Bagi jurnalis senior Leo Galuh, cara menjadi freelancer media asing adalah mampu memenuhi kebutuhan redaksi yang bervariasi dan beradaptasi di segala situasi.
“Ibarat restoran, semua newsroom punya dapurnya masing-masing. Punya ciri khas masing-masing. Punya menu andalannya masing-masing,” ujar Leo.
“Kita sebagai freelancer harus bisa beradaptasi dengan dapur yang beda-beda tersebut. Bisa dibilang kita harus menjadi bunglon, ya,” tambahnya.
Profesionalitas dan fleksibilitas Leo pun membuatnya dipercaya meliput tentang Indonesia sebagai jurnalis Indonesia untuk berbagai media asing seperti New York Times, Deutsche Welle (DW) Indonesia, FairPlanet, Al Jazeera English, Asia Democracy Chronicles, dan lainnya.
Ia pun menulis berita dan feature soal beragam isu seperti HAM, lingkungan, ekonomi, dan lainnya.
Leo Galuh memaparkan pengalamannya berkarya di media internasional dan beberapa cara menjadi freelancer media asing kepada RadVoice Indonesia.
Anda bilang salah satu cara menjadi freelancer media asing adalah perlunya beradaptasi. Bisakah dijelaskan?
“Di perusahaan media asing, khususnya, mau tidak mau, kita sebagai freelancer wajib untuk ‘mencicipi’ menu mereka.
“Tujuannya, kita bisa berkenalan dengan menu dan ciri khas mereka. Bagaimana mencicipinya? Ya, kita harus baca tulisan-tulisan di tiap perusahaan media asing.
“Melelahkan? Iya! Tapi apa, sih, salahnya membaca karya publikasi mereka? Toh, tidak merugikan diri kita, kan?
“Selanjutnya, saatnya kita menawarkan proposal liputan atau istilah kerennya, pitching. Ya, memang kita nggak bisa dapetin atau paham 100% menu mereka, tapi setidaknya kita bisa menunjukkan effort dan penghormatan terhadap karya jurnalistik media asing.
Baca juga: 3 Tips Menulis Artikel Layaknya Jurnalis
“Saya pernah menulis untuk salah satu koran bisnis ternama di Singapura, berkontribusi untuk media pro-demokrasi Filipina, berkarya di dua media yang berbasis di Jerman. Pusing? Jelas! Melelahkan? Pasti!
“Tapi coba, deh, dilihat sisi positifnya selain honor yang sangat lebih dari cukup. Kita bisa belajar, memahami, meliput, dan menuliskan tema-tema baru yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan.
“Dan bahkan, pelan tapi pasti, kita bisa merasa, ‘Wah kayaknya topik ini seru deh, saya sangat concern isu-isu climate change’, misalnya.”
Anda memulai karier sebagai wartawan TV. Anda sekarang juga menulis untuk berbagai media. Bagaimana Anda melakukannya?
“Saya suka pertanyaan ini. Selalu menjadi perbincangan menarik di kalangan wartawan Indonesia mengenai skill set untuk berkarya di televisi, koran, radio, bahkan multimedia.
“Di televisi, reporter ditekankan menulis naskah berita yang sangat mempertimbangkan footage. Ketika saya pertama kali bekerja sebagai wartawan televisi di salah satu televisi berita di Indonesia, mentor mengajarkan: ‘No footage, no news’.
“Reporter televisi harus diskusi bersama cameraperson untuk mendiskusikan footage potensial yang relevan dengan liputan yang dibangun.
“Selain itu, si reporter wajib melihat semua footage yang sudah diambil cameraperson, kemudian memeriksa dan transkrip rekaman suara (soundbite) narasumber. Jadi, naskah yang disusun harus memperhatikan footage, soundbite, dan hasil riset lainnya.
“Hal ini bisa menjadi tantangan yang luar biasa ketika si reporter televisi beralih karir ke media cetak atau teks online. Rata-rata, walaupun tidak bisa digeneralisir, reporter televisi akan gagap saat menulis naskah tanpa melihat footage.
“Saya pun mengalami kesulitan demikian. Solusinya memang cuman satu: harus rutin dan rajin membaca laporan-laporan dalam bahasa Indonesia.
“Saya selalu membaca tulisan-tulisan karya jurnalistik di Tirto, BBC Indonesia, Harian Kompas, Majalah Tempo, bahkan Mojok.co. Dari situ, saya belajar bagaimana menyusun tulisan dari paragraf paling awal yang menggigit dan langsung menarik perhatian pembaca.
Baca juga: 5 Cara Menjadi Penulis Freelance untuk Pemula
“Saya butuh setidaknya adaptasi sekitar tiga bulan untuk ‘shifting’ dari wartawan televisi ke teks online atau koran. Awalnya memang tertatih-tatih, tapi semakin sering dilatih dan dicoba, lama-lama akan terbiasa juga.”
Sikap apakah yang sekiranya dibutuhkan untuk menjadi jurnalis freelance?
“Ah, ini pertanyaan yang sering saya temui dan selalu menggelitik. Saya sangat menekankan pentingnya attitude. Skill atau teknik bisa dipelajari seiring berjalannya waktu. Tapi kalo attitude, wah, itu sesuatu yang melekat dengan diri kita karena itu value kita yang membedakan diri kita dengan orang lain.
“Bukan berarti attitude tidak bisa diajarkan, ya. Attitude bisa diajarkan tapi praktiknya di kehidupan jurnalistik sehari-hari itu butuh waktu bertahun-tahun sampai menjadi suatu kebiasaan melekat yang akan terus diingat baik narasumber dan editor.
“Contohnya ke narasumber. Cara WhatsApp yang sopan, misalnya. Sebutkan saja nama kita siapa, menulis untuk media mana.
“Dan tolong, beri tahu narasumber kita sebagai WARTAWAN LEPAS. Lalu, dalam satu kalimat, sampaikan maksud dan tujuan kita. Alangkah lebih baik bila kita memberi tahu narasumber dari mana kita mendapatkan nomor kontak mereka.
“Kemudian, walaupun ini praktik yang berbeda-beda di tiap wartawan, saya selalu menjelaskan angle dan daftar pertanyaan kepada narasumber.
“Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada narasumber untuk memahami story yang kita susun. Imbasnya adalah, proses wawancara bisa dilakukan secara efektif, efisien, dan tidak melebar kemana-mana.
Baca juga: 5 Tips Wawancara Narasumber untuk Artikel Profil, Wajib Diperhatikan!
“Terakhir, begitu story kita sudah publish, alangkah lebih baik mengirimkan link publikasi tersebut ke semua narasumber yang terlibat.
“Dan tidak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Kelak, narasumber akan ingat kepada kita sebagai wartawan lepas yang memiliki manner baik.”
Salah satu cara menjadi freelancer media asing di antaranya bertugas sebagai koresponden, stringer, atau fixer. Apa bedanya?
“Koresponden adalah wartawan yang bertugas di suatu negara atau wilayah peliputannya.
“Seorang koresponden bertanggung jawab mencari ide atau lead, riset literatur dan lapangan, mencari narasumber yang relevan, menyusun pitch untuk diajukan ke editor, meliput include wawancara, foto, atau filming. Kemudian, mendampingi editor saat proses editing.
“Pekerjaan koresponden cukup berat. Dia bisa dibantu oleh stringer atau fixer.
“Stringer adalah wartawan yang bertugas membantu koresponden, bisa dalam bentuk pencarian ide atau melaporkan daily news.
“Stringer juga bisa melakukan wawancara kepada narasumber atas penugasan koresponden. Stringer mewawancarai berdasarkan story guideline dan daftar pertanyaan yang telah disusun oleh koresponden.
“Untuk fixer, pemahaman secara mudahnya seperti ini. Fixer adalah wartawan yang bertugas mem-fix-kan atau memastikan segala proses liputan.
“Misalnya, dia membantu koresponden mendapatkan janjian wawancara dengan narasumber include lokasi, jadwal, dan footage yang akan di-filming.
“Tidak hanya itu, fixer juga mendampingi koresponden asing saat wawancara dengan narasumber. Tugasnya adalah sebagai jembatan komunikasi bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, begitu juga sebaliknya.
“Ada fixer yang mendapatkan tanggung jawab tambahan mengerjakan translation untuk transkrip bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.
“Pekerjaan sebagai fixer kerap dijumpai di produksi liputan news feature, hard news, atau dokumenter untuk televisi. Namun, tidak menutup kemungkinan fixer bekerja untuk koran atau media online berbahasa Inggris lainnya.”
Wawancara dengan Leo Galuh dilakukan pada Senin, 4 Maret 2024. Percakapan ini telah diedit agar lebih ringkas.