“Kadang kami merasa dunia fesyen terlalu menggeneralisir wanita. Padahal tiap perempuan punya karakter, fase, dan kebutuhan yang unik. Karenanya kami ingin menjadi kanvas ekspresi bagi mereka,“
Kalimat itu menjadi pembuka kuat dari Dinda Desca Pradhina, Co-Founder dan Chief Operating Officer (COO) dari brand Phouls, sebuah merek untuk produk tas wanita.
Dalam percakapan hangat dengan RadVoice Indonesia, Dinda berbagi cerita bagaimana keresahan itu akhirnya melahirkan sebuah merek, yang perlahan tapi pasti, tumbuh menjadi suara berbeda di dunia fesyen lokal Indonesia.
Baca juga: Holding Statement untuk Bisnis: Kunci Komunikasi Saat Krisis Melanda
Lahir dari Keresahan dan Percakapan
Dinda bercerita, brand Phouls bukan lahir dalam semalam. Ide awalnya muncul dari obrolan santai namun intens bersama dua co-founder lainnya, Ira Indriani dan Phouly Gouijn.
Ketiganya memiliki latar belakang profesional dari Brodo, sebuah brand fesyen pria lokal yang cukup mapan.

Dinda sebelumnya menjabat sebagai Digital Sales Manager, sedangkan Ira adalah Marketing Manager, dan Phouly di divisi keuangan. Perpaduan skill yang lengkap.
“Waktu masih di Brodo, kami sering berdiskusi tentang minimnya brand yang benar-benar merepresentasikan perempuan secara utuh,” cerita Dinda.
Fesyen, bagi mereka bertiga, terlalu sering menyamaratakan perempuan, yaitu feminin, putih, tinggi.
Banyak brand apparel melupakan bahwa gaya, kebutuhan, hingga preferensi perempuan sangat beragam.
Maka, terciptalah brand Phouls di tahun 2023, yang bukan sekadar brand tas, tapi menjadi “kanvas ekspresi” bagi perempuan untuk mengekspresikan diri mereka.
“Nama Phouls sendiri merupakan permainan kata antara phase dan soul, melambangkan fase-fase hidup perempuan tanpa kehilangan jati diri,” kata Dinda.
Perempuan, Fesyen, dan Representasi
Dinda bercerita, salah satu hal yang paling membanggakan baginya selama perjalanan membangun brand ini adalah momen saat dia melihat orang lain menggunakan tas Phouls di jalan.
“Itu rasanya seperti… wah, ternyata hasil kerja keras kami digunakan orang. Tanpa diminta, mereka upload dan review positif di media sosial. Itu yang paling membuat kami terharu,” katanya.
Sebagai perempuan yang berkecimpung di industri streetwear yang masih banyak didominasi laki-laki, Dinda menyadari bahwa ruang untuk perempuan memang masih terbatas, tapi terus tumbuh.

“Banyak brand besar sekarang yang dimotori perempuan. Hasilnya, produk mereka terasa lebih selaras karena dibuat dari perspektif perempuan juga,” ujarnya.
Namun secara keseluruhan, ia melihat street fashion masih 70% didominasi laki-laki.
Oleh karena itu, kehadiran brand Phouls dan merek-merek serupa punya peran penting, yaitu membuka ruang representasi yang lebih inklusif bagi perempuan.
Produk yang Mengikuti Kehidupan, Bukan Tren
Dinda lebih lanjut bercerita mengenai prinsip yang diangkat brand Phouls ini, yaitu sederhana namun penuh makna.
“Kami ingin menciptakan produk yang bisa “menyatu” dengan kehidupan perempuan sehari-hari, tanpa memaksakan satu standar gaya tertentu,” kata Dinda.
Oleh karena itu, desain mereka cenderung clean, adjustable, dan fungsional. Tujuannya, agar brand Phouls dapat mengikuti mood, kebutuhan, bahkan suasana hati perempuan.
Setiap rilisan mereka melewati proses panjang, mulai dari riset tren, sampling, kurasi, hingga wear test yang memastikan kenyamanan dan fungsionalitas tetap jadi prioritas.
Dinda dan Caranya Menjaga Energi di Tengah Tiga Dunia
Ternyata, selain mengurus brand Phouls, Dinda juga menjalankan digital marketing agency dan masih bekerja di Sepatu Compass.
“Work-life balance? Sejujurnya belum ada. Rasanya 90% hidup saya untuk bekerja,” akunya jujur.
Namun satu hal yang ia jaga adalah rutinitas olahraga.
“Setidaknya 40 menit sehari buat nge-gym, biar tetap waras dan stamina terjaga. Itu bentuk self-care saya sekarang,” katanya.

Dia pun baru saja menyempatkan menikmati liburannya ke Thailand. “Liburan? Terakhir baru sempat ke Bangkok setelah dua tahun tidak ambil cuti,” kata Dinda
Dinda mengakui bahwa di usia sekarang, ia memilih untuk “gas terus”. Menurutnya, kesempatan tidak selalu datang dua kali.
“Selama masih punya tenaga dan semangat, saya ingin memanfaatkan semua peluang yang ada,” kata Dinda dengan yakin.
Kesimpulan
Phouls, kata Dinda, bukan sekadar brand. Ia adalah suara, semangat, dan fase yang menyatu dalam kehidupan perempuan.
Produk yang bisa “menyatu” dengan kehidupan perempuan sehari-hari, tanpa menetapkan standar tertentu, menjadi identitas yang kuat dari brand ini.
Melalui kegigihan, Dinda yakin bahwa brand lokal mampu tumbuh bukan hanya karena estetika, melainkan juga empati dan kejujuran terhadap kebutuhan yang nyata.
Wawancara dengan Dinda Desca Pradhina dilakukan pada Kamis, 5 Juni 2025. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.