Pantau Hoaks konsisten mengedukasi para klien dan audiensnya untuk mengidentifikasi hoaks melalui media sosial maupun lokakarya sejak organisasi tersebut diluncurkan tahun lalu.
Dalam konten Instagram yang diunggah pada 14 Maret, misalnya, Pantau Hoaks memaparkan lima red flag konten hoaks. Postingan menyesatkan umumnya memiliki “judul dan caption mencengangkan”, “konten nggak nyantumin sumber terpercaya”, “isinya ‘too good to be true‘”, “isinya ‘too bad to be true‘”, serta “visualnya keliatan hasil pelintiran”.
Hal ini pun diperparah dengan echo chamber atau ruang gema. “Berada dalam lingkungan interaksi yang saling sepaham bisa bikin runyam saat disusupi hoaks,” tulis Pantau Hoaks dalam postingannya yang di-upload pada 26 Januari.
Menguasai cara-cara mengidentifikasi hoaks menjadi semakin penting, mengingat ancamannya yang semakin luas di seluruh dunia. World Economic Forum menemukan dalam Global Risks Report 2024-nya bahwa “ancaman misinformasi dan disinformasi diidentifikasi sebagai ancaman jangka pendek yang paling parah”.
Karena itu, mengidentifikasi hoaks di media sosial maupun kanal-kanal online lainnya menjadi kemampuan yang penting untuk dikuasai oleh segala kalangan.
Mengidentifikasi Hoaks Bersama Pantau Hoaks
Moses Parlindungan Ompusunggu, co-founder dan direktur pelaksana Pantau Hoaks, memberikan pandangannya terkait isu ini dalam bagian kedua dan terakhir wawancaranya dengan RadVoice Indonesia.
Sebelum menjalankan Pantau Hoaks, Moses merupakan wartawan periksa fakta Agence France-Presse di Jakarta.
Baca juga: Pentingnya Informasi Faktual dalam Tulisan Moses Parlindungan Ompusunggu
Apakah hoaks terunik yang pernah Anda temukan di dunia maya? Bagaimanakah Anda mengidentifikasi hoaks tersebut?
“Sangat banyak, ya. Sebagai contoh: sebuah video yang menyebar tahun lalu dan diklaim menunjukkan kampanye akbar seorang calon presiden di Kalimantan.
“Setelah ditelusuri, ternyata itu agenda kumpul-kumpul organisasi otomotif di Yogyakarta, di halaman Stadion Maguwoharjo, Sleman.
“Cara membuktikannya adalah dengan memakai teknik geolocation.
“Jadi, kita mencocokkan beberapa tanda di video dengan data-data visual yang ada di internet, seperti foto-foto terdahulu, citra satelit, hingga citra peta di Google Maps.
“Lalu, saya juga melakukan pencarian gambar terbalik (reverse image search) untuk mencari tahu sumber asli video dan kapan video tersebut diunggah untuk pertama kali di internet.”
Faktor-faktor apa sajakah yang membuat hoaks menjamur di Indonesia?
“Ini masih perlu diteliti secara komprehensif, ya. Jika kita mau bicara soal Indonesia, kita tidak bisa melupakan kenyataan soal keberagaman yang ada di negara ini.
“Dari mulai aspek budaya, adat istiadat, kemelekan informasi, hingga pendidikan. Mungkin ke depannya sangat perlu ada data riset yang pasti soal faktor-faktor ini, dengan mempertimbangkan jenis-jenis keberagaman yang saya sebutkan di atas.”
Apakah perbedaan misinformasi dan disinformasi? Segawat apakah fenomena ini?
“Secara konseptual, misinformasi merujuk ke informasi menyesatkan yang kita sebar tapi tidak kita sadari bahwa itu salah. Kalau disinformasi, ya, informasi sesat yang memang dari awal dirancang untuk menyesatkan dan merusak.
“Pada kenyataannya, sulit untuk menentukan apakah sebuah konten menyesatkan itu misinformasi atau disinformasi.
“Soalnya, kita harus memastikan intensi penyebarannya. Tetapi, biasanya kalau bentuknya masif dan terorganisir, itu bisa jadi tanda-tanda adanya kampanye disinformasi.
“Soal kegawatan, saya bakal bicara dari tingkat global dulu, ya, baru masuk ke konteks Indonesia. Alasannya, ini fenomena mendunia, yang tidak terjadi di negara tertentu saja.
“Lebih baik data yang berbicara mengenai hal ini. Begini kira-kira.
“Versi World Economic Forum, untuk 10 tahun ke depan, misinformasi dan disinformasi adalah risiko global nomor 5. Nomor 1-4 adalah risiko di bidang lingkungan hidup.
“85% netizen global mengkhawatirkan dampak-dampak keberadaan hoaks, berdasarkan survei UNESCO pada September 2023. Salah satu negara yang disurvei adalah Indonesia.
“Di Indonesia sendiri, 71% masyarakat setuju bahwa hoaks atau berita menyesatkan di internet itu adalah masalah serius, berdasarkan Status Literasi Digital Nasional 2022 dari Kemenkominfo.
Baca juga: 3 Tips Fact Check Tulisan, Kenali Sumber Berita!
“Di saat bersamaan, hanya 7% masyarakat Indonesia yang benar-benar percaya diri akan kemampuannya mengidentifikasi apakah konten yang mereka dapatkan itu hoaks atau bukan.
“Hanya 9% masyarakat Indonesia yang terbiasa membandingkan sumber-sumber informasi untuk menentukan kebenaran dari konten yang mereka dapatkan.”
Wawancara dengan Moses Parlindungan Ompusunggu dilakukan pada Rabu, 26 Juni 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.