Menulis artikel makanan tidak pernah membosankan untuk Eve Tedja, associate editor media kuliner epicure.
Seperti motonya, Eve menjadi food journalist dan menulis artikel makanan “agar merasakan kehidupan untuk kedua kalinya”, mengacu kepada momen ia menceritakan ulang pengalamannya menikmati dan memaknai santapannya.
Eve, berasal dari dan saat ini menetap di Bali, rutin menulis tentang gastronomi dan beragam topik lainnya. Tidak pernah ada hari yang sama baginya.
“Misalnya, hari ini bisa saya habiskan menulis di depan laptop untuk menuntaskan deadline dan hari berikutnya untuk mewawancarai chef sebuah resor di Bali sembari menikmati santapan kreasi beliau,” ujar Eve.
Eve menceritakan tips-tips terbaik menulis artikel makanan kepada RadVoice Indonesia.
Salah satu kunci menulis artikel makanan adalah menyertakan detail dan warna agar pembaca dapat membayangkan pengalaman Anda secara jelas. Bagaimana Anda melakukannya?
“Hanya satu cara: banyak membaca agar referensi saya luas.
“Saya tidak percaya Anda akan bisa menulis dengan baik kalau Anda bukan pembaca yang jeli. Jangan pernah berhenti bertanya atau mencari tahu. Tidak ada pertanyaan yang bodoh, apalagi misalnya saat Anda bukan ahli di bidang tersebut.
“Saya bukan chef dan tidak punya latar belakang bekerja di dapur. Bila saya menghadiri food tasting, saya akan mendengar dengan saksama penjelasan sang chef terkait teknik yang ia aplikasikan di menunya.
“Apabila ada hal yang tidak saya pahami, saya akan langsung tanyakan saat itu juga. Bisa juga, saat saya menulis tentang hal itu, akan saya Google atau cari tahu di ‘kitab suci’ saya, Larousse Gastronomique.”
Terkait detail dan warna, bagaimana Anda memanfaatkan unsur-unsur tersebut dan menjadikannya artikel makanan yang inspiratif?
“Untuk food writing, tulisan akan jadi hidup bila ada detail yang kaya di dalamnya.
“Rasa enak atau tidak enak itu subyektif karena setiap orang memiliki lidah dan referensi yang berbeda.
“Sementara sebagai jurnalis, kita diajarkan untuk obyektif. Karena itu, bahaslah fakta atau konteks di sekitar makanan tersebut.
“Misal: Anda ingin membahas tentang rumah makan bakmi ayam di Jakarta Pusat yang sudah berdiri sejak tahun 1930-an. Anda bisa menulis tentang pendirinya dan siapa yang sekarang melanjutkan usahanya, teknik pembuatan mi, apa saja yang disajikan, siapa pelanggan setianya, apa saja kondimen yang disediakan di meja, di mana lokasi rumah makan tersebut, hingga mewawancarai salah satu pelanggan yang makan di sana.
“Itu akan menjadi artikel yang lebih menarik daripada sekadar membahas kekenyalan tekstur mi.
“Show, don’t tell. Biarlah pembaca yang menilai. Teknik ini juga saya pakai untuk menulis cerita perjalanan.”
Dari berbagai artikel makanan Anda, yang manakah yang paling berkesan bagi Anda? Apakah cerita di balik itu?
“Saya merasa beruntung bisa bekerja di bidang ini karena dengan menulis, saya seperti mendapat kesempatan untuk mengalami sesuatu dua kali.
“Salah satu artikel yang menggugah saya adalah tulisan tentang babi hitam asli Bali.
“Masalah kita di Indonesia adalah seringkali saat kita berbicara tentang pangan, kita sering lupa tentang apa yang ada di pekarangan sendiri.
“Babi hitam lokal ini, misalnya, sering saya lihat dipelihara di desa-desa di Bali dan berkeliaran mencari makan sendiri.
“Dagingnya lebih lean daripada daging babi ternakan dan cenderung lebih resisten terhadap penyakit, namun karena butuh waktu lebih lama untuk diternakkan sementara permintaan pasar selalu tinggi, ia jadi terpinggirkan.
“Sementara daging olahan babi hitam asal Spanyol, jamon iberico, diagungkan di restoran mewah. Di Jakarta dan Bali, babi hitam lokal ini malah terlupakan.
“Padahal bila para pihak jeli, babi hitam ini bisa menjadi produk artisan andalan Bali.
“Saya mendapatkan kesempatan mewawancari satu peternak di Baturiti, Tabanan, yang memelihara babi hitam ini dengan prima.
“Saya juga mewawancarai seorang chef yang dengan bangga menyajikan dagingnya di hotel bintang lima di Jimbaran.
“Saya merasa cerita-cerita seperti ini sangat penting. Kalau bukan kita yang mengapresiasi apa yang kita miliki, siapa lagi?”
Wawancara dengan Eve Tedja dilakukan pada Minggu, 5 Mei 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.