Di tengah derasnya arus informasi, melatih rasa kritis pada anak harus dimulai sedini mungkin. Salah satu upayanya yaitu melalui komunitas kelas jurnalis cilik.
Jurnalis foto RRI Syamsudin Ilyas, inisiator kelas jurnalis cilik, menjelaskan, motivasinya membentuk komunitas ini berangkat dari keresahan melihat berita yang tidak berimbang mengenai wilayah dia tinggal di Pesisir Cilincing, Jakarta Utara.
Wilayah tersebut selama ini dikenal sebagai daerah yang tertinggal dan lekat dengan premanisme.
Berbekal pengalaman sebagai foto jurnalis di media dan mosal dari program beasiswa Permata Photo Journalist Grant, Ilyas ingin menggali cerita positif dari kawasan kampung nelayan tersebut.
Kepada RadVoice Indonesia, Ilyas menceritakan soal membentuk wadah melalui kelas jurnalis cilik agar ada berita positif tentang kampung halamannya di Cilincing. Berikut selengkapnya.

Melatih rasa kritis pada anak lewat fotografi. (Semua foto oleh Syamsudin Ilyas)
Kelas Jurnalis Cilik Dimulai di Tahun 2018
Pada tahun 2018 Ilyas memulai kelas pendidikan jurnalistik untuk anak usia sekolah dasar dan SMP di wilayah Cilincing, tanpa pungutan biaya. Program berlangsung selama empat bulan, masing-masing dua bulan diisi dengan teori dan praktik.
Pada bulan pertama, murid diberi teori penulisan dan reportase. Di bulan kedua, kelas diisi dengan materi tentang dasar fotografi. Di bulan ketiga dan keempat, peserta melakukan hunting ke lapangan.
Anak-anak berburu materi liputan, melihat lingkungan sekitar dengan mempraktikkan 5W1H. Lalu mereka kembali ke kelas, mencatat apa yang dilihat dari pantauan mata.
Untuk fotografi, pada praktik awal mereka menggunakan kamera kardus yang dilubangi sekitar 5cm. Lalu mereka berburu ‘foto’ ke lapangan untuk memotret lingkungan sekitar.
Setelah kembali ke kelas, mereka menggambar apa yang dilihat dan mempresentasikannya. Kamera digital akan digunakan untuk membingkai foto yang akan disertakan di dalam pameran.
“Timbul pertanyaan kok begini, begitu? Kenapa kerang hijau yang dibuang, tidak digunakan? Di fotografi pun demikian. Hal-hal itu yang sedikit-sedikit menimbulkan jiwa kritis terhadap anak-anak,” kata Ilyas.
Program ditutup dengan pameran fotografi dan pelelangan karya di bulan kelima. “Hasil pembelajaran mereka selama 4 bulan dibuktikan dengan foto jurnalistik,” kata Ilyas.
Baca juga: Bagaimana Memahami Batasan AI di Karya Jurnalistik Menurut Direktur SAFEnet Nenden Sekar Arum

Kelas jurnalis cilik dilakukan di Kampung Nelayan, Jakarta Utara
Pentingnya Menumbuhkan Rasa Kritis pada Anak Sejak Dini
Ilyas mengatakan, rasa kritis pada anak memang perlu dilatih sejak dini. Ketika seorang anak belajar jurnalistik, dia akan belajar melihat sesuatu itu tidak dari satu sisi saja. Ada bagian lain yang harus dilihat.
Metode penulisan dengan dasar 5W1H dan reportase diajarkan dari hal-hal yang mudah dicerna murid. Sebelum mengambil sebuah gambar atau momentum, anak-anak harus mengenal dulu orang-orang atau objek-objek di sekitarnya.
“Ketika mengenal, mereka harus menggunakan dasar 5W1H dengan akronim Adiksimba,” kata Ilyas.
Adiksimba adalah akronim yang mewakili enam jenis pertanyaan dasar yang digunakan untuk menggali informasi. Kata-kata tersebut adalah “apa,” “di mana,” “kapan,” “siapa,” “mengapa,” dan “bagaimana”.
Rasa kritis itu hadir ketika anak-anak melakukan wawancara. Banyak pertanyaan yang muncul atas rasa penasaran tentang mengapa satu hal terjadi.
“Dari metode itu, timbul pertanyaan-pertanyaan kritis. Saat di pameran, akan ditampilkan karya-karya dari yang telah mereka tangkap di lingkungan, berupa foto dengan narasi,” kata Ilyas.
Dia tekankan, metode 5W1H akan bermanfaat di kehidupan sehari-hari di luar kelas jurnalis cilik. Dengan cepatnya arus informasi melalui gadget, anak-anak bisa belajar menyaring kabar yang benar dan bohong.
“Ketika banyak penyebaran berita hoax, pakai metode 5W1H. Saya bilang, pokoknya teman-teman, ketika sebuah berita tidak ada sumber yang jelas, lokasinya dimana, tanggalnya tidak ada, jangan disebar,” kata Ilyas.
Baca juga: Pahami 5 Etika Wawancara Narasumber Secara Tertulis
Tantangan Mengajarkan Jurnalistik pada Anak
Meski program kelas jurnalis cilik tidak berbayar, tantangan di lapangan tetap hadir.
“Kita sudah berkoordinasi dahulu ke masyarakat setempat, bahwa akan mengadakan pendidikan jurnalistik. Di awal, banyak yang menentang. Orang tuanya bilang kenapa tidak diajarkan mengaji. Tapi kita bukan ustadz. Kami mengajar siar sesuai sama basic yang dimiliki,” kenang Ilyas.
Selain itu, beberapa pejabat lokal di wilayah Cilincing, Jakarta Utara juga merasa tersentil pada pameran foto hasil karya murid kelas jurnalis cilik.
Anak-anak memotret limbah, sampah, apapun yang ada dihadapannya. Hasil foto tersebut rupanya mengusik pemerintah Jakarta Utara.
Ilyas cerita, tidak jarang ada sidak oleh pihak kelurahan, setiap sebelum pameran. Mereka meminta agar foto yang kritis tidak ditampilkan di hadapan Wali Kota Jakarta Utara.
“Kalau ada foto yang kritis dari anak-anak seperti kambing makan sampah, saya dipanggil diminta untuk jangan dipajang. Saya jawab tidak bisa. Itu murni hasil karya peserta,” kata Ilyas.

Kegiatan kelas jurnalis cilik yang dilakukan di pelabuhan kapal
Baca juga: 7 Soft Skill Saat Mengedit Berita yang Harus Anda Kuasai
Tips untuk Konsisten Menjalankan Program Kelas Jurnalis Cilik
Ilyas juga berbagi tips menjaga konsistensi program komunitas kelas jurnalis cilik, agar terus terselenggara setiap tahun. Menurutnya, hal terpenting yaitu membangun kepercayaan bersama tim. Sebagai pendiri, dia tidak ingin otoriter mengendalikan semua rencana program bagi peserta.
Saling percaya dan terbuka
Ilyas menceritakan untuk pelaksanaan pameran, dia membuka ruang bagi relawan untuk berkontribusi terkait konsep, lokasi, dan material yang dibutuhkan. Sikap ini juga diterapkan kepada tamu praktisi pengajar. Sebab, berjalannya kelas jurnalis cilik membutuhkan jejaring dan relasi dari tiap orang yang terlibat.
“Kita mengundang tamu, materi dari mereka. Kami bangun kepercayaan dengan pengajar, tim, dan relawan. Sekarang saya bantu di belakang layar. Misalnya konsep pameran tahun ini dan kuratornya belum ada, saya carikan,” kata Ilyas.
Kolaborasi dengan komunitas dan praktisi
Ilyas mengatakan, kelas jurnalis cilik dapat bertahan hingga angkatan ke-8 berkat kolaborasi bersama komunitas lain, akademisi, dan praktisi yang hadir. Kini antar komunitas saling membantu kegiatan. Beberapa kali murid-murid kelas jurnalis cilik berpartisipasi di dalam acara komunitas lain.
“Satu anak diajak oleh Menteri PPA dua tahun lalu, ibu Bintang, untuk meliput kegiatan di Bali. Pada kegiatan selanjutnya, lima anak dibawa ke Semarang untuk pameran foto yang beliau hadiri. Dunia mereka menjadi terbuka luas dari kelas jurnalis cilik ini,” kata Ilyas.
Melihat upaya sebagai bentuk dakwah
Diakui Ilyas, semangat mengajarkan ilmu jurnalistik kepada anak-anak sempat redup di tahun ketiga. Saat itu, dia diingatkan oleh temannya bahwa apa yang dia lakukan adalah dakwah.
“Dia bilang kalau saya sudah membuat siar kepada anak-anak pesisir, berdakwah dalam hal yang kita ahli. Itu yang membangun semangat melaju,” tekad Ilyas.
Kesimpulan
Rasa kritis pada anak perlu dibangun agar anak lebih mengenal objek di sekitarnya. Dengan begitu, anak-anak dapat menyaring informasi yang benar atau hoax. Mereka juga sadar untuk tidak impulsif menyebarkannya.
Metode 5W1H dapat dipakai tidak hanya ketika anak belajar jurnalistik, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari. Adanya kelas jurnalis cilik, menjadi salah satu wadah bagaimana bisa melatih rasa kritis pada anak.
Wawancara dengan Syamsudin Ilyas dilakukan pada Minggu, 2 Juni 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.