Meliput Topik Sensitif dalam Pemberitaan: Pentingnya Etika dan Empati Jurnalis

meliput topik sensitif

Meliput topik sensitif bukan hanya menyampaikan fakta, tapi juga butuh rasa tanggung jawab, empati, dan kehati-hatian. 

Dalam jurnalistik, isu seperti kekerasan seksual, kasus yang melibatkan anak, atau kematian tragis menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis. 

Terdapat etika dan panduan yang harus diperhatikan jurnalis saat meliput kasus tersebut. 

RadVoice Indonesia menjelaskan bagaimana seharusnya jurnalis meliput topik sensitif dalam pemberitaan. Berikut selengkapnya. 

Meliput Topik Sensitif dalam Pemberitaan 

Kasus kekerasan seksual kerap menjadi isu yang disorot media. Namun peliputan hingga proses pemberitaannya tak selalu ideal. 

Masih kerap ditemui sejumlah media yang memberitakan secara serampangan tanpa berempati kepada korban. 

Baca juga: Bagaimana Etika Meliput Anak Berkasus Hukum?

meliput topik sensitif
Sejumlah media masih memberitakan kasus-kasus kekerasan seksual secara serampangan tanpa berempati kepada korban. (Foto oleh Freepik)

Dari penelitian Dewan Pers pada 2024 yang dipublikasikan Media Indonesia, 87 persen media online melanggar kode etik dalam penulisan isu kekerasan seksual. 

Berdasarkan hasil dari sembilan media yang diteliti, terdapat penyebutan identitas korban, diskriminasi berbasis gender, hingga narasi yang menyalahkan korban. 

Sejumlah hal yang masih sering dilakukan beberapa media yakni sebagai berikut.

Judul yang Sensasional

Judul seperti ‘Gadis Digagahi Ayah, Kakak, dan Paman Selama 4 Tahun, Alasannya Bikin Polisi Emosi: Saya Kira Istri’ yang dipublikasikan Tribun News ini bukan hanya sensasional, tapi juga tidak berempati dengan korban. Penggunaan kata ‘digagahi’ terkesan kasar dan tidak sensitif. 

Judul serupa juga dipublikasikan Sindo News dengan menuliskan ‘Janda Cantik Diperkosa Pedagang Bakso Keliling, Begini Kronologinya ’. Selain penyebutan janda cantik yang berkonotasi negatif, media juga merinci dengan detail bagaimana kekerasan seksual itu dilakukan. 

Menyebut Identitas Korban dengan Jelas

Dalam kasus kekerasan seksual maupun kasus yang melibatkan anak, masih ada media yang menuliskan identitas korban secara langsung maupun lewat petunjuk yang memudahkan publik mengenali korban. Misalnya lewat inisial nama disertai lokasi rumah atau sekolah. 

Padahal dalam Dewan Pers ataupun UU Perlindungan Anak telah melarang penyebutan identitas korban. 

Hanya Mengutip Pernyataan Aparat atau Pelaku

Dalam meliput topik sensitif, beberapa media cenderung hanya mempublikasikan pernyataan aparat penegak hukum atau pelaku.

Sementara korban atau pendamping hukumnya tak diberi ruang untuk bicara. 

Selain berita yang dipublikasikan menjadi tak seimbang, pemberitaan yang muncul juga bisa memperburuk trauma korban.

Baca juga: Menyaring Banjir Informasi di Era Citizen Journalism

Melaporkan Proses Hukum Tanpa Edukasi Publik

Media sering hanya fokus pada unsur kriminalitas dan hukuman yang diterima pelaku, alih-alih menekankan pendampingan atau pemulihan trauma pada korban.

Jurnalis semestinya bisa menanyakan kepada psikolog atau pihak yang menjadi pendamping korban. 

Bagaimana Seharusnya Media Meliput Topik Sensitif?

Mengutip Tempo Institute, terdapat sejumlah poin penting yang harus diperhatikan jurnalis saat meliput topik sensitif. 

Hal ini bertujuan agar jurnalis dapat meliput dan menuliskan topik tersebut dengan tetap bersandar pada etika dan berpihak pada korban. 

Memahami Aturan Hukum

Terdapat empat pasal dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dapat menjadi pedoman bagi jurnalis dalam meliput topik sensitif yaitu 2, 4, 5, dan 8. 

Pasal 2 di antaranya mengatur tentang menghormati hak privasi narasumber, dalam hal ini adalah korban. Pada kasus kekerasan seksual, jurnalis harus merahasiakan identitas korban, foto, alamat, dan berbagai informasi yang terkait. 

Jika saksi atau narasumber penting yang terkait dalam kasus tersebut juga meminta dirahasiakan identitasnya, jurnalis juga harus menghormati permintaan tersebut. 

meliput topik sensitif
Pada kasus kekerasan seksual, jurnalis harus merahasiakan identitas korban, foto, alamat, dan berbagai informasi yang terkait. (Foto oleh Freepik)

Pasal 4 menjelaskan aturan bahwa jurnalis tidak boleh membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. 

Dalam hal ini, cabul merujuk pada penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi. 

Pasal 5 menyebut jurnalis tidak boleh mengungkapkan identitas korban kejahatan susila dan anak yang menjadi pelaku kejahatan. 

Pasal 8 juga melarang jurnalis menulis berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang.

Berpihak pada Korban

Dalam meliput topik sensitif, jurnalis harus mengedepankan perspektif yang berpihak pada korban. 

Selain dengan cara merahasiakan identitas korban, jurnalis juga harus mempertimbangkan kondisi korban dan mendapat persetujuan saat akan meliput. 

Pendekatan yang empatik menjadi kunci agar proses peliputan tidak memperburuk kondisi korban.

Tidak Berlebihan Menuliskan Berita

Jurnalis harus menghindari penggunaan diksi yang bias dan menyalahkan korban. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, media masih kerap menggunakan judul-judul sensasional demi menarik pembaca.  

Gunakan kata-kata yang baik, menunjukkan empati, dan tetap menghormati martabat korban.

meliput topik sensitif
Jurnalis harus menghindari penggunaan diksi yang bias dan menyalahkan korban. (Foto oleh Freepik)

Selain itu, hindari menuliskan detail kronologi yang dialami korban tanpa persetujuan karena akan membuat kondisi korban semakin menderita. 

Tuliskan fakta-fakta atas kesepakatan dengan korban. Namun hindari penjelasan yang terlalu rinci. 

Kesimpulan

Meliput topik sensitif bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga bagaimana menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap narasi yang ditulis. 

Kasus-kasus seperti kekerasan seksual, kejahatan pada anak, dan kematian tragis menuntut jurnalis untuk bekerja dengan empati, kehati-hatian, serta memegang teguh etika jurnalistik.

Memahami etika, berpihak pada korban dengan melindungi identitasnya, dan menggunakan diksi yang baik akan membantu proses pemulihan dan keadilan bagi korban.

Let's Amplify Your Voice Together

Tell us about your project, and we will get back to you within one business day.

Contact Us!
Contact Us!
RadVoice Indonesia
Hello
Can we help you?