Greenwashing dalam public relations (PR) merujuk pada strategi komunikasi dengan membangun citra ramah lingkungan, namun tak mencerminkan praktik yang sebenarnya.
Perusahaan kerap menggunakan strategi ini untuk menarik perhatian konsumen tanpa tindakan nyata terhadap lingkungan.
Mereka biasanya memanfaatkan ini dengan melabeli produk sebagai eco-friendly, biodegradable, atau save the earth. Padahal produk dengan label-label tersebut belum tentu menjamin keberlanjutan yang sesungguhnya.
RadVoice Indonesia telah merangkum penjelasan tentang praktik greenwashing dalam PR. Berikut selengkapnya.
Greenwashing dalam PR
Istilah greenwashing pertama kali digunakan tahun 1986 oleh ahli lingkungan Jay Westervelt. Ia saat itu menerbitkan sebuah tulisan yang mengkritik gerakan ‘save the towel’ yang dilakukan hotel-hotel dengan meminta para tamu menggunakan handuk mereka kembali demi menyelamatkan lingkungan.
![greenwashing](https://radvoice.id/wp-content/uploads/2025/02/close-up-activism-props-1024x683.jpg)
yang mengkritik kampanye ‘save the towel’ di hotel-hotel. (Foto: Freepik)
Sementara, menurut Jay, masih banyak limbah yang ia temukan di hotel, yang menunjukkan hotel tersebut tidak benar-benar peduli lingkungan.
Secara keseluruhan, praktik greenwashing semacam ini pada akhirnya digunakan untuk mengelabui konsumen, investor, hingga stakeholders.
Apa Ciri Perusahaan yang Melakukan Praktik Greenwashing?
Istilah yang Tak Jelas
Perusahaan yang menerapkan praktik ini, umumnya menggunakan kata atau frasa yang membingungkan. Dikutip dari Agility PR, perusahaan ini memakai istilah eco-friendly atau natural sebagai jargon semata, tanpa dirinci lebih lanjut.
Perusahaan lingkungan yang otentik biasanya akan memberikan ukuran yang jelas dan terperinci tentang upaya mereka.
Baca juga: Mengenal Komunikasi Lingkungan: Definisi, Manfaat, dan Contohnya
Tidak Ada Bukti
Perusahaan lingkungan yang otentik akan memberikan bukti konkret atas tindakan mereka. Bahkan terkadang ada sertifikasi resmi dari pihak ketiga.
Sebaliknya, jika sebuah perusahaan tidak dapat memberikan bukti atas upaya ramah lingkungan mereka, ada kemungkinan besar itu adalah praktik greenwashing.
![greenwashing](https://radvoice.id/wp-content/uploads/2025/02/eco-word-grass-1024x683.jpg)
tanpa dirinci lebih lanjut. (Foto: Freepik)
Praktik Tersembunyi
Perusahaan yang melakukan greenwashing, kerap kali menunjukkan beberapa produk atau atribut yang terkesan peduli lingkungan. Sementara diam-diam mereka juga menyembunyikan fakta lain yang sebenarnya kurang ramah lingkungan.
Sebagai konsumen, Anda harus lebih cermat dan teliti. Misalnya dengan mempelajari label produk, menghindari produk yang mengunggulkan ramah lingkungan secara berlebihan, atau mempercayai produk yang memang sudah mendapat sertifikasi.
Seperti Apa Praktik Greenwashing?
Sejumlah perusahaan besar tanpa disadari melakukan praktik tersebut. Salah satunya adalah kebijakan plastik berbayar di supermarket.
Dikutip dari Harian Kompas, kebijakan ini awalnya bertujuan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik. Namun, alih-alih mengurangi, konsumen tak keberatan untuk membayar plastik dan menggunakan tas belanja (spunbond bag) yang justru menimbulkan sampah lebih banyak.
Contoh lainnya adalah ketiadaan bukti atas klaim produk-produk ramah lingkungan seperti tisu wajah atau tisu toilet dari bahan daur ulang. Perusahaan sering kali tidak memberikan cukup bukti tentang klaim tersebut.
![greenwashing](https://radvoice.id/wp-content/uploads/2025/02/ecofriendly-symbol-green-recycling-sign-with-leaves-1024x574.jpg)
ternyata hanya didasarkan klaim tanpa bukti. (Foto: Freepik)
Hal serupa juga pernah dilakukan gerai kopi Starbucks yang menghapus gerakan tanpa sedotan pada tahun 2020 demi mengurangi sampah plastik. Sebagai gantinya Starbucks menggunakan sedotan dengan bahan kertas daur ulang.
Sementara semua gelas plastik yang digunakan untuk minuman dingin diganti dengan gelas daur ulang.
Baca juga: Bagaimana Menerapkan Komunikasi Keberlanjutan di 2025?
Namun, dikutip dari Tasc Group, penggunaan bahan pengganti ini ternyata menggunakan lebih banyak plastik dibandingkan desain sebelumnya. Perwakilan Starbucks saat itu memastikan bahwa bahan polipropilen baru adalah bentuk daur ulang plastik yang lebih umum diterima.
Dalam kasus ini, Starbucks disebut memanfaatkan peluang PR untuk mengurangi sampah plastik tapi menukar dengan bentuk plastik lainnya.
Kesimpulan
Praktik greenwashing kerap ditemui dalam berbagai kampanye produk perusahaan seiring ketertarikan konsumen terhadap isu keberlanjutan.
Namun, sebagai konsumen, Anda harus hati-hati dengan memperhatikan jika ada penggunaan istilah yang tak jelas, tidak ada bukti, dan kampanye produk ramah lingkungan untuk menutupi praktik menyesatkan lainnya.
Anda dapat mempelajari label produk dengan cermat, menghindari produk yang mengunggulkan ramah lingkungan secara berlebihan, dan mempercayai produk yang memang sudah mendapat sertifikasi.