Kehadiran artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT dan DeepSeek dapat memudahkan praktisi PR untuk membuat press release dan proposal.
Dalam survei Cision 2025 terhadap lebih dari 3.000 jurnalis, mayoritas responden sebenarnya cukup terbuka dengan konten PR dibuat AI.
Namun, bagi jurnalis, konten PR dibuat AI bukan hanya esensi atau gaya bahasa. Kualitas menjadi bagian penting yang mempengaruhi proses peliputan.
Kekhawatiran Jurnalis soal Konten PR Dibuat AI
Apa saja kekhawatiran jurnalis tentang konten PR dibuat AI, dan harapan mereka agar kualitas informasi tetap terjaga? RadVoice Indonesia merangkum jawabannya untuk Anda.
Kesalahan Faktual

72% dari total responden jurnalis mengaku khawatir apabila ada kesalahan fakta dalam pembuatan konten AI.
Kesalahan seperti ini bisa mempengaruhi keterbacaan, kredibilitas, hingga performa SEO.
Mengutip Paramount Digital, kesalahan umum konten dibuat AI yang selalu ditemukan antara lain kekurangan originalitas, kesalahan konteks, terlalu mengandalkan data, dan tone penulisan yang tidak konsisten.
Bukan Kualitas Konten yang Meningkat, Melainkan Kuantitas
Kekhawatiran lain para jurnalis terkait penggunaan AI adalah kuantitas konten akan meningkat, tapi tidak diimbangi dengan kualitas yang signifikan.
Menurut Vapa Media, konten AI yang tidak menawarkan ‘originalitas’ atau solusi nyata dapat menurunkan rating di algoritma.
Jika AI dimanfaatkan bukan untuk menambah jumlah konten, namun digunakan untuk membuat konten yang relevan dengan target audiens, kualitas konten justru bisa meningkat.
Kurang Otentik
Sementara itu, 54 persen responden khawatir konten PR yang dibuat AI akan kehilangan keaslian dan kreativitas.
Mengutip Trop News, konten yang dihasilkan oleh AI seringkali kekurangan kreativitas karena AI bekerja dengan menganalisis pola dan data dari sumber yang sudah ada.
Dengan kata lain, AI hanya mengemas ulang ide-ide yang sudah ada daripada menciptakan konten yang benar-benar asli. Keterbatasan ini membuat tulisan yang terasa kaku dan kurang menginspirasi.
Pelanggaran Hak Cipta dan Tuduhan Plagiarisme
AI mampu memindai konten yang dilindungi hak cipta untuk meniru gaya penulisan.
Dikutip dari Easy Content, AI dapat membuat konten baru yang sekilas tampak berbeda dari sumber aslinya agar sebagian orang mungkin mengganggapnya sebagai penggunaan yang wajar.
Harapan Jurnalis terhadap Praktisi PR
Prioritaskan Keaslian

Jurnalis cenderung lebih mudah menerima konten PR yang dibuat AI jika mereka yakin bahwa konten tersebut tidak hanya faktual, namun juga memiliki cerita yang menarik.
Pastikan juga untuk menyempurnakan konten hasil kerja AI agar perspektif dan suara brand tetap terasa otentik.
Jangan Terima Mentah Tulisan dari AI
Mengingat kekhawatiran jurnalis terhadap konten yang dihasilkan AI, praktisi PR sebaiknya bersikap transparan dalam penggunaan teknologi ini.
Selain itu, pastikan juga agar konten tersebut sudah melalui proses verifikasi fakta supaya kredibel dan layak dipublikasikan.
Belajar Pendekatan dari Praktik Jurnalis

Jurnalis kini bereksperimen dengan AI dalam berbagai cara, dan praktisi PR pun bisa mengambil inspirasi dari pendekatan ini.
Jangan ragu memanfaatkan AI agar bisa meningkatkan efektivitas serta menghadirkan ide-ide kreatif.
Kendati demikian, pastikan setiap konten yang dibuat selalu diverifikasi oleh para ahli agar tetap akurat dan dapat dipercaya.
Kesimpulan
Kehadiran AI dapat mempermudah PR untuk membuat konten.
Namun, jurnalis khawatir konten PR dibuat AI menyebabkan kesalahan fakta, peningkatan kuantitas tanpa diiringi kualitas, kurangnya keaslian, hingga risiko pelanggaran hak cipta dan tuduhan plagiarisme.
Jurnalis berharap praktisi PR tetap memprioritaskan keaslian, tidak langsung menerima hasil mentah dari AI, dan menerapkan pendekatan seperti yang dilakukan para jurnalis.