Leo Galuh telah bekerja sebagai wartawan media Indonesia dan media asing selama 12 tahun. Menurutnya, perbedaan-perbedaan meliput untuk pers domestik dan internasional teramat nyata, salah satunya dari segi audiens yang beragam.
“Di media nasional, saya hampir setiap hari turun ke lapangan untuk liputan. Sedangkan untuk media internasional, saya tidak perlu setiap hari turun meliput,” ujar Leo.
“Karena itu tadi, kita harus memikirkan target audiensnya. Apakah menarik dan relevan bagi audiens yang menjadi target pasar bagi perusahaan media?” tambahnya.
Leo memulai kariernya sebagai wartawan tvOne, stasiun televisi berita Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan NHK, stasiun televisi publik Jepang, sebelum berpindah bidang menjadi reporter media bisnis intelijen global PaRR yang berbasis di Inggris.
Leo Galuh membagikan perjalanannya meliput untuk media asing dibandingkan dengan media nasional kepada RadVoice Indonesia.
Anda melaporkan dari Indonesia untuk berbagai media asing. Bagaimanakah gambaran profesinya?
“Saya pernah bekerja secara full-time di dua media asing dengan dua format berbeda. Untuk NHK dan PaRR, saya melaporkan dari Jakarta.
“Ketika saya berkarya untuk NHK, saya belajar bahwa tidak semua peristiwa di Indonesia layak liput dan ditayangkan ke penonton di Jepang dan pelanggannya di berbagai negara.
“Kepala biro di Jakarta akan menugaskan saya untuk meriset topik-topik yang menarik perhatian penonton di Jepang. Atau, seiring berjalannya waktu, saya juga bisa inisiatif untuk pitching ke kepala biro di Jakarta.
“Contoh: karya feature pertama saya untuk stasiun televisi berita dari Jepang adalah mengenai pemilik warung makan di tempat pembuangan akhir sampah di Semarang.
“Ia menerima pembayaran dalam bentuk sampah yang sudah dipilah para pemungut sampah. Sebagai imbalan, pemilik warung makan akan memberikan makan siang yang nilainya sama dengan sampah yang sudah dipilah. Feature humanis dan menyangkut lingkungan seperti ini biasanya sering dinikmati oleh penonton di Jepang.
“Contoh lain relevansinya dengan audiens yang lebih luas, bukan hanya Jepang.
“Dari 2016 hingga 2017, bisa dibilang isu-isu terorisme sangat ngetren. Seingat saya, ada mungkin sekitar dua atau tiga laporan in-depth aksi terorisme yang saya laporkan dari beberapa kota di Indonesia. Jakarta, salah satu kabupaten di Jawa Barat, dan sebuah pulau di Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
“Saya sempat diberi kesempatan oleh Tokyo untuk melakukan live broadcast pasca aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu pada 2016.
“Lalu, untuk PaRR, saya menulis berbagai analisis mengenai isu-isu merger & acquisition (M&A), persaingan usaha, dan data privacy.
“Pembacanya umumnya berada di luar Indonesia. Pembaca dari kalangan law firm, pelaku usaha, akademisi, dan lembaga pemerintahan ingin mengetahui secara mendalam seperti apa regulasi berbisnis di Indonesia.
“Tentu saja, mereka sangat ingin comply dengan regulasi dan mencari cara langkah menyesuaikan operasional bisnis di Indonesia.
“Contohnya, ketika saya menulis mengenai Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau populer disebut Omnibus Law. Salah satu angle tulisan yang saya masih ingat adalah bagaimana UU tersebut berdampak pada industri aviasi di Indonesia.”
Anda berkata bahwa berkarya di media asing berarti memiliki “kemewahan waktu untuk riset”. Mengapa demikian? Apakah itu membuat proses peliputan lebih rumit?
“Di media nasional, saya tidak memiliki kemewahan tersebut karena setiap hari harus meliput.
“Umumnya, yang saya alami dan lihat, wartawan media nasional cenderung menerima perintah dari koordinator liputan atau asisten redaktur mereka untuk meliput. Riset dilakukan dalam hitungan jam atau menit. Ini tidak bisa digeneralisir untuk semua media nasional, ya.
“Di media internasional, untuk memproduksi satu tayangan feature dengan durasi tiga menit, saya butuh waktu paling sedikit seminggu atau maksimal dua minggu. Proses riset dan pitch hampir mirip seperti kita mengajukan proposal skripsi. Berulang kali hasil riset dan pitch dikembalikan ke saya untuk ditajamkan dan disempurnakan lagi.
Baca juga: 3 Tips Pitching ke Media Asing, PR Wajib Tahu!
“Awal-awal, sih, berasa kayak lelah mental dan pikiran, ya. Namun lama-lama terbiasa juga. Proses riset dan pitch yang matang akan menghasilkan proses liputan yang efektif dan efisien. Ini kita bicara liputan televisi.
“Untuk liputan teks atau artikel online, paling tidak saya butuh waktu sekitar tiga sampai empat hari untuk riset sampai pitch diterima oleh editor.
“Penyusunan rancangan liputan meliputi angle, narasumber yang terlibat, narasumber alternatif, daftar pertanyaan wawancara, menyiapkan daftar pertanyaan lanjutan atau follow-up, biaya akomodasi liputan, dan ekspektasi foto atau video yang ingin dihasilkan.”
Baca juga: 5 Tips Wawancara Narasumber untuk Artikel Profil, Wajib Diperhatikan!
Apakah yang umumnya media asing ingin ketahui saat Anda mengirimkan berita dari Indonesia?
“Coba kita putar ulang memori sepuluh tahun ke belakang peristiwa yang selalu menarik atensi media asing.
“Terbaru, jelas, Pemilu 2024. Mundur lagi, Pemilu 2019. Makin mundur, Pemilu 2014. Isu-isu politik yang menyangkut pemilihan orang nomor satu di Indonesia menjadi liputan wajib bagi media asing di Indonesia.
“Lalu, isu-isu yang menyangkut hubungan internasional. Misalnya, KTT G20 di Bali pada bulan November 2022, kemudian ASEAN Foreign Ministers’ Meeting (AMM) di Jakarta pada Juli 2023. Indonesia menjadi tuan rumah kedua konferensi tingkat tinggi tersebut.
“Feature-feature humanis yang menyangkut isu lingkungan, perubahan iklim, atau gerakan sosial yang berdampak positif bagi masyarakat juga menarik perhatian media asing.
Baca juga: 3 Manfaat Artikel Feature, Bisa Tingkatkan Brand Awareness
“Contoh: saya pernah bekerja sebagai fixer untuk RAI, stasiun televisi berita dari Italia, untuk meliput dampak buruk industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
“Ini ironis sekali. Di tengah negara-negara berlomba-lomba untuk menerapkan green economy yang berkelanjutan dan mengurangi emisi karbon dengan kendaraan listrik, ternyata proses pengolahan nikelnya merusak alam dan lingkungan.”
Wawancara dengan Leo Galuh dilakukan pada Rabu, 6 Maret 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.