“Tandain tuh wartawannya. Bikin berita palsu, nggak berkah hidupnya!”
Saya tersenyum kecut membaca salah satu komentar yang masuk ke notifikasi akun Instagram.
Sejak malam sebelumnya, notifikasi komentar tak berhenti masuk. Mungkin puluhan, atau bahkan ratusan komentar dari akun yang tak saya kenal menuliskan caci maki dan sumpah serapah ke akun Instagram yang sudah saya gembok rapat-rapat.
Sampai ada satu akun Instagram yang dengan sengaja mengunggah foto saya di akun pribadinya untuk sekadar melontarkan hinaan.
Saya bergidik ngeri dan cepat-cepat menutupnya.
Pengalaman Dirujak Netizen
Pengalaman dirujak netizen saat menjadi jurnalis enam tahun lalu itu masih selalu membekas di ingatan. Makian dan kata-kata kasarnya pun masih saya ingat meski sudah berusaha keras melupakannya.
Peristiwa itu bermula ketika saya dituduh membuat berita bohong soal sosok gubernur yang tak melarang perayaan Valentine di wilayahnya.
Baca juga: Dilema Saya di Tengah Bias Liputan Politik

Saya menuliskan berita itu sesuai fakta. Rekaman kutipan dari sang gubernur pun lengkap saya kantongi. Bahkan bukan hanya saya yang menuliskan berita itu, tapi juga teman-teman media lain.
Begitu berita dipublikasikan dan dibagikan di media sosial, berita itu pun ramai dikomentari netizen. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak.
Netizen yang menolak inilah yang kemudian menuduh saya salah mengutip ucapan gubernur.
“Nggak mungkinlah gubernur mengizinkan. Jurnalis hoaks!”
“Dibayar siapa nih wartawan, bikin berita ngawur!”
Habis sudah akun saya dirujak netizen.
Awalnya saya hanya menganggap komentar-komentar itu sebagai candaan. Namun, lama kelamaan jumlahnya bertambah dan mulai menyerang akun Instagram pribadi saya. Bahkan ada yang mengirim pesan berisi ancaman.

Saya duga mereka menelusuri nama saya yang terpampang jelas sebagai penulis artikel untuk menjadi sasaran kemarahan.
Mereka pun dengan mudah menemukan nama saya di akun Instagram, akun X yang saat itu masih bernama Twitter, hingga Facebook.
Kemarahan netizen semakin menjadi-jadi ketika tim gubernur meralat berita tersebut dan meminta media untuk mempublikasikannya.
Tim mereka bilang, gubernur melarang perayaan apa pun dan mengoreksi ucapan sebelumnya.
Ah, sial. Batin saya saat itu.
Biarpun begitu, pengalaman saya tidaklah unik. Dari data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) yang dipublikasikan Harian Kompas pada 23 Desember 2020, jurnalis dan aktivis menjadi dua kelompok dengan kerentanan tinggi terhadap doxing, yakni pembongkaran serta penyebaran data pribadi.
Sepanjang 2018-2020, SAFENet mencatat 18 kasus doxing yang melibatkan 23 korban. Kebanyakan kasus menyasar jurnalis dan aktivis.
Baca juga: Framing Berita Demo: Bagaimana Media Membentuk Persepsi Publik?
Beruntung media tempat saya bekerja saat itu memahami dan mau melindungi saya dari serangan netizen.
Editor saya pun mengatakan bahwa berita yang saya tulis sudah benar dan sesuai standar. Hanya saja, reaksi netizen memang sering kali tak bisa dikendalikan.
Saya diminta mengumpulkan bukti makian kasar dari netizen untuk berjaga-jaga jika tindakan mereka sudah kelewatan.
Belakangan saya juga baru tahu, media tempat saya bekerja memilih untuk tidak lagi menuliskan nama lengkap jurnalisnya demi menghindari hal serupa terulang.

Hampir sepekan saya menonaktifkan notifikasi Instagram dan Twitter. Berusaha tenang, meski dalam hati rasanya marah dan kecewa.
Bukan karena kritik, tapi karena betapa mudahnya orang-orang asing di internet itu melontarkan makian tanpa benar-benar memahami kerja keras di balik sebuah berita.
Mulai dari mewawancarai narasumber, mengumpulkan fakta, hingga mengolahnya menjadi sebuah tulisan.
Mungkin memang harus melewati pengalaman ini untuk memahami, dirujak netizen adalah risiko dari profesi jurnalis yang saya pilih saat itu.
Baca juga: Apa Itu Hak Jawab dan Hak Koreksi di Media?
Peristiwa itu menyadarkan bahwa tidak semua komentar buruk perlu ditanggapi dan tidak semua kritik muncul karena kesalahan yang terjadi. Bisa saja karena sudut pandang pembaca yang berbeda.
Namun, jika saat itu pengalaman dirujak netizen membuat saya terpuruk, saya justru akan kehilangan tujuan utama sebagai jurnalis: menyampaikan fakta yang benar dan berimbang.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa menjadi jurnalis bukan hanya tentang menulis berita, tapi juga menghadapi respons dari beragam pembaca.
Apalagi di era digital saat ini, reaksi publik sudah menjadi bagian dari dinamika jurnalistik yang tak bisa dihindari.