Masa depan media semakin bergeser ke model bisnis berlangganan sebagai strategi utama untuk bertahan di era digital.
Model bisnis ini memungkinkan media mengurangi ketergantungan pada iklan dan lebih fokus pada kualitas konten yang menarik serta bernilai bagi pembaca.
Berbagai media pun telah mengadopsi model ini, termasuk media cetak.
Beberapa di antaranya menawarkan akses terbatas secara gratis sebelum meminta pembaca untuk berlangganan.
Lantas, apakah bisnis berlangganan bisa menjadi solusi bagi masa depan media di tengah persaingan yang semakin ketat?
RadVoice Indonesia menjelaskannya untuk Anda sebagai berikut.
Model Bisnis Berlangganan untuk Media Masa Kini
Mengutip dari Harian Kompas, industri media cetak di dunia kini mulai mengalami penurunan pendapatan.
Penyebabnya berasal dari pendapatan iklan yang semakin berkurang, sementara pendapatan iklan di media digital belum dapat diandalkan.
Oleh karena itu, media cetak mulai menerapkan model bisnis berlangganan demi bertahan.
Baca juga: Indira Rezkisari Berbagi Cerita Transformasi Digital Republika dari Media Cetak ke Platform Online

Dengan cara ini, pembaca harus membayar sejumlah uang untuk dapat mengakses seluruh layanan informasi di situs berita.
Umumnya, layanan ini menawarkan berita tanpa gangguan iklan dan pembaca memperoleh sajian khusus, yang kerap disebut konten premium.
Penerapan Model Bisnis Berlangganan
Sejumlah media besar internasional telah menerapkan model bisnis berlangganan. Sebut saja The New York Times yang sukses dengan berita berbayar.
Upaya untuk beradaptasi dengan model ini terbukti menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Dari survei Reuters Institute yang diterbitkan pada 2020, tingkat pengguna yang memanfaatkan model bisnis berlangganan di Amerika Serikat dan Inggris mencapai 20 persen dari 4.500 responden.
Jumlah pelanggan berbayar saat itu bahkan meningkat sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada periode pertama.

Sementara di Indonesia, harian Kompas termasuk salah satu media yang menerbitkan edisi digital berbayar melalui Kompas.id sejak 2017. Selain itu ada pula Kumparan, Tempo, dan Katadata.
Harian Kompas menyebut bahwa melalui langganan berbayar ini, konten-konten yang diterbitkan pun lebih variatif. Terdapat liputan investigasi, jurnalisme data, opini, riset, dan sebagainya.
Sementara untuk langganan berbayar Kumparan, yang disebut Kumparan+, tak menitikberatkan pada konten hard news, melainkan lebih ke pengembangan diri.
Konten-konten seperti opini, fiksi, laporan khusus, hingga hiburan menjadi fokus Kumparan+.
Menjaga Kualitas Jurnalisme
Berdasarkan survei Reuters Institute, sebagian besar pengguna di Amerika Serikat memilih langganan berbayar karena ingin menjaga kualitas jurnalisme yang mereka dapatkan dengan cara membayar.
Pembeda dengan konten atau pemberitaan yang dibagikan secara gratis juga menjadi salah satu faktor pendorong model bisnis berlangganan ini banyak diminati, khususnya di luar negeri.

Harian Kompas menjelaskan bahwa The New York Times, sebagai media dengan pelanggan digital terbesar di dunia menawarkan sejumlah alasan untuk berlangganan.
Alasan-alasan tersebut di antaranya liputan luas dari 140 negara, jurnalis yang selalu hadir di setiap peristiwa di dunia, hingga setiap cerita membawa masuk ke peristiwa yang lebih dalam.
Sementara belum ada penelitian spesifik mengenai model bisnis berlangganan bagi media di Indonesia. Namun beberapa media yang menerapkannya telah menawarkan konten eksklusif dan analisis mendalam dalam konten-kontennya.
Selain itu, perubahan perilaku pembaca yang diyakini semakin menghargai kualitas dan kredibilitas berita juga mendorong pergeseran ini.
Tantangan dan Masa Depan Model Bisnis Berlangganan
Tantangan dari model bisnis berlangganan adalah menarik dan mempertahankan pelanggan di tengah melimpahnya konten gratis di internet.
Banyak pembaca masih enggan membayar untuk berita, terutama jika mereka dapat mengakses informasi serupa dari sumber lain tanpa biaya.
Di sisi lain, tidak semua orang bersedia mengalokasikan anggaran khusus untuk berlangganan berita.

Mengutip The Conversation, media-media besar seperti Kompas dan Tempo yang memiliki pembaca loyal diyakini relatif lebih mudah beralih menjadi pelanggan berbayar.
Media tersebut juga memiliki sumber daya yang memadai untuk menghasilkan berita berkualitas.
Ke depan, model bisnis berlangganan akan tetap diminati.
Akan tetapi, media harus bisa menjaga keterlibatan pelanggan dengan konten yang update dan relevan di tengah persaingan model bisnis ini.
Tak hanya terbatas pada artikel berita, media bisa mulai menawarkan newsletter, podcast premium, video dokumenter, dan sebagainya.
Model seperti ini bisa meningkatkan loyalitas pembaca dan memperluas sumber pendapatan.
Kesimpulan
Model bisnis berlangganan menjadi strategi utama bagi industri media untuk bertahan di era digital, terutama karena penurunan pendapatan iklan.
Sejumlah media internasional, seperti The New York Times, serta media di Indonesia, seperti Kompas, Tempo, dan Kumparan, telah menerapkannya dengan menawarkan sejumlah konten eksklusif.
Meskipun model ini dapat menjaga keberlanjutan media, mempertahankan pelanggan di tengah banyaknya konten gratis menjadi salah satu tantangan.
Untuk menghadapinya, media perlu berinovasi dengan format berbayar yang lebih beragam.