Keberhasilan media relations yang berjalan dengan baik menjadi salah satu upaya memastikan efektivitas strategi komunikasi.
Anggini Setiawan-Harvey, direktur komunikasi TikTok Indonesia, meyakini persepsi dan pengaruh menjadi dasar mengukur keberhasilan media relations.
Berdasarkan laman LinkedIn dan profil publiknya, Anggi pernah bekerja sebagai Head of Corporate Communications Ruangguru sebelum bergabung dengan tim TikTok di Jakarta, di antara pengalaman profesional lainnya.
Ia membawa perspektif yang mendalam tentang pentingnya media relations di perusahaan.
Mengukur Keberhasilan Media Relations dengan Anggini Setiawan-Harvey
RadVoice Indonesia mewawancarai Anggi terkait pengalamannya mengukur dampak media relations sebagai praktisi komunikasi.
Bagaimana Anda mengukur impact komunikasi, khususnya dalam media relations?
“Kalau mengukur impact komunikasi dan specifically itu media relations, saya lebih menyasar pada qualitative metrics (metrik kualitatif).
“Jadi, mostly yang saya lihat itu, pertama, bagaimana persepsi media terhadap kami.
“Jadi, nomor satu yang benar adalah persepsinya dulu. Kedua, adalah trust level-nya, mereka percaya atau tidak sama kami.
“Percaya itu bukan artinya mereka harus selalu ngebelain. Namanya media, kan, mereka watchdog (mengawasi). Posisinya lebih ke punya hubungan di mana kami bisa establish open communications.
“Kalau misalnya, somebody says bad things about us, mereka tidak lantas langsung menyudutkan. Tapi mereka akan give the benefit of the doubt, call us, and then listen to our side of the story.
“Ketiga, saya melihatnya dari influence. Bukan artinya kami bisa punya pengaruh dan mendikte mereka, tidak seperti itu.
“Mereka pun juga independensinya harus dijaga sehingga mereka punya kredibilitas. Influence dalam hal ini adalah ketika kami punya suara, mereka menganggap itu serius.
“Jadi, mereka tidak menganggap itu sesuatu yang abal-abal atau tidak berdasar, tapi sesuatu yang memang bisa dijadikan pegangan sebagai bentuk argumen dari perusahaan.”
Lalu, apakah diukur juga dari segi metriks kuantitatif?
“Sebenarnya, kuantitatif ada. Tapi saya tidak mengatakan itu impact, ya. Biasanya yang akan saya lihat itu lebih ke share of voice.
“Jadi, saya runut sampai misalnya satu semester, per tahun, atau satu quarter paling short term-nya.
“Biasanya, saya juga akan melihat di antara share of voice itu penetrasi tier satunya seperti apa.
“Mungkin share of voice-nya tinggi, tapi ternyata penetrasinya, readership-nya tidak terlalu tinggi. Akhirnya secara readership, itu not necessarily the greatest.
“Terus sentimennya juga. Share of voice-nya mungkin boleh tinggi, tapi kalau sentimennya negatif sama juga bohong, ya.”
Apa kesalahan terbesar dan paling sering ditemukan ketika perusahaan teknologi ingin menyampaikan pesan kepada media dan publik?
“Buat saya, kesalahan terbesarnya itu not listening. Misal, kami ingin menyampaikan sesuatu tapi tidak mau mendengarkan, itu akhirnya benar-benar menjadi satu arah.
“Komunikasi yang baik itu adalah bukan hanya pesan kami tersampaikan, tapi kita dapat feedback juga.
“Jadi, kami juga mengetahui pendapat mereka tentang kami seperti apa. Persepsi mereka tentang kami seperti apa.
“Artinya, kalau kami ingin bikin pesan yang masuk akal dan bisa diterima dengan baik, kami juga harus tahu dari mana entry point-nya.
“Kami hanya akan tahu entry point-nya itu apabila listening dengan baik.
“Kedua, kadang-kadang pun sudah listening atau worse kita tidak listening, cara menuliskan message itu very me, me, me gitu. Jadi me-centric banget.
“Misalnya, saya punya produk A, pokoknya saya akan menginformasikan dan mengkomunikasikan semua benefit dari produk A.
“Tapi apakah produk A relevan? Apakah produk A menjawab masalah orang? Apakah produk A menjawab kebutuhan seseorang? Itu yang menjadi tanda tanyanya.
“Jadi, bukan perihal produk A bisa apa. Tapi produk A ini bisa memberikan nilai seperti apa bagi penggunanya.”
Apa pembelajaran selama menjadi pakar komunikasi di berbagai organisasi?
“Pertama, aku merasa komunikasi itu seni. Jadi tidak ada absolutism-nya di situ. Meskipun memang kadang-kadang ada yang blatant, kita tahu ‘Wah, enggak bener tuh yang seperti itu’.
“Pelajarannya adalah komunikasi ini bukan sesuatu yang instan dan tidak bisa approach-nya itu reaktif.
“Apalagi di dunia yang sekarang ketika bicara proses, semua jadi semakin cepat. Tapi ini bukan pekerjaan yang kita dua minggu bikin project, terus selesai.
“At the end of the day, for the perfection, forget it.“
Kesimpulan
Dalam menjalin hubungan dengan media, Anggi menekankan pada keberhasilan persepsi, tingkat kepercayaan, dan pengaruh.
Sebagai direktur komunikasi, Anggini juga ingin membangun kepercayaan dengan media. Menurutnya, jika kepercayaan terjalin dengan baik, maka komunikasi juga akan terbangun dengan baik.
Anggi juga menekankan pentingnya menyatakan sikap perusahaan saat menjalin hubungan dengan media.
Wawancara dengan Anggini Setiawan-Harvey dilakukan pada Sabtu, 23 November 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.