3 Kesalahan Umum Penggunaan AI pada Karya Jurnalistik Menurut Direktur SAFEnet Nenden Sekar Arum

kesalahan umum penggunaan AI

Di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, penggunaan AI atau kecerdasan buatan telah menjadi alat bantu populer dalam berbagai sektor, termasuk dunia jurnalistik.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, penggunaan AI dalam produksi berita masih menyisakan banyak kekeliruan, terutama dalam praktik yang dilakukan oleh para jurnalis.

Nenden berbagi pandangannya dengan RadVoice Indonesia mengenai kesalahan umum penggunaan AI yang sering ditemukan di dunia maya.

Kesalahan Umum Penggunaan AI oleh Jurnalis

Kerap kali kesalahan dalam penggunaan AI tidak disadari oleh para jurnalis, baik yang di lapangan maupun di balik meja redaksi.

Tidak heran, kecanggihan teknologi membuat siapa pun terlena dengannya.

Dari proses ide, eksekusi, publikasi, hingga distribusi berita bisa dibantu dengan AI.

Berikut beberapa kesalahan umum yang sering terjadi pada karya jurnalistik.

kesalahan umum penggunaan AI
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum berpendapat tidak seharusnya AI menggantikan manusia sepenuhnya. (Foto oleh Nenden Sekar Arum)

1. Percaya Buta pada AI Tanpa Proses Verifikasi

Salah satu kesalahan paling umum yang ditemukan adalah kepercayaan berlebihan terhadap hasil yang dihasilkan AI, seperti ChatGPT, tanpa proses pengecekan ulang.

Banyak jurnalis tergoda untuk mengandalkan AI dalam membuat artikel dari prompt yang mereka berikan, tanpa membaca kembali, mengonfirmasi, atau memverifikasi informasi yang dihasilkan.

“Sebab dalam konteks penggunaan generatif AI, kita tinggal kasih prompt, lalu AI akan produksi sendiri artikelnya. Maka, terkadang ada yang terlewat, tidak dibaca ulang, tidak dikonfirmasi dan diverifikasi lagi,” jelas Nenden.

Ketika proses validasi ini diabaikan, risiko kesalahan informasi meningkat tajam. Ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap media dan melemahkan integritas jurnalisme sebagai pilar demokrasi.

Salah satu contoh yang terjadi yaitu foto penyanyi Katy Perry yang viral di media sosial, menunjukkan dirinya hadir di Met Gala 2025. Namun ternyata itu merupakan hasil rekayasa AI.

Katy Perry bahkan memberikan klarifikasi langsung di akun Instagram-nya bahwa dirinya sedang tur dan tidak bisa menghadiri Met Gala. 

2. Potensi Manipulasi dan Pelanggaran Etik

Kesalahan umum penggunaan AI lainnya yang muncul adalah potensi manipulasi konten.

Alasannya, AI dapat “menciptakan” informasi berdasarkan permintaan pengguna.

Maka ada kemungkinan munculnya narasi atau peristiwa yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Ini bisa sangat berbahaya jika digunakan dalam konteks berita.

“Dia bisa bikin apa saja muncul, menciptakan peristiwa yang sebetulnya tidak ada,” kata Nenden.

Ketika berita palsu atau tidak akurat diproduksi oleh AI dan dipublikasikan tanpa pengawasan ketat, hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik.

Bahkan lebih jauh lagi, potensi penipuan terhadap publik pun terbuka lebar.

Selain itu, banyak media belum secara terbuka mendeklarasikan bahwa konten mereka telah diproduksi atau dibantu oleh AI.

Kurangnya transparansi ini, menurut Nenden, juga merupakan bentuk pelanggaran etik.

“Ketika kita tidak disclose mengenai penggunaan AI, itu melanggar kode etik. Seharusnya dikasih tahu bahwa konten, ilustrasi gambar atau foto telah dibantu oleh AI dan bukan karya original,” tambahnya.

Transparansi adalah salah satu nilai penting dalam jurnalisme. Pembaca berhak mengetahui bagaimana suatu konten dibuat dan alat apa saja yang digunakan dalam proses tersebut.

Aplikasi pembuat video AI yang seolah menjadi tayangan nyata antara lain Google VEO 3 dan Sora by OpenAI. Keduanya bisa menciptakan video dari prompt teks yang disusun pengguna.

Baca juga: Mengupas Hoaks Populer: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

kesalahan umum penggunaan AI
Nenden saat menjadi pembicara. (Foto oleh Nenden Sekar Arum)

3. Penggunaan AI Menggantikan Manusia

Kesalahan umum penggunaan AI yang marak akhir-akhir ini: menggantikan peran manusia sepenuhnya.

Nenden menjelaskan, di satu sisi penggunaan AI memang menawarkan efisiensi yang signifikan dalam pekerjaan jurnalistik.

Mulai dari menyusun outline artikel, menganalisis data, hingga membuat ilustrasi atau transkripsi wawancara, AI bisa menjadi asisten yang sangat berguna.

Namun, pemanfaatan AI ini jangan sampai menjadi alasan untuk mengurangi tenaga kerja manusia secara besar-besaran.

Banyak kasus PHK massal di industri media terjadi dengan dalih efisiensi yang dicapai lewat penggunaan AI. Nenden menegaskan bahwa hal ini adalah bentuk pemahaman yang keliru.

“Seharusnya tidak seperti itu. Bukan berarti perusahaan mendapat efisiensi kerja karena AI, lalu memutuskan layoff. Padahal yang penting bagaimana AI bisa meningkatkan kerja jurnalis dan redaksi, bukannya untuk menggantinya,” katanya.

Penggunaan AI seharusnya lebih difokuskan pada dukungan di balik layar. AI bisa digunakan untuk membantu proses brainstorming, mengolah data perilaku audiens, atau mempercepat alih media.

Namun, untuk kegiatan lapangan seperti peliputan, wawancara, dan verifikasi fakta, jurnalis tetap menjadi kunci utama.

Baca juga: Krisis PR di Balik Refund Tiket Konser DAY6: Apa Solusinya?

kesalahan umum penggunaan AI
Maraknya PHK, salah satunya diklaim akibat peran manusia tergantikan sepenuhnya oleh AI. (Foto oleh Freepik.com)

Manusia Seharusnya Tetap Berperan Sentral

Dalam proses akhir penulisan, peran manusia tidak bisa tergantikan.

Editor dan jurnalis harus tetap memegang kendali penuh terhadap narasi, struktur, dan gaya penulisan.

AI bisa dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk memperkaya pilihan diksi atau menyusun versi penulisan yang lebih menarik.

Namun, setiap hasil harus tetap melalui supervisi manusia.

“Di dalam proses penulisan, idealnya tetap editor dan jurnalis in charge lebih besar. AI dipakai untuk pemilihan diksi, atau bentuk alternatif penulisan yang lebih menarik. Semua tetap harus disupervisi oleh manusia,” tegas Nenden.

Kesimpulan

Kemajuan teknologi tidak bisa dihindari, dan AI adalah bagian dari revolusi tersebut.

Namun, dalam dunia jurnalistik, prinsip utama seperti verifikasi, transparansi, dan akurasi tetap menjadi pilar yang tidak boleh ditinggalkan.

Pemanfaatan AI harus dikelola secara etis dan bertanggung jawab.

Tujuannya agar tidak hanya mendukung produktivitas, tetapi juga menjaga marwah jurnalisme itu sendiri.

Melalui pemahaman yang lebih utuh dan kehati-hatian dalam penerapan teknologi, AI dapat menjadi mitra yang memperkuat, bukan menggantikan, peran penting jurnalis dalam menyampaikan kebenaran.

Wawancara dengan Nenden Sekar Arum dilakukan pada Sabtu, 10 Mei 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.

Let's Amplify Your Voice Together

Tell us about your project, and we will get back to you within one business day.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?