Etika meliput anak berkasus hukum menjadi panduan penting bagi jurnalis saat akan mempublikasikan pemberitaan.
Tanpa etika yang kuat, pemberitaan bisa jadi bentuk kekerasan baru pada anak yang seharusnya dilindungi.
Bagaimana seharusnya media bersikap saat meliput anak yang tersandung kasus hukum?
RadVoice Indonesia merangkum penjelasannya untuk Anda.
Etika Meliput Anak Berkasus Hukum
Masih jamak ditemui media yang memberitakan kasus anak tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan, mulai dari penyebutan inisial yang mudah ditebak hingga menampilkan foto atau gambar.
Padahal etika meliput anak berkasus hukum lebih dari sekadar menyamarkan nama, tapi juga menuntut empati dan tanggung jawab pada masa depan anak.

Empati menjadi fondasi utama agar jurnalis tak hanya mematuhi aturan, tapi benar-benar memahami dampak dari pemberitaannya.
Dengan berempati, jurnalis mestinya dapat lebih berhati-hati dalam menyaring informasi hingga memilih kata-kata sebelum memberitakan.
Salah satu kasus yang sempat ramai diberitakan media massa pada awal 2023 yakni penganiayaan oleh tersangka Mario Dandy Satrio.
Kasus itu mencuat setelah Mario Dandy yang merupakan anak eks pegawai Ditjen Pajak Rafael Alun tersandung kasus dugaan pencabulan anak.
Kasus tersebut pada saat itu melibatkan dua anak yakni DO (17) yang menjadi korban, dan AG (15) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Identitas mulai dari nama, sekolah, hingga foto keduanya saat itu ramai beredar.
Dewan Pers telah meminta media memperhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dalam memberitakan kasus tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan media, salah satunya tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Mengutip Tempo Institute, beberapa prinsip yang perlu dipahami sebelum meliput anak berkasus hukum adalah sebagai berikut.
Menghormati Privasi Anak
Menghormati privasi narasumber merupakan etika yang harus diterapkan jurnalis, termasuk saat meliput kasus yang melibatkan anak-anak.
Jurnalis wajib merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak.
Dalam menggali informasi, jurnalis juga tidak boleh asal mewawancarai anak tanpa pendampingan ahli atau pihak berwajib.

Tidak Membongkar Identitas Anak
Pelanggaran yang banyak dilakukan media, khususnya di media online dalam memberitakan anak adalah menyebut identitas anak pelaku kejahatan.
Bentuk pelanggaran ini bisa berupa pemuatan nama asli, foto yang menampilkan wajah dengan jelas, hingga informasi personal lainnya seperti nama sekolah, alamat rumah, atau identitas anggota keluarga.
Jurnalis wajib merahasiakan identitas anak dalam kasus hukum, demi melindungi masa depan anak dari stigma sosial setelah berita dipublikasikan.
Posisikan Diri Sebagai Anak
Jurnalis harus mampu berempati dengan cara memposisikan diri sebagai anak.
Upaya ini penting agar jurnalis tidak melihat anak sekadar sebagai objek berita, tapi sebagai individu yang masih dalam proses tumbuh dan berkembang.
Dengan memosisikan diri sebagai anak, jurnalis akan lebih sensitif terhadap dampak pemberitaan yang bisa memicu rasa takut maupun trauma.
Aturan Pemberitaan Ramah Anak
Pada dasarnya, etika meliput anak berkasus hukum telah diatur dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang tertuang pada Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2019. Anak diatur dalam batasan seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Dalam pedoman tersebut dijelaskan bagaimana etika meliput anak berkasus hukum.
Selain itu, jurnalis juga wajib mematuhi Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Kode Etik Jurnalistik.

Hal terpenting berupa perlindungan identitas yang menyangkut anak mulai dari nama, foto, gambar, nama keluarga, alamat rumah, sekolah, hingga benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.
Rincian selengkapnya dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak diatur sebagai berikut:
- Jurnalis merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
- Jurnalis memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
- Jurnalis tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
- Jurnalis dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
- Jurnalis dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
- Jurnalis tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
- Jurnalis tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
- Jurnalis menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku.
- Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
- Jurnalis tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
- Jurnalis tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
- Dalam peradilan anak, jurnalis menghormati ketentuan dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kesimpulan
Etika meliput anak berkasus hukum menuntut jurnalis tidak hanya mematuhi aturan, tetapi juga menjunjung empati.
Anak-anak adalah kelompok rentan yang masih perlu perlindungan, termasuk dari dampak negatif pemberitaan.
Media dilarang untuk membongkar identitas anak, dalam bentuk nama, visual, maupun informasi pribadi lainnya.
Jurnalis harus mengacu pada Pedoman Pemberitaan Ramah Anak serta peraturan seperti UU Perlindungan Anak dan Kode Etik Jurnalistik dalam memberitakan anak yang berkasus hukum.