Sebagai jurnalis foto National Geographic Indonesia, Donny Fernando selalu mengedepankan etika jurnalisme visual sepanjang proses peliputan, penyuntingan, dan penerbitan setiap karyanya dari berbagai kawasan di Indonesia.
“Sebagai fotojurnalis, foto yang dipublikasikan harus menjunjung tinggi nilai kebenaran. Dalam jurnalistik foto, integritas foto sangat dijunjung tinggi. Tidak boleh ada manipulasi informasi yang disajikan dalam foto,” ujar Donny.
Donny berprofesi sebagai jurnalis foto National Geographic Indonesia sejak Februari 2021. Sebelumnya, ia merupakan jurnalis multimedia The Jakarta Post sejak Juni 2016 hingga bergabung dengan tim redaksi National Geographic Indonesia di Jakarta.
Dalam kapasitasnya yang sekarang, ia terlibat dalam beragam proyek kantor tempatnya bekerja. Ia juga bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan para fotojurnalis seluruh Indonesia yang ditugaskan oleh National Geographic Indonesia, mengkurasi foto-foto yang terbit di majalah cetak setiap bulannya, serta menangani rubrik sayembara foto dan sosok inspiratif tanah air.
Donny membagikan kepada RadVoice Indonesia tentang kesehariannya sebagai jurnalis foto National Geographic Indonesia dan perannya dalam ekosistem jurnalisme visual di Indonesia.
Dapatkah Anda ceritakan proses kreatif seorang jurnalis foto?
“Proses kreatif seorang jurnalis foto adalah sebuah hal yang sangat menyulitkan jika dilakukan pertama kali. Akan tetapi, seiring waktu, proses kreatif ini adalah sebuah candu yang selalu menggoda Anda.
“Tentu, layaknya seorang jurnalis, kita harus mengetahui informasi dan kejadian apa saja yang sedang terjadi di masyarakat, baik skala lokal atau global.
“Melalui informasi dan berita tersebut, kita dapat melakukan riset visual tentang bagaimana informasi tersebut jika dituangkan dalam bentuk visual. Ini adalah proses praproduksi. Proses ini menjadi fondasi penting bagi seorang jurnalis foto.
“Ketika kita datang dengan tangan kosong, kita akan pulang tanpa apa pun.
“Proses kreatif seorang jurnalis foto juga melibatkan pendekatan individual kita sebagai seorang individu dalam menyikapi suatu hal.
“Saya mengenal banyak jurnalis foto dengan ragam pendekatan. Ada jurnalis foto yang memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang arkeologi, maka ia akan sangat peka ketika memotret sesuatu yang bersifat arkeologi dibandingkan fotografer lainnya.
“Saya sendiri memiliki pendekatan foto melalui aspek antropologi dan sosial budaya. Saya sangat senang mendengar kisah sosial dan kisah kebudayaan dari sosok yang saya foto.
“Dengan mendengar kisah mereka, saya mendapat pelajaran, serta sudut pandang baru bagi seorang manusia dalam menilai dan memandang sesuatu.”
Bagaimanakah Anda mendapatkan inspirasi fotografi?
“Saya mendapatkan inspirasi fotografi melalui banyak hal: internet, buku foto, game, serta film.
“Utamanya, saya mendapatkan inspirasi fotografi dari film. Film sangat menggugah imajinasi saya dalam menciptakan sebuah foto yang bercerita.
“Bagi saya pribadi, sebuah kisah dalam foto esai memiliki pembabakannya sendiri.
“Salah satu cara yang sangat ideal bagi kita dalam memahami sebuah alur dan pembabakan adalah dengan banyak menonton film.”
Apakah karya yang paling Anda banggakan hingga hari ini?
“Foto yang berkesan bagi saya adalah pengalaman memotret situs Megalitikum (zaman Batu Besar ribuan tahun lalu) Pokekea di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
“Perjuangan untuk mendapatkan foto tersebut cukup panjang dan rumit. Proses pertama yang saya lakukan adalah melakukan riset visual terkait dengan foto Pokekea.
“Bagi National Geographic Indonesia, foto indah tidaklah cukup. Perlu ada pembeda dalam foto tersebut agar ada wow factor bagi pembaca.
“Dalam riset saya, semua foto Pokekea yang muncul di internet dipotret saat siang hari. Oleh sebab itu, saya memutuskan bahwa saya harus memotret di malam hari dalam situasi bertabur bintang.
“Kondisi ini dapat disebut sebagai berjudi dengan alam, karena kita tidak tahu bagaimana kondisi cuaca di lokasi.
“Betul saja, pada hari H, perizinan untuk memotret malam hari cukup rumit. Saya ditanya berkali-kali oleh petugas setempat apakah yakin ingin memotret Pokekea di malam hari.
“Akhirnya, saya diizinkan memotret Pokekea pada malam hari. Ketika saya diizinkan untuk menyusuri lokasi pada malam hari, rintangan kedua tiba. Hujan deras melanda kawasan tersebut hingga malam, sehingga naas keinginan saya untuk mendapatkan foto Pokekea bertabur bintang.
“Mukjizat terjadi, pada pukul 20-an WITA, seketika hujan berhenti. Hal tersebut mengembalikan harapan saya untuk mendapatkan foto ini.
“Waktu itu, tim memutuskan untuk tidak ikut karena sudah malam, jadi saya sendiri yang memotret. Agak gila memang. Saya tidak menyangka kalau ada tiga mobil warga lokal yang mendampingi saya.
“Sepanjang perjalanan, saya selalu di-brief oleh warga lokal untuk tetap tenang jika terjadi sesuatu. Hal tersebut cukup mengganggu pikiran saya dan membuat saya mempertanyakan kembali keputusan saya.
“Namun kami telah berangkat menuju lokasi, maka the show must go on.
“Setiba di lokasi, kami berada dalam situasi gelap gulita. Perjalanan harus kami lanjut tempuh dengan trekking sedikit sekitar sepuluh menit untuk sampai di lokasi.
“Suhu cukup dingin di sana, hingga beberapa warga lokal harus membawa arak untuk menghangatkan diri mereka.
“Saya meminta mereka untuk hening, tidak menyalakan HP saat saya memotret, karena saya membutuhkan kondisi gelap tanpa ada polusi cahaya.
“Selama memotret Pokekea, saya terus berucap dalam hati bahwa saya izin dan permisi untuk memotret ini, tidak lebih dan tidak kurang.
“Selesainya saya memotret, kabut menyelimuti kami semua dan menutupi Pokekea. Saya berterima kasih kepada alam karena telah diizinkan memotret Pokekea.
“Saya percaya bahwa ada sesuatu di luar logika saya mengizinkan saya untuk memotret itu. Hingga sekarang, saya selalu bersyukur atas kenangan indah, menegangkan, mengherankan, dan mengharukan tersebut.
“Selain foto tersebut, saya sangat terkenang dengan perjalanan dan proses panjang dalam memotret Pokekea. Foto tersebut adalah hasilnya, sedangkan pekerjaan sebenarnya adalah proses dan perjalanan dalam menempuh tujuan itu.”
Wawancara dengan Donny Fernando dilakukan pada Rabu, 5 Juni 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.