Dalam situasi mendesak, respons yang cepat semata tidak cukup. Empati dalam komunikasi krisis justru menjadi kunci utama untuk meredakan situasi dan memulihkan kepercayaan publik.
Pada Mei 2025, seperti dikutip dari NHK World, Perdana Menteri Jepang Ishiba Shigeru menunjukkan empati saat ia meminta maaf secara terbuka atas pernyataan kontroversial yang dilontarkan Menteri Pertanian Taku Etō.
Di bulan itu, Etō mengatakan bahwa ia “tidak pernah membeli beras” sendiri dan para pendukungnya memberinya beras, di tengah melambungnya harga pangan tersebut di Jepang.
RadVoice Indonesia akan membahas strategi empati dalam komunikasi krisis sebagai pendekatan efektif guna menjaga kredibilitas dan membangun kembali hubungan dengan publik.
Studi kasus dari respons pemerintah Jepang akan digunakan sebagai contoh konkret.
Mengapa Empati dalam Komunikasi Krisis Penting
Pernyataan kontroversial dari seorang menteri yang dianggap meremehkan isu bencana alam memicu gelombang kritik dari publik dan media.
Meski tidak menyampaikan langsung pernyataan tersebut, Ishiba mengambil alih tanggung jawab sebagai pemimpin negara.
Ia menyampaikan permintaan maaf dengan nada rendah hati, disertai langkah konkret untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Langkah ini mencerminkan pentingnya empati dalam komunikasi krisis.
Tidak hanya sebagai bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga sebagai strategi untuk meredam konflik, membangun kembali kepercayaan, dan menjaga stabilitas hubungan dengan publik.
Baca juga: Surat Terbuka Falcon Pictures: Tanggapan Krisis dengan Empati dan Profesionalisme
Memulihkan Kepercayaan Publik
Dalam situasi krisis, kepercayaan publik bisa runtuh dalam hitungan jam. Inilah yang dihadapi pemerintah Jepang saat Menteri Pertanian menyampaikan komentar yang dinilai tidak sensitif.
Dengan cepat, Ishiba turun tangan dan menyampaikan permintaan maaf secara langsung.
Sikap ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengabaikan suara masyarakat.
Ketika pemimpin tampil dan menunjukkan empati, publik merasa didengarkan, dan kepercayaan pun perlahan dibangun kembali.

Seperti yang disampaikan oleh Helio Fred Garcia, profesor manajemen krisis di New York University dan Columbia University di Asis Online, dalam setiap krisis, publik dan pemangku kepentingan selalu mengharapkan pemimpin untuk peduli.
Ungkapan empati bukan hanya sikap simpatik, tapi langkah awal yang menunjukkan komitmen untuk menanggapi harapan itu secara serius.
Menenangkan Ketegangan dan Spekulasi
Tanpa klarifikasi yang empatik, krisis bisa makin meluas akibat spekulasi di media maupun percakapan publik.
Respons cepat yang disertai nada rendah hati dari Ishiba berhasil meredam emosi warga yang tersulut.
Dengan menyampaikan bahwa pernyataan menteri tersebut tidak mewakili sikap pemerintah, PM menunjukkan ketegasan sekaligus empati. Dua hal ini penting untuk menghentikan bola salju isu sebelum makin membesar.
Baca juga: Belajar Strategi Komunikasi Krisis dari 4 Drama Korea Ini
Praktik Empati dalam Komunikasi Krisis: Lessons Learned dari Strategi Pemerintah Jepang
Siapkan Respon Cepat
Kecepatan adalah kunci dalam komunikasi krisis.
Setelah Menteri Pertanian membuat pernyataan kontroversial pada 18 Mei 2025, Ishiba langsung merespons dengan permintaan maaf resmi tiga hari setelahnya.
Dalam pernyataannya, Ishiba menekankan bahwa ia bertanggung jawab atas penunjukan Etō dan menyesali pernyataan tersebut yang tidak sensitif terhadap situasi kelangkaan beras.

Utamakan Permintaan Maaf yang Tulus
Permintaan maaf dari Ishiba disampaikan dengan bahasa yang sederhana, nada rendah hati, dan tidak defensif.
Tiga poin tersebut merupakan ciri khas empati dalam komunikasi krisis.
Ini bukan sekadar formalitas, tapi menunjukkan kesediaan untuk mengakui ketidaknyamanan publik dan bertanggung jawab atas nama institusi.
Sikap ini membantu menurunkan tensi publik dan membangun kembali kepercayaan.
Baca juga: Strategi Mengatasi Krisis Perusahaan Lewat Press Release
Tunjukkan Tindakan Korektif Nyata
Setelah pernyataan kontroversial Etō, Ishiba tidak hanya berhenti pada permintaan maaf.
Ia segera menunjuk Shinjirō Koizumi sebagai menteri pertanian yang baru pada 21 Mei 2025.
Koizumi, yang sebelumnya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup, dikenal memiliki pengalaman dalam reformasi pertanian dan memiliki reputasi baik di kalangan publik.
Penunjukan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berbicara, tetapi juga mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi.
Pilih Juru Bicara yang Mewakili Nilai Organisasi
Ishiba memilih Koizumi sebagai menteri pertanian baru karena reputasinya yang baik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan publik.
Koizumi dikenal sebagai politisi muda yang memiliki latar belakang pendidikan internasional.
Ia diharapkan dapat membawa pendekatan baru dalam menangani isu pertanian dan memperbaiki citra pemerintah di mata publik.

Kesimpulan
Empati dalam komunikasi krisis adalah kunci utama untuk meredakan situasi dan membangun kembali kepercayaan publik, seperti yang ditunjukkan oleh pemerintah Jepang dalam penanganan pernyataan kontroversial Menteri Pertanian Taku Etō.
Respons cepat, permintaan maaf tulus, tindakan korektif nyata, dan pemilihan juru bicara yang tepat menjadi langkah strategis yang efektif.
Pendekatan ini tidak hanya menunjukkan tanggung jawab, tapi juga memperkuat kredibilitas pemerintah.
Strategi ini dapat menjadi pelajaran penting bagi institusi lain dalam menghadapi krisis komunikasi dengan empati dan integritas.