Keseharian Sylvie Tanaga sebagai penulis lepas tidak pernah terpisah dari komunikasi dengan klien, komitmen menghasilkan karya terbaik, serta kebiasaan membaca.
Konsistensi dan ketekunan itulah yang telah membuat Sylvie dipercayakan berbagai penugasan. Beberapa proyek tersebut di antaranya biografi dr. Lie Dharmawan (penggagas doctorSHARE/Yayasan Dokter Peduli) dan Almh. Yanti Radjagukguk (ibu Ps. Alvi Radjagukguk).
Baca juga: Selama Menulis Biografi, Inilah Proses yang Sylvie Tanaga Jalani
Selain itu, penulis lepas yang berbasis di Bandung ini juga pernah menulis untuk berbagai media seperti The News Lens International di Taiwan dan TODAY Online di Singapura.
Sylvie menjelaskan kepada RadVoice Indonesia tips-tips terbaik bernegosiasi dengan klien, menceritakan kisah yang berdampak, serta meraih manfaat membaca buku dalam penulisan.
Sebagai penulis lepas, bagaimana Anda bernegosiasi dengan klien agar kedua pihak sama-sama diuntungkan?
“Tidak semua buku biografi saya tulis berdasarkan permintaan klien. Ada yang saya tulis atas keinginan saya sendiri, ada juga permintaan dari klien.
“Untuk buku biografi permintaan klien, biasanya saya akan mencari tahu dulu apa tujuan dari pembuatan buku. Apakah untuk keperluan acara, nostalgia, permintaan dari institusi lain, mengejar momentum tertentu, atau memang ingin sungguh-sungguh mengabadikan riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran tokoh yang bersangkutan?
“Lalu, siapa target pembacanya? Untuk kalangan sendiri atau umum? Siapa yang disasar? Orang-orang yang seusia dengan si tokoh atau anak muda? Dari kalangan seperti apa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat menentukan cara sebuah tulisan akan disajikan, mulai dari aspek non-teknis (gaya bahasa, konten dan konteks) maupun teknis (tebal halaman, ukuran, dan jenis huruf).
“Jika penulis dan klien sudah sepakat dengan tujuan penulisan dan target audiens, langkah selanjutnya adalah menyepakati timeline yang paling masuk akal bagi kedua belah pihak.
“Selanjutnya, penulis dan klien perlu menyepakati kontrak legal (MoU) berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
“Selain timeline dan cara kerja, isi kontrak juga menyepakati detail urusan pendanaan operasional dan pembayaran jasa dengan tenggat waktu yang jelas. MoU inilah yang akan menjadi pegangan utama bagi kedua belah pihak selama berlangsungnya proses penulisan buku.”
Bagaimanakah menulis kisah human interest yang berdampak positif dan inspiratif bagi pembaca?
“Hal utama yang perlu kita sadari adalah tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang sempurna, seberapa hebat pun kelihatannya.
“Untuk itu, idealnya kisah human interest ditulis secara jujur, termasuk jika tokoh yang bersangkutan pernah berbuat kesalahan atau kekeliruan.
“Narasi yang jujur justru akan lebih relevan ketimbang menampilkan tokoh dalam dimensi tunggal kehebatannya saja.
“Apakah akan berdampak positif atau inspiratif, kembali lagi pada interpretasi para pembaca itu sendiri. Penulis tidak bisa mendiktekan dampak atau relevansi bagi para pembacanya.
“Tetapi jika penulis dan tokoh yang ditulis sepakat mengedepankan kejujuran dalam menarasikan proses jatuh bangun, termasuk mengakui kekeliruan, alih-alih menggurui dengan kisah sukses semata, saya rasa dampaknya akan lebih nyata dan relevan bagi pembaca dari berbagai latar belakang.”
Bagaimanakah Anda menghindari perasaan perfeksionis sembari mencintai proses berkarya?
“Timeline yang disepakati dalam MoU adalah panduan paling dasar untuk menjaga kedisiplinan, sekaligus wasit yang memberitahu kapan sebuah tulisan harus selesai. Kesepakatan tenggat waktu ini penting sekali diperhatikan sekalipun saya belum merasa benar-benar puas.
“Sebagai penulis yang cenderung punya perasaan perfeksionis, saya sendiri perlu kerap mengingatkan diri bahwa tidak ada karya yang sempurna. Penulis bukan pemain tunggal sebuah buku. Saya juga harus menghargai peran editor, juga para pembaca buku ini nantinya.
“Mengingat pengalaman sejumlah narasumber yang mendadak tutup usia sebelum buku terbit, saya jadi sadar bahwa elemen yang sesungguhnya paling penting dalam penulisan buku adalah waktu.
“Kesadaran bahwa tidak ada karya yang sempurna dan limitasi waktu inilah yang selalu membantu saya mengerjakan karya sebaik-baiknya tanpa ribet memikirkan apakah sudah sempurna atau belum.
“Bagaimana seorang penulis lepas dapat selalu mencintai pekerjaannya adalah sebuah misteri yang tidak bisa saya jawab dengan sederhana. Idealnya, seseorang akan mencintai pekerjaannya jika karyanya dihargai dengan baik dan ia bisa hidup layak darinya.
“Passion atau panggilan hidup adalah kata yang paling sering digunakan, tapi saya tahu bahwa perkaranya seringkali tidak sesederhana itu. Passion bisa menjadi beban ketika kita tidak mendapat ruang yang cukup untuk mengekspresikan idealisme.”
Anda gemar membaca, terlihat dari buku-buku yang Anda ulas di Instagram. Karya seperti apakah yang membuat Anda terinspirasi?
“Sulit bagi saya untuk menyebut satu-dua judul atau satu-dua nama penulis saja.
“Pada dasarnya, saya menyukai tulisan apa pun yang kontennya menarik dan mendobrak, fiksi maupun non-fiksi. Saya menyukai buku-buku yang bisa memancing pemikiran kritis, tidak Jawa-sentris, dan menghargai perempuan.
“Saya menyukai buku-buku yang ditulis dengan luwes. Buku-buku semacam ini sangat membantu saya mengembangkan tulisan yang lebih inklusif.
“Kebiasaan membaca sangat memengaruhi bagaimana cara saya menulis.
“Saya tidak mungkin menjadi penulis tanpa lebih dulu menjadi seorang pembaca.”
Baca juga: 7 Tips Content Writing untuk Pemula, Salah Satunya Harus Rajin Membaca!
Wawancara dengan Sylvie Tanaga dilakukan pada Rabu, 3 April 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.