Framing berita dalam peliputan aksi demo di media berperan besar dalam membentuk persepsi publik.
Tak hanya menentukan informasi apa yang disajikan, framing berita juga membentuk narasi di publik.
Mulai dari pemilihan sudut pandang, kutipan narasumber, pemilihan kata, hingga penggunaan gambar dapat memengaruhi opini publik terhadap aksi demo yang berlangsung.
Untuk itu, penting bagi Anda memahami bagaimana framing berita dibentuk agar tidak terjebak dalam narasi yang bias.
Framing Berita Demo di Media
RadVoice Indonesia telah merangkum penjelasan tentang bagaimana media membentuk persepsi publik melalui framing berita demo sebagai berikut.
Apa itu Framing Berita?
Framing merujuk pada teori tentang bagaimana sesuatu disajikan kepada publik hingga memengaruhi pilihan atau cara pandangnya.
Penggunaan framing biasanya terlihat pada informasi yang disampaikan di berita atau media. Teori ini umumnya dipelajari sebagai mata kuliah di bidang jurnalisme tingkat sarjana.
Beberapa model analisis framing yang terkenal adalah model framing oleh Robert N Entman dan Pan & Kosicki.

Dalam buku Eriyanto yang berjudul Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik (2002), menjelaskan bahwa framing berita adalah melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas.
Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted, tapi jurnalis dan media yang membentuk realitas.
Hal ini akan berpengaruh pada bagian mana dari suatu peristiwa yang diliput dan tidak diliput oleh media, hingga pemilihan kata, kalimat, maupun gambar dalam suatu berita.
Lalu, bagaimana media membingkai pemberitaan aksi demo selama ini?
Framing Berita Demo
Pemberitaan aksi demo di media seringkali dibingkai berdasarkan sudut pandang yang ingin ditonjolkan.
Beberapa media memilih menyoroti tuntutan demonstran, menampilkan orasi, spanduk, hingga mewawancarai peserta aksi untuk menggambarkan tentang tujuan demo tersebut.
Namun ada pula media yang fokus pada aspek keamanan, misalnya pengamanan ketat oleh aparat, penutupan jalan, hingga potensi bentrokan.

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM Wisnu Prasetyo Utomo mengungkapkan, setidaknya ada empat faktor utama yang memengaruhi cara media melakukan framing, khususnya dalam pemberitaan demo.
Kepemilikan Media
Pemilik media akan memengaruhi cara media untuk memberitakan atau tidak memberitakan sebuah berita demo atau isu tertentu lainnya. Banyak riset tentang kepemilikan media menunjukkan bagaimana pemilik media bisa mengintervensi ruang redaksi.
Ruang Redaksi
Dalam ruang redaksi yang independen (pemilik tidak aktif di partai politik atau tidak menjadi bagian dari pemerintah), kebijakan memberitakan demo akan ditentukan seberapa jauh demo tersebut memiliki arti bagi kepentingan publik dan memiliki nilai berita yang tinggi untuk diliput.
Latar Belakang Jurnalis
Latar belakang pendidikan, suku, agama, termasuk sikap politik akan membentuk cara jurnalis mem-framing sebuah berita. Jurnalis yang punya latar belakang atau perspektif tidak jauh berbeda dengan tuntutan demonstran cenderung akan lebih bersimpati ketika memberitakan aksi-aksi demonstrasi. Begitu juga sebaliknya.
Demand dari Publik
Publik cenderung bersimpati terhadap demo yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi mereka. Oleh karena itu, mereka akan mencari berita-berita yang menyiarkan informasi seputar demo.
Baca juga: Apakah Koreksi, Klarifikasi, dan Takedown Berita di Media Dapat Dilakukan?
Meski demikian, tak jarang terdapat media yang lebih menyoroti tindakan-tindakan kekerasan saat aksi demo. Hal ini yang disebut sebagai protest paradigm, yaitu ketika media menekankan aspek-aspek sensasional termasuk kekerasan dalam sebuah pemberitaan demonstrasi.
Menurut Wisnu, media yang menyoroti kekerasan semacam ini semata ingin menarik perhatian publik. Harapannya agar audiens bisa bersimpati atau kontra terhadap aksi demonstran.

Pemilihan Kata
Bahasa dan pemilihan kata yang digunakan media saat menggambarkan aksi demo juga sangat berpengaruh kepada publik.
Wisnu yang kini tengah menjalani pendidikan doktoral di School of Journalism, Media, and Communication University of Sheffield, Inggris ini menuturkan, penggunaan bahasa yang provokatif bisa membuat media memberikan informasi yang keliru terkait demo.
Misalnya, dengan memberi label sebuah demo sebagai “aksi anarkis”. Sementara faktanya di lapangan, aksi kekerasan tidak muncul dari demonstran.
Baca juga: Kantor Berita: Peran dan Bedanya dengan Perusahaan Media
Untuk menghindari hal tersebut, seorang jurnalis harus mampu bersikap independen, bebas dari intervensi pemilik media, negara, atau publik demi menjaga keseimbangan dalam memberitakan aksi demo.
Wisnu menegaskan, hanya dengan independensi, jurnalis bisa menulis dengan bebas, menampilkan berbagai perspektif dan fakta dengan komprehensif, sehingga membantu publik mendapatkan informasi yang lengkap atas sebuah isu.
Contoh Framing Berita Demo
Salah satu contoh pembingkaian berita termuat dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Pekommas Vol. 5, April 2020 tentang bagaimana media online nasional yakni Detik.com dengan kantor berita internasional Reuters.com memberitakan tentang kerusuhan di Papua pada tahun 2019.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Detik.com membingkai akar permasalahan kerusuhan Papua berasal dari aksi anarkis para pedemo. Hal ini terlihat dari sudut pandang Detik.com yang memperlihatkan kekacauan dengan menggambarkan pedemo melakukan kerusuhan dengan membakar ban, membawa senjata tajam, dan adanya provokator.

demi menjaga keseimbangan dalam memberitakan aksi demo. (Foto oleh Freepik)
Sementara Reuters membingkai akar permasalahan dengan menyoroti kurangnya keadilan pemerintah kepada warga Papua hingga terjadi aksi protes tersebut.
Ketidakadilan tersebut diperlihatkan oleh Reuters dalam teks beritanya bahwa provinsi Papua dan Papua Barat kaya sumber daya alam. Akan tetapi, tingkat kemiskinannya mencapai lebih dari 20%.
Kesimpulan
Framing berita merujuk pada cara media menyajikan informasi yang dapat memengaruhi sudut pandang publik.
Dalam pemberitaan aksi demo, framing ini dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti kepemilikan media, kebijakan redaksi, latar belakang jurnalis, hingga relevansi dengan publik.
Agar berita tetap objektif, jurnalis harus bersikap independen, bebas dari intervensi pemilik media, negara, maupun kepentingan publik.
Dengan independensi, jurnalis dapat menyajikan informasi secara berimbang dan komprehensif, sehingga publik memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang suatu peristiwa.