola?
“Ada momen di mana saya pernah disinggung sama orang lain. Dia menganggap perempuan itu hanya tahu pemain bola yang cakep, padahal tidak semua begitu.
“Satu kejadian yang paling membekas ketika saya sempat salah bertanya ke narsum sampai diremehkan di hadapan orang banyak.
“Waktu itu saya salah baca statistik, jadi salah mengajukan pertanyaan. Di depan teman-teman wartawan, saya diremehkan dan pastinya kena mental.
“Tapi, akhirnya tersadar kalau statistik di olahraga itu bukan hanya angka atau hiasan, tapi memang memberikan pengaruh besar ke isu yang di-cover.
“Saya juga akhirnya paham, permainan sepak bola bukan tentang menang kalah saja pada akhirnya, tapi bagaimana menyusun strategi di atas kertas.”
Apakah Anda pernah mengalami situasi tidak nyaman saat meliput pertandingan atau konferensi pers?
“Mungkin karena jarang ada perempuan, jadi situasi tidak nyaman itu ada pas disuruh-suruh. Misanya, disuruh transkrip, diminta jadi seksi konsumsi pas pertandingan.
“Ada juga kejadian di mana ada cowok yang sengaja mendekati untuk mendapatkan bahan. Tapi, saat press conference atau liputan masih dikasih kemudahan dan tidak pernah dilecehkan.”
Bagaimana reaksi pemain, pelatih, atau sesama jurnalis terhadap kehadiran Anda sebagai jurnalis sepak bola?
“Karena lebih banyak pelatih asing, mereka lebih santai. Mereka nggak diskriminasi juga. Begitu pula dengan pemain yang sudah sangat mewajarkan kalau perempuan di desk bola itu sedikit, dan mereka lebih ke profesional.
“Kalau untuk jurnalis, kesenjangan yang lebih dirasa itu karena senioritas, bukan karena gender.”
Kesimpulan
Perjalanan Hartifiany Praisra (Fifi) sebagai jurnalis sepak bola menunjukkan bahwa meskipun tantangannya besar, terutama soal pengetahuan olahraga dan gender, ia menghadapinya dengan ketekunan dan objektivitas.
Keberhasilannya membuktikan bahwa perempuan bisa berkontribusi dalam liputan olahraga dengan perspektif yang berbeda.
Meskipun ada diskriminasi dan ketidaknyamanan, pengetahuan dan profesionalisme menjadi kunci dalam menghadapi tantangan tersebut.